Tahun Keenam (terakhir)

5.1K 828 111
                                    

Setahun kemarin, aku mulai dekat dengan Arin. Kami sering makan bersama, bersantai di longue kastil, bahkan menghabiskan sore di Taman Bunga. Aku merasa nyaman didekat Arin.

Dan kau tahu apa yang membuatku semakin yakin kalau Arin adalah si Penggemar Rahasia?

Surat-surat itu tidak pernah datang lagi semenjak kedekatanku dengan Arin.

Arin tidak perlu mengirimiku surat lagi, bukan? Sekarang kami memiliki semua waktu yang kami inginkan.

Tapi sampai sekarang, aku belum berani menyatakan perasaanku ke Arin.

Kami juga suka bermain ke ruang Musik kastil yang terletak di aula. Aku memainkan gitar dan Arin di piano. Kadang aku suka memancingnya untuk memainkan lagu ciptaannya tentangku. Aku penasaran.

Tapi Ia bilang kalau Ia tidak bisa menggubah lagu? Bahkan menulis puisi pun Ia tak mampu.

Sementara, surat-surat yang selama ini Ia kirim memiliki bahasa yang nyaris mendekati puisi.

"Mark, bolehkah aku bertanya?"
Saat itu kami sedang menikmati apple pie buatan mama Arin di bangku Taman Bunga.

"Iya?"

"Ini soal.. S-surat tanpa nama...."
Aku tersentak saat Arin menyebutkan surat itu. Sontak aku langsung menatap matanya, bahkan menggenggam tangan Arin.

"Itu... itu kau kan?" Aku tersenyum, seakan telah menemukan jawabannya.

Arin terdiam. Cukup lama.

"Mark.. kini surat itu datang kepadaku."
Saat itu juga tubuhku lemas. Tanganku melepaskan genggaman Arin. Ternyata selama ini aku salah. Aku yang salah, bukan Arin.

"Surat itu datang tadi pagi, Mark. Maaf kalau aku mengecewakanmu."
Aku melihat mata Arin memerah, seperti ingin menangis.

"Jangan menangis. Aku yang salah." Ku peluk tubuh mungil Arin, memberikan sinyal kepadanya bahwa semua akan baik-baik saja.

Dari awal aku memang tidak pernah menanyakan Arin soal surat itu. Karena menurutku, apabila Arin adalah orangnya, surat itu tidak datang lagi. Tapi ternyata dugaanku salah. Maafkan kebodohanku, Arin.

"Bolehkah aku lihat isi suratnya?"
Arin memberikanku sepucuk amplop putih tanpa nama.

Halo Arin,
Mark beruntung mendapatkanmu.
Begitu juga dengan dirimu.
Kalian cocok, kalian lucu.
Senyuman yang terpintas di bibir Mark saat kalian bersama
Adalah sebagian kecil dari kebahagiaanku.
Tolong jaga dia untukku.
Buatlah Ia tersenyum setiap harinya.
Dan sampaikan padanya bahwa kawan lamanya merindukannya.

***
Terhitung hari itu, hubunganku dengan Arin malah semakin dekat.

Entah mengapa, seharusnya kami semakin jauh bukan? Dia bukan orang yang kucari.

Tapi, karena surat itu, Arin membantuku mencari siapa pengirimnya. Kami pun menjadi sahabat.

Sampai akhirnya tiba malam natal terakhir kami di SMITHS.

Seluruh siswa dari penjuru kastil berkumpul di aula utama, ada pohon natal raksasa berdiri ditengah-tengah. Ada panggung kecil di dekat mimbar.

Aku menemui Arin dan kawan lainnya di depan pintu aula. Mereka tampak bahagia, sama sepertiku.

Mereka tampak berbisik-bisik. Yerim tidak biasanya tersenyum seperti ini.

"Kim Yerim. Apa yang kau sembunyikan?" Tanyaku, memasang mimik penasaran.

"Ng... tidak ada. Aku hanya ingin bilang kalau, mungkin hadiah yang kami bawa tidak sebagus atau seberharga hadiah yang akan kau temukan di panggung depan nanti."

Haechan menepuk bahu Yerim. "Jangan bilang bilang!"

"Apa sih? Kan aku hanya memberikan petunjuk."

Sementara Arin hanya tertawa melihat mereka.

Salju pertama pun turun. Orang-orang sibuk berkerumun di jendela, saling mendesak ingin melihat salju diluar. Termasuk aku.

Genteng sebagian kastil yang terlihat dari jendela sudah hampir berwarna putih, terselimuti oleh salju. Aku tersenyum melihatnya. Indah sekali.

Sesaat aku menyadari sesuatu, teman-temanku tidak ada di sampingku. Padahal mereka daritadi ada disini.

"Yerim! Arin! Haechan! Jaemin!" Aku menyerukan nama mereka. Tapi tidak ada jawaban.

Tiba-tiba seisi ruangan redup, hanya sebuah lampu sorot yang menyala dan mengarah ke tengah panggung.

"Ehm.. Namaku Koeun. Dari Asrama Selatan."

Aku memutar balikkan tubuhku. Penasaran.

"Malam ini saya akan memabawakan lagu ciptaan saya sendiri. Semoga, lagu ini akan berkesan dan dapat menghiasi malam Natal terakhir kami di SMITHS."

Malam terakhir? Berarti Koeun seangkatan denganku. Lagu ciptaan? Pasti dia sangat berbakat. Aku tidak terlalu memperdulikannya. Sekarang aku harus mencari kemana empat bedebah itu. Tega-teganya mereka meninggalkanku-

"Lagu ini, teruntuk seseorang dari Asrama Utara."

Sesaat ruangan berubah sunyi.

Kakiku mematung. Tubuhku juga. Aku melihat teman-temanku dari Asrama Utara, mereka tampak kebingungan.

Dan saat aku memutar balikkan tubuhku ke arah panggung, mata kami bertemu.

Detik itu juga, aku meyakinkan diriku,

Dialah orangnya.

Aku melupakan Keempat orang temanku.

Sekarang langkahku tertuju ke panggung.

Tak kulepaskan pandanganku darinya.

Setiap langkah  kuambil dengan keyakinan.

Seyakin perasaanku padanya.

Dia adalah Koeun, Penggemar rahasiaku.

***
Sesaat setelah ia selesai bernyanyi, Aula yang lenggang menjadi ramai dengan tepukan tangan. Mataku masih tertuju padanya, yang kini telah berjalan menuruni panggung.

Kini kami berdiri berhadapan.

Dan aku bersumpah, jantungku tidak pernah berdetak secepat ini.

Aroma lavender yang terpancar dari tubuhnya, membuatku semakin mematung.

Ia tersenyum, manis sekali.

Tanpa pikir panjang, aku menariknya kedalam pelukanku.

"Terima kasih untuk selalu ada."

"Dan terima kasih telah mengenaliku, Mark Lee."

Sebuah awal dari akhir  kisah yang bahagia.












A/n***akhirnya kelar. HEHEHE vomment!vomment!vommeentt! esp. For those markoeun shipper '0')/

FANMAIL (Mark Lee) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang