Volume 1 Bagian 10 : Battle of Shadar

13 3 0
                                    

Natalie tampak telah bersiap untuk membekukan semua yang dapat dilihatnya. Bersama beberapa prajurit yang tampak melindunginya, Natalie kini hanya menunggu hingga tim penyusup mempersiapkan peledak di bawah pusat kota Shadar.Ketika angin pelan berhembus, dia dapat merasakan dinginnya hari itu. Untuk sesaat, Natalie sempat terpikir, apakah yang dilakukannya ini benar? Bagaimana dengan warga sipil yang masih berada di kota? Apa dia hanya menutup mata dan seolah tidak peduli?

"Aku tidak tahu, Romel. Bagaimana caranya kamu mengendalikan semua ini?" tanya Natalie kepada dirinya sendiri yang tengah memegang panah esnya.

Dihadapannya terhampar laut yang luas, dingin, dan tidak bertuan. Suara ombak dapat terdengar di pagi buta itu. Natalie terlihat terus berkonsentrasi sambil menenangkan pikirannya. Semakin lama dia berkonsentarasi, semakin dirinya mampu membayangkan seluruh area yang akan dibekukannya dengan sempurna.

"Sudah waktunya, Natalie."

Suara lembut Ravenna dapat terdengar. Natalie perlahan menghirup napas dalam-dalam, mengeluarkannya perlahan bersama hawa dingin yang menciptakan kabut dan menyelimuti pagi tersebut dengan selimut yang tak tampak lagi membutakan. Ditariknya anak panahnya dan di arahkannya tinggi ke langit.

"Melesatlah," ucapnya pelan.

Lima buah anak panah tersebut melesat kencang menuju angkasa, terbang tinggi hanya untuk diam kemudian jatuh kembali dengan jarak yang berbeda. Panah es tersebut jatuh dengan pelan namun ketika salah satu dari mereka menyentuh air, seketika itu juga air membeku dan menciptakan es yang tebal dan kokoh seperti jalan yang terbuat dari kaca.

Tak lama, Natalie dapat mendengar suara-suara yang berasal dari tank, mobil, truk, dan berbagai kendaraan yang pergi menjalankan misi yang sudah disampaikan kepada mereka. Tak lama dari tempat Natalie berdiri sekarang, dapat terlihat asap yang menandakan peledak yang dipasang pada tembok sudah diledakkan.

"Sebaiknya kita juga pergi. Infanteri terlihat sudah memulai penyerangannya dari bukit," ucap Ravenna kepada Natalie.

"Baiklah," jawab Natalie yang segera berbalik dan bersiap pergi dari sana.

Ravenna terdiam dan langsung bertanya,

"Bagaimana dengan Romel? Kita akan meninggalkannya begitu saja?" tanya Ravenna.

"Tentu tidak, Zariel akan melindunginya bersama beberapa prajurit lain. Mungkin tidak cukup tapi setidaknya mereka bisa bergerak secepatnya jika ada penyergapan."

"Kalau begitu, aku bisa sedikit lega. Semua sudah siap dan kita bisa berangkat sekarang!" sebut Ravenna bersemangat.

***

Sekarang langit-langit yang terlihat seperti duri turun perlahan ke arah Sylvie dan lawannya. Sejujurnya, tidak ada yang bisa dilakukannya untuk berdiri. Tubuhnya tidak cukup kuat untuk mengangkat balok yang menimpanya dan sepertinya memang tidak akan bisa. Dirinya tampak berpikir keras, berusaha memikirkan suatu kemungkinan yang bisa jadi dilewatkannya.

"Bagaimana caranya aku keluar dari sini?" pikirnya keras.

Sylvie tidak punya banyak waktu, duri-duri itu benar-benar tampak menyeramkan ketika mereka semakin dekat. Dari jaraknya sekarang, dia tidak punya banyak pilihan. Sekarang, dia berpikir betapa pentingnya memiliki sihir jarak jauh di saat seperti sekarang. Sylvie menghela napas panjang, tidak tahu harus berbuat apa lagi.

"Sylvie!" teriak sebuah suara.

"Suara? Heugo?" pikir Sylvie yang bertanya-tanya.

Tiba-tiba sinar terang muncul dan menghalangi dirinya untuk melihat apa yang terjadi. Sylvie dapat melihat bayangan sekilas namun cahaya yang amat kuat membuat dirinya tidak mungkin melihat siapa itu tapi dirinya punya keyakinan jika bayangan tersebut adalah milik Heugo.

Shadow OrderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang