Chapter 4

365 50 9
                                    


Tuhan itu maha segalanya. Sungjae tidak henti-hentinya berterimakasih atas apa yang tuhan berikan padanya hari ini. Tuhan itu baik, baik karena telah membuka jalan untuk bertemu dan mengenal dekat seorang Park Sooyoung yang lebih cantik daripada artis-artis wanita yang sering ia lihat di televisi.

Hari ini ia dan Sooyoung telah melakukan banyak hal- tidak terlalu banyak, sih. Mereka makan Tteokbokki di kedai langganannya, melihat street performances, dan melihat anjing lucu di toko hewan. Sooyoung ternyata bukan tipe gadis yang kaku- ia memang kaku dan malu-malu pada awalnya, tetapi Sooyoung akan lebih terbuka setelahnya. Sooyoung hari ini cerita banyak pada Sungjae dan ia terlihat sangat nyaman. Lagi-lagi, Sungjae bersyukur.

Sungjae segera meraih handphone nya yang sengaja ia letakkan di bawah bantal, menekan nomor telepon Namjoo yang sudah ia hapal diluar kepala- bahkan ia bisa melakukannya dengan mata tertutup. Ia ingin menceritakan semuanya pada Namjoo karena jika ia cerita kepada Minwoo- hey! mana ada lelaki cerita pada lelaki. Sialnya, Namjoo tidak mengangkat panggilan dari Sungjae dan menyisakan suara operator. Sungjae terus mencoba hingga 5 kali, tetapi tetap tidak mendapat respon apa-apa.

Dan, pada percobaan yang ke-6 Sungjae berhasil.

"Jangan telepon aku lagi. Aku benci."

Lalu, sambungan itu dimatikan sebelum Sungjae sempat menjawab. Apa-apaan ini? Kenapa Namjoo jadi marah-marah padanya? Dahi Sungjae berkerut-kerut, mencoba menelaah sikap sahabatnya yang akhir-akhir ini berubah 180 derajat. Ini bukan Namjoo yang ia kenal- Namjoo yang Sungjae kenal tidak suka marah-marah.

Perempuan memang makhluk paling aneh dan suka membuat pusing- atau mungkin hanya Namjoo saja yang begini.

***
Ada sekitar 20 tissue tercecer berantakkan di lantai kamar Namjoo. Ia menangis lagi setelah mengangkat telepon dari Sungjae. Ia sendiri tidak mengerti mengapa ia jadi lemah seperti ini, Namjoo benci dirinya yang sekarang. Dan, kenapa harus Sungjae yang membuatnya seperti ini? Sungjae itu tidak pantas ditangisi. Masih banyak lelaki yang pantas ia tangisi seperti Myungsoo si es kutub yang tampan atau Chanyeol si drummer band sekolah, tapi kenapa harus Sungjae?!

Namjoo menyeka air matanya lagi. Ia bukan perempuan lemah, ia lebih kuat dari baja. Ia tidak boleh menangis karena cemburu melihat sahabatnya punya pacar- bukan, bukan pacar- maksudnya orang yang disukai, karena tidak ada gunanya. Menangis hanya akan mempersulit hidup dan ia tidak mau hidupnya sulit hanya karena masalah sekecil biji jagung.

Tekad Namjoo sudah kuat. Mulai besok, Namjoo tidak akan pernah membuang air matanya lagi- apalagi untuk orang yang tidak ada penting-pentingnya seperti Sungjae.

Perlu diketahui, air matanya itu mahal.

***

"Namjoo, ada apa sebenarnya?"

Sungjae datang pagi-pagi sekali ke sekolah karena ia harus mempersiapkan diri untuk ulangan matematika di jam pertama. Tapi, ia bertemu dengan Namjoo saat sedang menuju kelas- dan pada akhirnya ia menguntit Namjoo, meminta kejelasan tentang hal yang membuat gadis itu sampai marah padanya.

Sungjae mencegat Namjoo untuk tidak melanjutkan langkahnya dengan cara berdiri di hadapan Namjoo, menghalangi jalan gadis itu. Tetapi, alih-alih mendapat penjelasan- Sungjae malah mendapatkan kedua kakinya nyeri karena diinjak oleh Namjoo yang sedang menatapnya penuh amarah.

"Minggirlah, idiot." kecam Namjoo, mau tidak mau Sungjae menepi dan memberi jalan pada Namjoo. Sungjae mengamati punggung Namjoo yang semakin lama semakin menjauh. Sungjae menghela napas berat dan mencibir, "Dasar sensitif." Lalu kembali melangkah menuju kelasnya.

A Typical (Not Typical) Love StoryWhere stories live. Discover now