Pisau Kesembilan

1.8K 34 0
                                    

Usianya sudah mendekati setengah abad, tapi berdandan seperti pemuda bangsawan atau anak pembesar, tangan kiri menjinjing sangkar burung kenari, tangan kanan memegang pipa tembakau, sabuknya emas dengan beberapa kantong bersulam tergantung di pinggang, seakan khawatir orang tidak tahu dirinya kaya, maka kantong yang penuh berisi uang itu semua terbuka tutupnya hingga logam kuning kelihatan gemerlapan.

Orang banyak memang dapat melihat tingkah lakunya, tapi semua orang hampir muntah karena mual terhadap laki-laki gendut berbau tengik ini, celakanya di belakangnya ikut keluar seorang gadis berbaju putih yang cantik bagai bidadari, seperti burung dara saja lengket di samping si gendut.

Kalau si gendut memuakkan, gadis ini bak teratai yang tumbuh di dalam lumpur, cantik sekali, terutama sikapnya yang seperti minta dikasihani, lelaki mana pun akan tergiur.

Melihat kedua orang ini, sungguh senang Jit-jit bukan main.

Kiranya lelaki tambun ini bukan lain ialah Keh-pak-bwe, gadis jelita itu jelas adalah Pek Fifi yang pantas dikasihani.

Melihat Pek Fifi kembali terjatuh ke tangan Keh-pak-bwe, mau tak mau hati Jit-jit jadi sedih dan kasihan, tapi dalam keadaan seperti sekarang ini, setiap melihat orang yang dikenalnya, dirasakan seperti kedatangan penolong yang akan membebaskan dirinya.

Waktu itu kebetulan ada sebuah meja kosong di sebelah kiri Cu Jit-jit, Keh-pak-bwe dengan langkah dibuat-buat membawa Pek Fifi berduduk di meja itu, kebetulan duduk di depan Cu Jit-jit.

Jit-jit berharap dan menunggu Pek Fifi akan angkat kepala, malah ia pun berharap Keh-pak-bwe akan melihat dirinya, maka ia melotot mengawasi kedua orang ini hingga lama, sampai mata terasa pegal.

Akhirnya Pek Fifi angkat kepala, Keh-pak-bwe juga memandangnya sekejap. Tapi sekali pandang laki-laki kikir yang suka menggasak uang orang ini seketika mengunjuk rasa jijik, dia meludah ke samping terus melengos ke arah lain.

Demikian pula sorot mata Pek Fifi juga mengunjuk rasa kasihan, tapi dia diam saja seperti tidak mengenalnya, tidak tersenyum, tidak mengangguk atau menyapa.

Keruan Jit-jit heran, marah, dan kecewa, kalau Keh-pak-bwe bersikap tak acuh kepadanya masih dapat dimaklumi, tapi Pek Fifi, apakah dia tidak kenal budi?

Akhirnya dia hanya menghela napas, batinnya, "Sudahlah, manusia di dunia ini memang banyak yang tidak tahu balas budi, apa gunanya aku hidup di dunia ini?"

Sungguh ia kecewa dan putus asa, tekad untuk mati makin menggelora dalam sanubarinya.

Didengarnya si nyonya baju hijau berkata kepadanya, "Anak baik, kau dahaga, minumlah teh ini."

Jit-jit berpikir, "Cara lain untuk membunuh diri tidak ada, biar aku mogok makan minum saja."

Air teh yang dituang ke mulutnya kontan disemburkan ke atas meja. Air teh berceceran di atas meja yang mengilap sehingga mirip sebuah cermin. Tanpa terasa Jit-jit menunduk, mendingan dia tidak melihat permukaan meja, karena apa yang dilihat pada permukaan meja seketika membekukan darahnya.

Dengan air teh yang tumpah di atas meja, dia dapat bercermin melihat muka sendiri, dilihatnya wajah yang kelihatan bukan lagi wajah cantik molek dulu, tapi seraut wajah yang tak keruan bentuknya, hidung yang semula mancung sekarang berubah jadi peyot, bibir yang tipis mungil kini berubah merot, muka yang halus kini berubah kisut, wajah yang cantik seperti bidadari dahulu sekarang lebih mirip hantu.

Sungguh tidak kepalang kaget Jit-jit, remuk redam hatinya.

Umumnya orang perempuan memandang kecantikan melebihi jiwa sendiri, bahwa wajah yang dulu begitu ayu kini rusak jadi begini, betapa luluh perasaannya, ia membatin, "Pantas sepanjang jalan orang yang melihat aku sama merasa jijik dan keheranan, tak heran pula Pek Fifi jadi tidak mengenalku lagi ...."

Pendekar Baja / A Fanciful Tale of the Fighting World  (Wu Lin Wai Shi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang