Penerus Tunggal

226 18 3
                                    

Seperti kata ayah dulu, aku calon tunggal, meneruskan bisnis ayah untuk menjadi “Hitman”, orang-orang yang dibayar untuk membunuh orang lain.

Sekarang tangan ini begitu mahir memegang senjata jenis apapun, kemanapun tebasan senjata terarah, tak ada yang salah sasaran. Alih-alih trauma memegang pistol ketika menyadari bahwa tembakan pertama membuat mama terbunuh, aku justru keranjingan dan tergila-gila untuk menghilangkan nyawa. Mungkin
diriku memang gila. Di tengah acara pemakaman mama, bukannya tersedu sambil mengusap ingus, aku justru sibuk membersihkan pistol, tapi peduli apa dengan acara pemakaman itu? Menangis tak akan membuat mama hidup kembali seperti tak akan membuat robot Gundam tak cacat lagi bukan?

Bersamaan dengan berakhirnya hidup mama, berakhir pula hubungan harmonis dengan
ayah. Rasanya memori tentang terakhir kalinya ayah memeluk, menepuk pundak dan memanggil
dengan sebutan “Nak”, tak bisa diputar lagi. Hilang.

Ayah juga berhenti berbicara dan menyapa. Ah, dan bagaimana suaranya? Sepertinya sudah terlupa. Ayah selalu menitipkan pesan pada anak buahnya untuk disampaikan pada diriku. Dia bahkan hanya bungkam saat berpuluh-puluh orang sibuk memuji kemampuan menembak putranya. Caranya memandangku berbeda ketika dia
memandang anak buahnya. Tak mengertiku arti tatapannya, sampaiku lihat sendiri ketika ayah
menembak Pak Maher, musuh terberatnya. Ya… caranya memandangku sama persis saat dia
menatap musuh terbesarnya.

***

Karir perdana menjadi hitman dimulai saat umur 8 tahun. Masih ingat dengan jelas diriku
pengalaman pertama itu.
“Mau cari belalang Dek?” kata seseorang. Matanya menyelidik, lirak-lirik. Tangan kanannya menyandar di pintu, menghalangi siapapun masuk. Dilihatnya aku yang berpakaian lusuh, menenteng wadah transparan penuh belalang kayu.

“Om, mau beli belalang kayu?” sementara laki-laki itu melihat kumpulan belalang dengan pandangan jijik, mataku dengan segera melirik ke gudang di belakang laki-laki berambut gondrong itu. Bagus. Aku hanya perlu melewati satu penjaga.

“Belalangnya besar-besar ya? Sayang, aku alergi belalang.”

“ Yaaah Om… beli dong,” rengekku.

“Aku tidak suka, sana cari yang lain.”

“Kalau teman Om gimana?” ku terobos pertahanan samping kiri tubuhnya yang lemah.

“Apa yang kau lakukan?! Kamu tidak boleh masuk!” teriakannya menggema dalam
gudang. Terlambat, aku sudah berada di depan bosnya. Tidak salah lagi, laki-laki bertubuh tambun ini pasti target pertamaku. Bandar kokain yang nyawanya seharga 700 juta.

“Kamu pencari belalang yang sering berkeliaran di sekitar sini?” tanya bandar kokain itu kemudian. Dia menghampiriku. Dirogoh saku baju, lalu diserahkan permen karet padaku,
“pergilah… tak baik anak kecil berkeliaran di sini.”

“Terimakasih Om,” kuterima permen karet itu dengan tangan kanan sementara tangan kiri sibuk meraih pistol di saku celana. Dengan kilat ku tembak kepalanya dari jarak dekat.

Laki-laki itu ambruk. Darah menyembur hebat, tapi matanya masih terbelalak. Terlalu cepat, dia bahkan tak sempat mengekspresikan keterkejutannya barang setengah saja. Mati seketika. Dasar bodoh.
Laki-laki penjaga menganga, mungkin dia kesulitan berkata-kata. Keringatnya bercucuran, kaki dan tangannya jelas gemetar ketika aku menghampirinya. Dia pasti ketakutan
setengah mati, karena tak memegang senjata apapun yang bisa digunakannya untuk melawan.
Tak tertarik, kulewati dia begitu saja sambil kumasukkan lagi pistol ke sarangnya. Nyawa yang tidak ada bar code-nya sama sekali tak berharga. Selesai sudah tugas perdana.

Sial… ini terlalu mudah. Ku pikir akan lebih seru.

“Belalangnya gratis kok Om!” teriakku. Kulangkahkan kaki menjauh dari gudang sambil
mengunyah permen karet gratis itu. Manis.

HITMAN (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang