Jilid 2

9.9K 123 1
                                    

Rasa girang, tercengang, kaget dan duka bercampur menjadi satu, membuat dia terharu sekali. Sinkang yang disalurkan ke tubuhnya tadi oleh gurunya ternyata membuat dia memiliki tenaga yang hebat, bahkan loncatannya juga sepuluh kali lebih cepat daripada biasa. Ginkang dan lweekang di tubuhnya sekaligus mendapat kemajuan yang amat luar biasa. Ia melesat lagi ke dekat suhunya dan menangis sambil memeluk mayat Sin-jiu Kiam-ong. Sesuai dengan pesan Sin-jiu Kiam-ong yang pernah dinyatakan kepadanya, Keng Hong mengangkat jenasah gurunya itu dan meletakannya ke dalam gubuk kecil tempat gurunya beristirahat.

Kemudian, setelah menangisi mayat itu dan bersembahyang tanpa upacara karena tiada alat, memohon kepada Thian agar dosa-dosa gurunya diperingan hukumannya dan arwah gurunya mendapatkan tempat yang baik, Keng Hong lalu membakar gubuk itu.

Dengan hati penuh keharuan dia menjaga dan memandang api yang berkobar membakar gubuk berikut jenasah Sin-jiu Kiam-ong. Karena dia harus selalu menambah bahan bakar, pembakaran jenasah ini memakan waktu setengah hari lamanya. Kemudian, sesuai pula dengan pesan suhunya, dia mengumpulkan abu jenasah dan pada malam hari itu, disaksikan laksaan bintang yang menghias langit biru, Keng Hong menabur-naburkan abu itu dari puncak batu pedang. Angin bertiup dan membawa abu itu bertebaran ke segenap jurusan, seolah-olah Sin-jiu Kiam-ong benar-benar kini bersatu dengan alam di sekeliling tempat yang dicintanya itu.

Semalam suntuk Keng Hong duduk melamun, selain terkenang kepada suhunya juga memikirkan keadaan dirinya sendiri. Tadinya dia tidak pernah memikirkan keadaan dirinya karena setiap hari seluruh perhatiannya dia curahkan untuk belajar dan berlatih, dan selain itu ada gurunya di sampingnya yang membuat dia tidak merasa kesepian.

Akan tetapi sekarang, setelah Sin-jiu Kiam-ong tidak ada lagi, bahkan tidak ada lagi bekas-bekasnya, dia mulai merasa dan melihat kenyataan bahwa dia sesungguhnya hanya seorang diri saja di dunia ini! Setelah gurunya tidak ada, apa yang akan dilakukan? Kemana dia akan pergi? Apa tujuan hidupnya selanjutnya? Kembali ke kampung halaman? Dia masih ingat akan kampung halamannya, dusun Kwi-bun dimana dia terlahir dan bermain-main sampai usia sepuluh tahun.

Akan tetapi, mau apa dia kembali ke Kwi-bun? Keluarganya sudah terbasmi habis, rumah tidak ada, dan kembalinya ke sana hanya akan membongkar kenangan-kenangan lama yang amat tidak menyenangkan hati. Ke kuil Kun-lun-pai? Di sana banyak orang-orang yang baik hati, tosu-tosu yang selain baik dan ramah terhadapnya, seperti pernah dia alami sampai dua tahun lamanya. Akan tetapi dia teringat akan pesan Kiang Lojin kepada Sin-jiu Kiam-ong bahwa karena dia bukan "orang Kun-lun-pai", dia tidak boleh tinggal di Kun-lun-pai, bahkan tidak diperkenankan tinggal di batu pedang yang berada di Kiam-kok-san kalau suhunya tidak ada!

Habis ke mana? Tetap tinggal di situ? Tidak mungkin! Dia bukan seorang yang nekat dan tak tahu malu. Dia maklum bahwa gurunya dan dia adalah orang-orang yang "mondok" karena Kiam-kok-san merupakan wilayah Kun-lun-pai. Dan kalau tuan rumah tidak memperbolehkan tinggal disitu, dia pun tidak sudi memaksa. akan tetapi kalau pergi, kemanakah?

Dalam bingungnya, Keng Hong teringat kepada suhunya. Andaikata dia menjadi suhunya, apa yang akan dilakukannya? Suhunya seorang yang selalu hidup gembira ria, jangankan berduka, bingung dan takut pun tak pernah di kenalnya. Teringat dia akan semua cerita suhunya tentang diri suhunya di waktu muda. Masih terngiang di telinganya ucapan yang keluar dari bibir tua yang masih tersenyum, wajah cerah dan mata berseri itu.


"Hidup satu kali di dunia, apa gunanya berkeluh kesah dan berhati susah? Kegembiraan dan kesenangan dapat dinikmati, tinggal meraih saja! Semua berkah yang sudah dilimpahkan kepada Dia untuk kita, mengapa mesti disia-siakan? Nikmatilah berkah itu!"

Keng Hong mulai berseri wajahnya. Sambil menengadah memandang bintang-bintang di langit, dia mengenang semua cerita suhunya dan mengenang kembali semua ucapan-ucapannya.

"Aku paling suka akan keindahan. Tamasya alam yang indah, makanan lezat, bunyi-bunyian merdu ganda yang harum, wanita-wanita cantik! Kita sudah dianugerahi mata, hidung, telinga, mulut. Pergunakanlah sebaik-baiknya untuk menikmati berkah-berkah yang memenuhi dunia. Pergunakan matamu untuk segala keindahan dan menikmatinya. Lihat tamasya alam yang amat indahnya, lihat bunga-bunga yang cantik, lihat wanita-wanita yang jelita!

Pergunakan telingamu untuk menikmati segala bunyi-bunyian yang merdu, burung-burung berkicau, margasatwa berdendang, alat tetabuhan dan nyanyian merdu. Mulut? Nikmati segala makanan yang lezat karena memang itu hak kita. Rasakanlah segala rasa di dunia ini. Manis, asin, gurih, masam dan pahit! Hidung? Pakailah untuk menikmati hidup, untuk mencium ganda yang harum, sedap dan wangi! Pendeknya, selama seratus tahun aku hidup cukup penuh kenikmatan dan sekarang menghadapi mati aku tidak penasaran dan menyesal lagi, Keng Hong."

Keng Hong tersenyum pahit mengenang ucapan suhunya ini. Biarpun pada lahirnya dia tidak berani membantah, namun di dalam hatinya dia kurang menyetujui pendapat tentang hidup seperti yang dikemukakan suhunya. Mungkin sudah terlampau banyak dia dipengaruhi kitab-kitab kuno yang mengajarkan tentang filsafat hidup, tentang kesusilaan peradaban dan kebudayaan.

Gurunya tidak mempedulikan semua itu. Gurunya pengejar kesenangan duniawi. Namun, sungguhpun dia tidak menyetujui pendapat suhunya yang dalam hal ilmu bun (sastra) tidaklah amat mendalam pengetahuannya, dia dapat menemukan kesederhanaan dan kejujuran yang tak dibuat-buat, dan tahu pula bahwa di balik cara hidup ugal-ugalan seperti suhunya itu tersembunyi dasar watak yang baik dan gagah perkasa.

"Entah berapa ratus orang wanita cantik yang menjadi kekasihku, Keng Hong." Demikian suhunya pernah bercerita. "Aku tidak pernah menolak cinta kasih seorang wanita! Wanita bagiku adalah bunga yang membutuhkan belaian dan kasih sayang. Karena itu tak pernah aku menolaknya, tidak peduli dia itu cantik jelita, manis, buruk, muda ataupun tua! Tentu saja terutama sekali yang cantik molek! tidak peduli dia itu gadis, janda, atau sudah bersuami, sudah beranak atau bercucu! Aku menerima kedatangan mereka dengan hati dan kedua lengan terbuka! Hanya satu yang merupakan pantangan bagiku, yaitu bahwa aku tidak sudi mendekati wanita yang tidak suka menerima kedatanganku. Aku tidak sudi menggagahi wanita yang tidak menghendaki aku. Aku tidak sudi cinta sepihak saja!"

Teringat akan ini, Keng Hong menggeleng-geleng kepalanya. Suhunya benar-benar seorang mata keranjang! Pelahap wanita! Tentu saja dia tidak mau seperti suhunya, akan tetapi dia terharu kalau teringat akan pendirian terakhir suhunya yang tidak sudi menggagahi wanita yang tidak cinta kepadanya. Tentu saja merupakan hal yang amat buruk kalau suhunya berzina dengan wanita yang bersuami, akan tetapi kalau si wanita itu sendiri suka..., sungguh dia tidak tidak tahu harus menilai bagaimana.

"Hanya satu pesanku, Keng Hong engkau boleh mencinta seribu wanita, akan tetapi jangan sekali-kali membiarkan kakimu terikat oleh pernikahan! Sekali engkau terikat, akan lenyaplah kebebasanmu dan tak mungkin pula hidup seperti aku dapat dipertahankan!"

Keng Hong makin bingung. Soal-soal tentang cinta dan pernikahan masih belum menarik perhatian. Betapapun juga suhunya bukanlah golongan jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Dan suhunya tidak pernah dengan sengaja melakukan kejahatan kepada orang lain. Kalau dia sampai dimusuhi adalah sebagai akibat dari sikapnya yang ugal-ugalan, melayani cinta kasih wanita-wanita isteri orang lain, kemudian kalau menghendaki setiap benda, terus diambilnya begitu saja dengan dasar bahwa yang kehilangan benda itu tidak akan menderita!

Maka terjadilah perampokan benda-benda berharga milik pembesar-pembesar tinggi yang kaya raya, pencurian kitab-kitab dari partai-partai persilatan besar, permainan zinah dengan isteri-isteri cantik, dan sebagainya sehingga di dunia ini dia mempunyai banyak sekali musuh!

Keng hong bergidik ngeri. Ia tahu bahwa banyak sekali orang sakti menginginkan pusaka warisan suhunya yang kuncinya terdapat dalam Siang-bhok-kiam. Bagaimana kalau dia turun gunung lalu dikejar-kejar mereka itu yang hendak merampas Siang-bhok-kiam? Gurunya selama ini dapat mempertahankan pedangnya, akan tetapi bagaimana dengan dia? Musuh terlalu banyak, dan di antara mereka banyak yang sakti. Betapa mungkin dia dapat menandingi mereka dan mempertahankan Siang-bhok-kiam?

"Kiranya engkau baru akan dapat menandingi kesaktian mereka itu kalau engkau sudah mempelajari semua kitab-kitab peninggalanku...."

Demikian antara lain gurunya meninggalkan pesan sebelum menutup mata. Dan rahasianya berada di Siang-bhok-kiam! Mengapa turun gunung sebelum dia mendapat bekal kesaktian yang akan cukup kuat di pakai mempertahankan Siang-bhok-kiam? Lebih baik dia mencari dan memperlajari kitab-kitab itu!

Pada keesokan harinya, Keng Hong mulai memeriksa dan meneliti pedang Siang-bhok-kiam. Pedang itu tidak bersarung, pedang telanjang yang terbuat daripada bahan kayu yang berbau sedap harum. Warnanya kehijauan dan kerasnya melebihi baja! Keng Hong meraba-raba pedang Siang-bhok-kiam dan meneliti ukiran huruf-huruf kecil yang pernah dilihat dan dibacanya. Kini dia memeriksa dan membacanya kembali:

"Kebijaksanaan tertinggi seperti air! Tulus dan sungguh mengabdi kebajikan Tukang saluran mengalirkan airnya kemana dia suka!"

Keng Hong mengerutkan keningnya. Sepanjang pengetahuannya, Sin-jiu Kiam-ong gurunya itu adalah orang yang paling memandang rendah para pendeta yang dia anggap orang-orang munafik yang pura-pura suci. Karena itu, pengetahuan suhunya tentang kitab-kitab suci hanya sepotong-sepotong dan ngawur saja. Akan tetapi mengapa pedang itu diukir dengan bait-bait yang terdiri dari kata-kata yang hanya dipergunakan dalam kitab-kitab suci? Sudah jelas bahwa gurunya yang membuat huruf-huruf ini. Dia mengenal huruf tulisan suhunya yang bengkak-bengkok tidak dapat dikatakan indah.

Namun orang yang sudah dapat menuliskan huruf-huruf kecil pada tubuh Siang-bhok-kiam, kiranya di dunia ini hanya dapat dihitung dengan jari tangan! Apakah artinya huruf-huruf itu? Apakah artinya sajak yang bukan sajak, ujar-ujar yang setengah matang itu? Keng Hong merasa seperti sering membaca kalimat-kalimat ini, akan tetapi setelah dia ingat-ingat, dia tahu betul bahwa tidak ada ujar-ujar seperti itu bunyinya dalam kitab yang manapun juga!

Sehari semalam lamanya dia merenungi arti tiga baris tulisan ini, namun tetap saja dia tidak dapat mengerti. akhirnya dia berpendapat bahwa mungkin rahasianya bukan terletak dalam baris-baris sajak yang tidak karuan ini, melainkan pada pedang itu sendiri. Diperiksanya pedang itu, di tekan sana-sini, dicarinya kalau-kalau ada bagian yang mengandung rahasia. Namun tak berhasil menemukan sesuatu yang aneh di pedang itu kecuali huruf-huruf tadi.

Keng Hong telah berlatih ketekunan selama lima tahun di tempat itu, maka kini pun dia tidak mudah putus asa. Dengan tekun dia lalu mencari-cari di seluruh permukaan puncak batu pedang memeriksa kalau-kalau ada gua rahasia atau ada lubang-lubang yang cocok dengan ukuran pedang untuk dicongkel, kalau-kalau di situ terdapat pintu rahasia tempat penyimpanan pusaka suhunya.

Namun, sampai sebulan sejak suhunya meninggal dunia, dia tidak berhasil menemukan pusaka itu di permukaan puncak batu pedang. Sementara itu, persediaan buah-buahan telah habis. Maka diambilnya keputusan untuk meninggalkan tempat itu, sesuai dengan pesan Kiang Tojin karena dia merasa tidak berhak tinggal di situ lebih lama lagi.

Untuk penghabisan kali ini dia berlutut dan bersembahyang ke empat penjuru sambil menyebut nama suhunya, kemudian menyelipkan Siang-bhok-kiam di sebelah dalam bajunya. Ketika menyelipkan Siang-bhok-kiam ini, dia tersenyum dan menoleh ke sebuah sudut di atas permukaan puncak batu pedang. Ia merasa girang bahwa akhirnya timbul keberaniannya untuk turun dan menghadapi apa saja dengan dada lapang.

Dia sudah lupa akan watak ayah bundanya, namun dia masih ingat benar akan watak gurunya. Gurunya seorang periang, mengapa dia sebagai muridnya tidak mencontoh watak guru? Dia harus menghadapi segala rintangan yang mungkin timbul dengan hati riang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri? Dia kini bebas lepas seperti seekor burung terbang di udara. Mengapa tidak gembira?

Dengan wajah berseri pemuda remaja yang tampan ini lalu menuruni puncak ini. Setelah mengoper sinkang suhunya sebulan yang lalu, dia merasa tubuhnya demikian penuh hawa yang amat kuat, yang membuat dia dapat meringankan tubuhnya, dan menuruni tebing yang curam itu dapat dia lakukan dengan amat mudahnya, jauh lebih mudah daripada yang sudah-sudah kalau dia turun mencari persediaan makan untuk suhunya dan dia.

Pedang Kayu Harum (Siang Bhok Kiam)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang