“Pegang ini,” kata ayah sambil menyerahkan sesuatu padaku.
“Tapi aku lebih suka mobil-mobilan,” rengekku. Kupalingkan muka, tak mau menerima benda itu.
“Ini lebih seru dibanding sekedar mobil-mobilan Nak, kau tahu kenapa? Karena benda ini bukan sekedar mainan,” kata ayah. Diraih tangan mungilku, lalu diletakkannya pistol semi otomatis walther-P99.
Aku menerimanya dengan takut. Pistol itu begitu berat dan besar di tangan anak umur 6 tahun sepertiku.
“Ker, kau adalah satu-satunya penerusku, tradisi keluarga kita mengharuskanmu terbiasa dengan benda semacam ini. Kau tahu? Pistol ini masuk dalam 10 besar senjata api terbaik di dunia, aku sudah mengeluarkan banyak uang untuk pistol ini.”
“Bukannya aku tinggal duduk memeriksa dokumen kalau mau jadi penerus Ayah?” tanyaku. Ayah tak menjawab, sibuk membenahi robot Gundam kesayanganku yang diletakkannya di atas drum minyak.
“Aku akan mencontohkan satu kali, dan kau harus melakukan seperti apa yang kulakukan,” ayah mengarahkan pistol yang diambilnya dari saku pada robot Gundam yang berada 10 meter di depan kami.
“Ayah... Ayah mau apa?” suaraku bergetar, “itu robot kesayanganku,” kataku kemudian sambil menarik celana ayah dengan tangan penuh keringat. Takut.
Ayah tak peduli padaku dan memilih menarik pelatuk senjatanya. Pistol itu memuntahkan bunyi desingan yang membuat diriku menutup mata dan telinga dengan kedua tangan mungil.
Peristiwa selanjutnya yang teringat adalah, ayah memaksa menembak dengan cara yang sama, ditengah isak tangis yang pecah karena robot Gundam kesayanganku sekarang berlubang badannya. Cacat. Gundamku pasti kesakitan.“Jangan menangis seperti perempuan! Tak seharusnya kau menyayangi apapun!“ itulah kata terakhir ayah sebelum aku terpaksa mengangkat pistol, mengarahkan pada balon berisi air yang digantungkan pada batang pohon. Mataku masih kabur dengan air mata yang tak bisa berhenti. Kutarik nafas dalam-dalam, pejamkan mata, lalu kutarik pelatuk dengan cepat.
Selanjutnya adalah peristiwa-peristiwa mengerikan. Yang teringat hanya sebatas slide-slide yang
berkelebatan begitu saja. Slide pertama, kudapati diri terjengkang karena tak kuat menahan
tekanan pistol.Slide ke-dua, pistol itu terlepas dari tanganku, membumbung ke langit.
Slide ke-tiga, terlihat ayah dan orang-orang panik, berlarian mengerumuni sesuatu.
Slide ke-empat aku melihat ayah yang beruraian air mata pergi dengan membopong mama yang dadanya berlumuran darah. Slide terakhir adalah slide yang paling mengerikan kerena melihat diri sendiri mengatakan pada ayah, “jangan menangis seperti perempuan! Tak seharusnya kau menyayangi apapun!“
Sekelebat kusaksikan ayah menatap dengan pandangan mengerikan,”kau… monster,”
katanya sambil berlalu. Tak peduliku dikatai monster. Setidaknya ayah mendapat pelajaran, bahwa perkataan seperti itu adalah kalimat yang tidak tepat diucapkan pada orang yang baru saja kehilangan sesuatu yang disayangi. Rasanya sakit bukan?

KAMU SEDANG MEMBACA
HITMAN (Selesai)
Mystery / ThrillerIni adalah cerita pendek yang mengisahkan seorang anak genius yang terlahir di keluarga yang berprofesi sebagai pembunuh bayaran. Dia sendiri telah membunuh ibunya di usianya yang baru tujuh tahun. Apa yang akan terjadi berikutnya?