Jilid 10

6.9K 71 0
                                    

"Orang muda yang gagah perkasa! Sungguh mengagumkan sekali, aku Kiu-bwe Toanio harus mengakui bahwa kepandaianmu jauh melampauiku!" kata nenek ini yang masih terheran-heran dan kagum.

Keng Hong tersenyum dan menjura dengan hormat.
"Selamat berjumpa, Toanio. Agaknya Toanio telah lupa lagi kepadaku."

"Engkau... Siapakah...?" Nenek itu melebarkan matanya memandang lebih tajam dengan sepasang matanya yang sudah kurang awas. Ia melangkah dekat dan kini ia mengenal pemuda itu. Rasa kagetnya bertambah dan ia berseru, "Engkau.... engkau muridnya.....!"

Keng Hong mengangguk dan tersenyum.
"Benar, Toanio. Aku murid mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong dan karena itulah maka aku sengaja membantumu melawan para perampok ini, untuk membuktikan bahwa baik suhu maupun aku tidak mempunyai rasa permusuhan terhadap Toanio. Dengan jalan ini aku yang mewakili suhu mohon maaf kepada Toanio apabila di waktu dahulu suhu pernah melakukan kesalaha-kesalahan terhadap Toanio yang semenjak muda sampai kini ternyata merupakan seorang pendekar wanita yang hebat!"

Nenek itu wajahnya berubah pucat, kemudian mengeluh,
"Ahhh.... Kau murid Sie Cun Hong...." Tiba-tiba tubuhnya terhuyung dan terguling roboh.

"Toanio......!" Keng Hong melompat dan menangkap lengan nenek itu sehingga tubuh itu tidak sampai terguling. Tubuh itu lemas tergantung pada lengan Keng Hong yang merangkul pinggangnya. "Kau kenapa, Toanio.....?" Keng Hong bertanya, khawatir.

"Terluka.... aku... Terluka oleh pukulan perampok-perampok laknat....."

Keng Hong tadi tidak melihat nenek itu terkena pukulan. Mungkin sebelum dia datang atau sesudah dia membantunya, pikirnya.

"Boleh kutolong engkau, Toanio? Mana yang terpukul?"

"Dadaku... tidak apa-apa, hanya aku telah lama menderita penyakit jantung, dan.. melihat engkau..... murid Sie Cun Hong...... Aduuuhhh..... Aku kaget dan jantungku....." Ia mencegah tangan Keng Hong yang hendak memeriksanya. "Tidak usah, hanya... Maukah engkau menolongku, membawaku ke pondokku... Tidak jauh hanya kira-kira tiga puluh li dari sini...."

"Baiklah, Toanio. Biar kupondong engkau!"

Keng Hong cepat membungkuk hendak memondong nenek itu. Akan tetapi Kiu-bwe Toanio dengan kasar menolak lengannya.

"Jangan pondong aku!" Pemuda itu terheran menyaksikan kekasaran nenek itu. "Selama hidupku, baru satu kali ada pria menyentuh dan memondongku, hanya Sie Cun Hong.... ah, Cun Hong, laki-laki tidak setia..... semenjak itu, belum pernah ada pria menyentuhku.."

Keng Hong merasa geli hatinya, juga terharu menyaksikan betapa nenek ini ternyata amat mencinta dan setia kepada gurunya.

"Habis, bagaimana aku dapat membawamu, Toanio?" tanyanya bingung.

"Kalau kau mau.... kau gendong saja aku di punggungmu... Begitu lebih sopan."

Keng Hong menahan senyumnya. Sudah nenek-nenek begini tua, masih mempunyai pikiran malu dipondong seorang pemuda seperti dia! Ah, wanita memang aneh, begini tua masih genit, pikirnya.

"Baiklah, mari kugendong kau, Toanio." Keng Hong lalu membalikkan tubuh membelakangi nenek itu sambil berjongkok.

Kiu-bwe Toanio dengan tubuh lemas lalu naik ke punggung Keng Hong dan pemuda itu segera bangkit berdiri, menyangga kedua paha nenek itu yang peyot.

"Tar-tar-tar-tar-tar....!"

Keng Hong mendengar pecut nenek itu meledak-ledak di atas kepalanya dan cabang-cabang cambuk itu menyambar ke depan, menghantam kepala delapan orang perampok yang tadi roboh di tangan Keng Hong.

Delapan orang itu ia robohkan dan ia sengaja tidak membunuh mereka, berbeda dengan nenek itu yang tadi membunuh lima orang pengeroyoknya. Keng Hong terkejut. Kepala delapan orang itu remuk dan mereka tewas seketika.

"Aihhh, Tonio, mengapa kau....?"

"Kalau tidak dibunuh tentu mereka akan mendatangkan malapetaka kepada penduduk dusun-dusun. Kalau tidak dibunuh, apa artinya aku menentang para perampok laknat itu?"

Keng Hong menghela napas. Dia memang tentu saja kalau nenek itu menentang para perampok, akan tetapi membunuhi lawan yang sudah roboh, sungguh merupakan perbuatan yang kejam, yang tentu tidak akan dapat dia lakukan.

"Toanio yang melakukan, Toanio sendiri yang merasakan," katanya dan dia mulai melangkah. "Kemana kita harus menuju, Toanio?"

"Maju terus, keluar dari hutan ini. Nanti kutunjukkan jalannya," kata si nenek yang biarpun tubuhnya lemas ternyata masih amat hebat cambuknya itu, sekali bergerak membunuh delapan orang!

Keng Hong melangkah keluar dari hutan dan selanjutnnya menurut petunjuk nenek itu menuju ke sebuah bukit. Tubuh nenek itu ringan sekali, dan menggendongnya merupakan pekerjaan yang mudah dan tidak berat bagi Keng Hong.

"Namamu siapa?"

"Keng Hong, Cia Keng Hong, Toanio."

"Hemmm, Keng Hong, tahukah engkau dosa apa yang dilakukan gurumu kepadaku?"

Tentu saja Keng Hong sudah mendengar penuturan gurnya tentang nenek ini, akan tetapi untuk menghilangkan rasa sunyi dalam perjalanan itu, dia ingin mendengar sendiri penuturan Kiu-bwe Toanio, maka jawabnya,

"Aku hanya tahu bahwa Toanio dahulu mendendam kepada suhu, akan tetapi aku tidak tahu jelas persoalannya."

"Hemmm, gurumu seorang pria yang tidak setia, tidak kenal budi, tidak menghargai cinta kasih seorang wanita!"

Sejenak nenek itu terengah-engah, agaknya hendak menekan kemarahannya yang timbul dari rasa sakit hati.

"Aku dahulu seorang pendekar wanita muda yang cantik jelita dan gagah perkasa. Tak terhitung banyaknya orang yang tergila-gila kepadaku, yang meminangku, akan tetapi semua kutolak karena aku belum dapat menjatuhkan hatiku kepada seorang pria. Aku ingin memilih seorang pria yang selain memiliki wajah yang mencocoki seleraku, juga memiliki kepandaian yang jauh melampauiku. Betapa sukarnya menemukan pria seperti idaman hatiku. Kemudian ... Hem, terjadinya hampir sama dengan munculmu tadi. Aku dikeroyok penjahat, lalu Sie Cun Hong muncul dan membantuku. Aku jatuh hati kepadanya. Aku mencintanya dengan seluruh jiwa ragaku. Dia muda dan tampan, seperti engkau, dia gagah perkasa seperti engkau. Akan tetapi dia hangat dan pandai merayu, tidak seperti engkau yang dingin dan kaku. Aku makin cinta kepadanya sehingga aku menyerahkan jiwa ragaku, aku terbuai dalam rayuan dan belaiannya, aku menyerahkan kehormatanku. Akan tetapi..... Akhirnya dia meninggalkan aku, tidak mau menjadi suamiku!"

"Bukankah suhu mencintaimu, Toanio?"

"Uhhh, cinta apa? Cinta mulut, cinta palsu, dia hanya ingin memiliki tubuhku seperti tubuh wanita-wanita lain! Dia seorang laki laki yang berhati palsu, hanya mempermainkan wanita. Terkutuk!"

Keng Hong menarik napas panjang lalu memberanikan diri bertanya,
"Akan tetapi, mengapa Toanio dahulu suka menyerahkan... Kehormatan Toanio kepada suhu? Mengapa Toanio begitu.. begitu.... mudah.....?"

"Setan kau! Aku terjebak oleh bujuk rayunya! Aku mabuk oleh nafsu berahi yang dibangkitkannya! Kalau aku tahu.... ah, kalau aku tahu...." Nenek itu seperti meronta-ronta di gendongan Keng Hong. "Akhirnya sebelum meninggalkan aku, dia bilang bahwa cinta kasih antara pria dan wanita tidak seharusnya selalu di akhiri perkawinan! Cih, omongan laki-laki bangsat! Mau enaknya saja. Dia bebas dan enak saja mempermainkan ribuan orang wanita, laki-laki tetap dihargai. Akan tetapi wanita? Sekali menjadi permainan pria dan ditinggalkan, siapa sudi menghargainya lagi? Hidupku rusak oleh gurumu, maka aku penasaran sekali tidak dapat menghancurkan kepalanya! Akan tetapi, masih ada engkau muridnya!!"

Keng Hong terkejut sekali ketika merasa betapa ujung jari yang keras menyentuh ubun-ubun kepalanya. Ia maklum bahwa sekali dia melawan, jari-jari itu tentu akan mencengkeram dan tak mungkin ia mampu melindungi ubun-ubun kepalanya. Namun dia bersikap tenang dan bertanya,

"Apa maksudmu, Toanio?"

"Maksudku? Hi-hi-hik, maksudku, aku yang tidak berhasil membalas dendam kepadanya, masih dapat melampiaskan dendamku kepadamu, kepada muridnya. Dalam sekejap mata aku dapat membunuhmu, Cia Keng Hong murid Sie Cun Hong!"

Keng Hong merasa bulu tengkuknya berdiri. Kalau nenek itu membuktikan ancamannya, tidak ada yang akan dapat menolongnya, juga kepandaiannya yang bertahun-tahun dia pelajari tidak akan ada gunanya. Tentu saja dia dapat menyerang nenek yang berada di punggungnya itu, akan tetapi serangan macam apa yang akan dapat melebihi kecepatan nenek itu menanamkan jari-jari tangan di ubun-ubun kepalanya?

Tentu dia kalah cepat dan akan tewas sebelum mampu bergerak. Pula, nenek itu berada di punggungnya karena semua gerakan tangan di awali oleh gerakan pundak sedangkan gerakan kaki diawali gerakan pangkal paha. Tak mungkin dia mendahului nenek itu, maka berusaha menyerangnya sama dengan bunuh diri.

"Toanio, setelah aku membantumu dan menggendongu, mengantar engkau yang terluka ke pondok, engkau masih hendak membunuhku...?"

"Hi-hi-hik! Siapa menolongku? Apa kau kira aku kalah dikeroyok tiga belas ekor tikus tadi? Jangan sombong seperti gurumu! Dan kau tidak secerdik gurumu. Siapa bilang aku luka? Aku sehat segar tidak terluka apa-apa. Akan tetapi kini aku berada dipunggungmu dan kau akan dapat berbuat apa? Engkau telah mewarisi banyak ilmu gurumu, tentu aku tidak dapat membunuhmu mengandalkan kepandaian. Sekarang, aku tidak akan membunuhmu asal saja engkau suka mengajarkan Ilmu Thi-khi-I-beng kepadaku."

Keng Hong merasa geli dan juga muak. Yang baik maupun yang jahat, sekali manusia dikuasai oleh angkara murka dan mengkehendaki sesuatu yang tidak dimilikinya, sama saja, memuakkan! Kelakukan jahat yang tidak segan merugikan orang, tidak segan melakukan kecurangan, timbul dari hati yang angkara murka, yang mengehendaki sesuatu yang bukan menjadi haknya!

Akan tetapi dia tidak berdaya, dan tidak ada pilihan lain. Biarpun hatinya merasa berat untuk membuka rahasia ilmu yang pada waktu itu tidak ada orang lain yang mengetahuinya, akan tetapi kalau dia menolak tentu dia akan tewas.

"Toanio, apakah kalau aku memberi ilmu itu kepadamu, Toanio pasti akan membebaskan aku?"

"Tentu saja!"

"Bagaimana kalau Toanio melanggar janji?"

"Plakkk!"

Kepala Keng Hong ditampar sehingga dia merasa pening dan pandang matanya berkunang.

"Sekali lagi engkau meragukan janji seorang pendekar seperti aku, tentu engkau akan kubunuh! Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu bukan seorang rendah budi yang tidak bisa memegang jani. Janji lebih berharga daripada nyawa, tahu?"

"Hemmm, kalau begitu boleh. Harap Toanio turun dari punggungku dan aku akan mengajarkan Thi-khi-I-beng kepada Toanio."

"Mana bisa? Kalau aku turun, benar-benarkah engkau akan mengajarkan Thi-khi-I-beng."

"Tentu, Toanio."

"Bagaimana kalau melanggar janji? Engkau bukan pendekar seperti aku. Engkau adalah murid Sie Cun Hong yang plin-plan, mulut laki-laki perayu, berani sumpah tak berani mati. Mana bisa aku percaya?"  

Pedang Kayu Harum (Siang Bhok Kiam)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang