Jeena Sirf Mere Liye

739 57 9
                                    

***

Sudah hampir 35 menit Shanaya menunggu dihalte bus. Seperti janji Kabir kemarin. Mereka akan bertemu lagi hari ini. Shanaya sengaja datang lebih awal. Entahlah, dia hanya ingin melihat Kabir lebih cepat hari ini.

Shanaya sedang sibuk mengayunkan kakinya yang menggantung seperti anak kecil sampai tiba-tiba handphonenya berbunyi. Nama ayahnya langsung tertera dilayar handphone milik Shanaya. Shanaya tersenyum lalu mengangkatnya.

"Hallo , ayah."

" ......"

"A..apa ?"

Sedetik setelah itu Shanaya berlari sekuat tenaga mencegat satu taksi yang berseliweran dihadapannya. Matanya menumpahkan cairan bening yang dijaganya selama ini agar tidak keluar. Matanya memanas, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya dan itu cukup membuatnya terasa sakit. Dia masih ingat dengan jelas apa yang dikatakan ayahnya barusan.

"Shanaya, apa kau memiliki teman bernama Kabir ? dia bermarga Khan. Datanglah kerumah sakit segera. Dia kehilangan kesadarannya saat datang kesini."

" Pak tolong lebih cepat" ucap Shanaya disela-sela tangisannya pada supir taksi. Shanaya ingin bertemu dan memaki Kabir. Pria itu sudah berjanji untuk bertemu lagi hari ini. Tapi dia tidak menepatinya dan malah pergi kerumah sakit.

Tidak berapa lama, Shanaya sampai dirumah sakit. Dia berlari kencang menembus beberapa pintu depan rumah sakit, menaiki eskalator karna menunggu lift membuang banyak waktu. Yang kini dicarinya adalah ruan gawat darurat.

"Shanaya ! " terdengar suara berat yang sudah sangat familliar bagi Shanaya. Shanaya menghampiri ayahnya yang baru saja keluar dari kamar pasien. Masih lengkap dengan jubah putih khas dokter.

"Ayah dimana Kabir ?" Shanaya bertanya dengan nada panik dan terkesan buru-buru. Ayahnya tersenyum melihat tingkah anaknya. Ayahnya merangkul bahu Shanaya dan mengajaknya berjalan kearah berlawanan menuju ruang gawat darurat dimana Kabir berada saat ini.

"Ayah kita mau kemana ? aku ingin melihat Kabir" suara Shanaya terdengar sedikit bergetar. Sekali lagi ayahnya tersenyum namun tidak menjelaskan. Langkah mereka berhenti tepat didepan pintu kamar bernomor 201.

"Masuklah dulu. Kabir sedang dalam pemeriksaan, tidak boleh ada yang masuk keruang gawat darurat" ujar ayahnya. Shanaya masih menatap ayahnya bingung. Lalu untuk apa dia membawanya keruangan ini ?

"Ini ruangannya. Tempat tinggal Kabir sejak satu bulan yang lalu"

Shanaya menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Matanya kembali mengeluarkan cairan bening.

"Masuklah" ayahnya membukakan pintu ruangan tempat Kabir dirawat dulu. Ruangan itu tampak sepi sekarang, karna sang penghuni sedang pindah tempat. Shanaya berjalan gontai memasuki ruangan Kabir yang berwarna serba biru muda. Shanaya membaca papan biodata yang terdapat disisi bawah ranjang ruangan ini. Di papan itu tertulis Pneumothorax. Shanaya kembali meneteskan airmatanya melihat nama penyakit yang diderita Kabir.

Shanaya terduduk lemas disisi ranjang, menunduk menatap rok hitam yang sedang dipakainya perlahan membasah namun hanya disatu titik dan Shanaya baru tersadar kalau air yang membasahi rok hitamnya itu adalah airmatanya sendiri. Shanaya tidak berniat menghapus airmatanya sama sekali. Izinkan dia melanggar janjinya untuk menjadi kuat dan tidak pernah menangis. Hanya sekali ini saja, izinkan dia menangis.

Shanaya tidak pernah tau dimana Kabir tinggal dan ternyata disinilah dia tinggal. Dirumah sakit dengan puluhan selang yang menghiasi tubuhnya. Otak Shanaya kembali memutar masa-masa pertemuan pertamanya dengan Kabir. Dihalte tempatnya biasa menunggu bus. Terkadang di Cafe atau di toko buku. Shanaya meremas jarinya kuat-kuat hingga buku-buku kukunya memutih.

Saat Shanaya melempar pandangan keseluruh sudut ruangan ini, pandangannya terhenti pada sebuah amplop coklat yang berukuran cukup besar namun tidak terlalu besar. Shanaya meraih amplop tersebut dan membukanya lalu mengeluarkan isinya. Hanya beberapa kertas yang sudah lusuh, banyak kerutan dikertas itu sebagai tanda bahwa kertas itu pernah diremas dan hampir dibuang namun kembali diambil oleh pemiliknya. Shanaya mulai membaca kertas tersebut satu persatu.

"Hari ini aku bertemu seorang gadis. Cukup unik, dia membuatku terkesan dengan mata coklat miliknya. Dan hari ini juga aku mengetahui namanya. Shanaya..Shanaya Singhania "

"Seperti biasa, suster mengizinkanku keluar dari gedung rumah sakit untuk berjemur. Namun aku selalu berhasil kabur. Demi melihat gadis itu lagi"

"Aku mulai memahami gadis itu. Dia tidak terlalu suka kopi namun dia menyukai baunya, dia selalu datang terlambat kehalte dan dia juga suka membaca novel fantasi. Aku bertemu hari ini dengannya ditoko buku. Saat aku mencari tau tentang Pneumothorax dari buku yang tersedia ditoko buku tersebut"

Saat membaca kertas-kertas itu otak Shanaya kembali kemasa dia bertemu dengan Kabir ditoko buku. Saat Shanaya mengatakan untuk apa Kabir datang ketoko buku, dia hanya menjawab ada sebuah pertanyaan yang selalu mempengaruhi pikirannya, jadi dia mencari tau jawaban itu dari sebuah buku. Jadi ini pertanyaannya ? tentang penyakitnya sendiri ?. Shanaya lalu melanjutkan kegiatannya membaca kertas-kertas itu.

"Aku benar-benar merindukan ibu. Apa aku terlihat seperti seorang gadis karna menulis kisah keseharianku dikertas ini ? aku terlihat sangat memalukan. Aku tidak bisa keluar rumah sakit hari ini. ini tanggal genap. Aku diizinkan keluar rumah sakit hanya pada tanggal ganjil. Sungguh membosankan"

Shanaya kembali tertegun, berusaha mengingat setiap tanggal pertemuan mereka. 11, 13, 15, 19, 23, dan 27. Shanaya menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Satu lagi kejadian yang tidak diketahuinya. Shanaya merasa seperti orang bodoh sekarang.

"Aku berdebat masalah takdir dengannya. Takdir. Aku membenci kata itu. Aku berada ditempat seperti ini karna takdir telah menggariskan perjalan hidupku ketempat seperti ini. Kondisiku melemah setiap harinya. Tapi aku tetap ingin menemuinya. Gadis yang menjadi satu-satunya alasan untukku bertahan hidup setidaknya dalam hitungan hari."

"Aku masih ingin menemuinya. Hari ini, esok, lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan, dan begitu hingga seterusnya. Tapi sampai sejauh apa aku bisa bertahan ? apa esok aku masih hidup ? apa aku masih bisa bertahan melewati hari ini hingga pergantian hari dipukul 00.00 nanti ? ini tulisan terakhirku. Aku memutuskan untuk berhenti menulis cerita cengeng tentang hidupku. Aku akan membuang kertas ini. ya, aku akan membuangnya"

Kertas terakhir yang dibaca Shanaya cukup membuatnya berderai airmata. Shanaya menutup wajahnya dengan kedua lengannya. Sedangkan kertas yang dibacanya tadi jatuh berserakan. Suara isakan Shanaya semakin lama semakin kencang. Sampai-sampai suara pintu terbuka Shanaya tidak mendengarnya.

Ayahnya memeluk tubuh Shanaya yang bergetar hebat. Tangisannya pecah dalam pelukan ayahnya.

"Ayah, sembuhkan dia. Ku mohon" ucap Shanaya disela-sela tangisannya. Ayahnya mengusap lembut punggung Shanaya tanpa memberi jawaban atas permohonan Shanaya barusan.

Bersambung..

***

Hallo readers..
Habis baca jangan lupa kasih vote dan comment yak..

Terimakasih ^^





Aap Se AashiQuiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang