Chapter 7

366 44 11
                                    

Suara air keran itu sudah terdengar selama dua menit. Sooyoung berkali-kali mencuci tangannya- ia dengar-dengar mencuci tangan bisa melepaskan segala kejenuhan dan menenangkan diri. Tapi, ternyata itu tidak berlaku untuk Sooyoung. Still feeling uneasy.

Apa yang ia lihat sepuluh menit yang lalu memang bukan hal yang mengerikan, tapi hal itu membekas di otaknya- itu menyakitkan. Apa yang menyakitkan dari melihat dua orang sahabat yang sedang berpelukan? Jika lelakinya bukan Sungjae, mungkin itu tidak akan menyakitkan.

Sooyoung membasuh wajahnya, ia harus segera sadar dan memahami bahwa kenyataan tidak selalu seindah dongeng putri-putri disney. Lagi pula, ia sendiri yang meminta Sungjae untuk segera berbaikkan dengan Namjoo- ia tidak mau jadi alasan mengapa persahabatan kedua manusia itu hancur.

Sooyoung-ah, kau pasti bisa menghadapinya.

                                       ***

Janji tetaplah janji, dan Sungjae bukan tipe lelaki yang suka ingkar janji. Ia sudah janji untuk meneraktir Namjoo sepulang sekolah, jadi ia langsung berlari secepat zebra di kebun binatang untuk menjemput Namjoo di kelasnya setelah bel pulang sekolah berdering.

"Namjoo!!" Sungjae melambai pada Namjoo yang sedang memasukkan buku-bukunya ke dalam ransel. Namjoo mendongak, membalas lambaian lelaki bertubuh tinggi yang tengah bersandar di ambang pintu dengan sebuah senyuman tipis. Namjoo menyampirkan ranselnya di pundak dan berlari kecil menghampiri Sungjae- keduanya ber-tos ria sebelum Sungjae merangkulnya sehingga tidak ada jarak antara keduanya.

"Kau lama." Keluh Sungjae dengan raut sok marah. Namjoo hanya terkekeh, ia sudah terbiasa dengan sikap Sungjae yang kelewat ajaib- Sungjae tidak akan menemukan perempuan yang sepengertian dirinya, mungkin.

"Kau saja yang terlalu cepat. Kau bersemangat sekali mau meneraktirku- oh! pasti kau ada maunya ya?" Namjoo mulai mencubiti perut Sungjae dan membuat lelaki itu meringis meminta ampun. Namjoo hanya tertawa.

"Aish, bisa tidak sih sehari saja kau tidak bikin emosi. Cubitan mu sakit, tahu!" Sungjae marah-marah seperti anak balita dan Namjoo hanya mencibir. "Aku sudah lama tidak mencubitimu, jadi kau pasrah saja."

"Sialan kau, Kim Namjoo."

"Dasar Yook Sungjae bodoh."

Keduanya tertawa lepas dan saling mengeratkan rangkulan. Ini adalah zona nyaman mereka, zona nyaman bagi Sungjae dan Namjoo. Namjoo itu seperti kamar bagi Sungjae dan Sungjae itu seperti boneka beruang bagi Namjoo- kebahagiaan dan segala macamnya hanya tercipta jika mereka sedang bersama dan keduanya juga percaya bahwa tidak akan ada seorang lain yang bisa membuat mereka lebih nyaman dari ini.

Tapi, Sungjae ternyata menemukannya. Hanya saja, seorang itu tidak merasakan hal yang sama dengannya. Sungjae hanya cinta sepihak dan rasanya seperti obat batuk- pahit, tidak enak.

Jadi, Namjoo adalah yang paling pas untuk sekarang ini. Sungjae yakin ia dan Namjoo akan melewati masa-masa ini untuk waktu yang lama. Itu sudah pasti.

                                       ***

Sungjae adalah hadiah untuknya.

Bagi Namjoo, Sungjae adalah hadiah yang dikirim tuhan untuknya. Lelaki itu datang bagai malaikat di siang bolong saat ia sedang dihukum oleh guru matematika karena lupa mengerjakan tugas saat mereka masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Namjoo harus berlari keliling lapangan bola yang besarnya seperti taman istana Cinderella sampai bel istirahat berbunyi, dan parahnya hari itu adalah hari terpanas sepanjang musim panas. Kerongkongannya kering dan kakinya mulai gemetar. Namjoo terjatuh terlentang, tapi ia tidak pingsan- membiarkan sinar matahari menerpa wajahnya yang dipenuhi keringat.

A Typical (Not Typical) Love StoryWhere stories live. Discover now