Part 5

5.2K 299 4
                                    

"Neji."

Pria berambut panjang diikat itu berhenti melangkah kemudian berbalik menatap pria paruh baya yang telah menjadi paman sekaligus ayahnya selama bertahun tahun. "Ada apa? Cepatlah, aku ada kencan dengan Tenten."

"Dasar anak muda." Hiashi mendengus sebal. "Aku ingin kau memantau Hinata."

"Kenapa?"

"Aku merasa... dia menyembunyikan sesuatu dari kita." Neji tampak tertarik dengan topik ini. Dia mendudukkan dirinya disebrang posisi duduk Hiashi.

"Dan kenapa kau berfikir kalau dia menyembunyikan sesuatu?" Hashi memandang Neji datar. Tangannya bergerak menyesap kopi pahit dalam cangkirnya. "Insting seorang ayah." Matanya melihat Neji yang mendengus geli. "Lagipula aku melihat dia menghabiskan uang yang aku kirim ke dalam rekeningnya, tidak seperti Hinata biasanya yang senang menabung."

"Dia juga jarang mengunjungiku." Tambah Hiashi dalam. Neji diam.

"Haahh, aku sebaiknya pergi sebelum Tenten mulai berceramah karena keterlambatanku." Neji bangkit dari duduknya, mengabaikan tatapan tajam yang dilemparkan Hiashi. "Tenang saja, aku akan mengawasi 'adik' manisku itu." Ujarnya seraya melangkah pergi meninggalkan mension hyuuga.

***

Hinata memakan bekalnya dengan tenang. Di tangannya terdapat sepasang sumpit yang sedang menjepit udang bakar hasil masakannya pagi ini. Bento miliknya terlihat menggiurkan dengam beberapa sosis gurita serta sushi yang rapi dan menguarkan bau harum.

Tubuhnya tegang begitu melihat Naruto melangkah memasuki kantin bersama teman-temannya. Dia sempat berpikir bahwa duduk di pojok kantin sendirian akan sedikit membantunya bersembunyi dari pemuda itu. Namun nihil, sepasang mata saphire itu meliriknya tajam. Biasanya mereka akan saling melirik kemudiam membuang muka secara bersamaan. Namun kali ini Naruto memandangnya tanpa berkedip. Dia pun turut melangkah mendekati gadis yang mulai gemetar takut itu.

"A-ah, Oyaho-u Uzumaki-sa-"

"Kau mengetahuinya?" Naruto memotong ucapan Hinata dengan cepat. Nadanya terdengar tinggi serya kedua tangannya yang mencengkram kedua bahu Hinata kuat membuatnya meringis kesakitan. "A-apa yang kau bicarakan?" Hinata bertanya takut takut.

Naruto menguatkan cengkramannya begitu seluruh kantin kembali sunyi dan memfokuskan penglihatan ke arah mereka. Aneh rasanya melihat sepasang sahabat yang bermusuhan kini kembali 'dekat'.

"Sa-sakit." Naruto buyar dari lamunannya ketika mendengar ringisan yang kelur dari sela bibir Hinata. Dia panik melihat Sakura yang berjalan masuk ke dalam kantin dengan lompatan riang, ditambah seragam Karate yang digunakannya membuatnya ciut hingga ke awang.

"Tsc!" Naruto mencengus dan menarik kasar Hinata ke tempat lain meninggalkan kantin yang riuh, serta Sakura yang bingung karena lagi lagi dia tidak mengetahui apa yang terjadi.

***

BRAKK

Naruto membanting Hinata ke tembok dan mengunci pergerakan tubuhnya di dalam gudang yang sempit da gelap itu. Hinata takut, tubuhnya bergetar dan meliuk mencoba melarikan diri dari singa yang marah didepannya. Namun Naruto tak mebiarkannya pergi, dia mengeratkan cengkramannya di kedua tangan Hinata di masing masing sisi kepala gadis itu serta menghimpit tubuh kecil itu dengan seluruh tubuh besarnya.

Hinata tersentak menatap sepasang mata di depannya. Apa hanya perasaannya saja, atau dirinya melihat Naruto yang berkaca kaca menahan rasa sakit di dadanya.

"Apa yang ter-"

"Diam." Naruto menarik nafas kasar serta menyentuh dagu Hinata kasar. "Kau mau bertingkah seolah tidak tahu apa apa, ya? Brengsek."

Hinata masih tidak menjawab, membuat Naruto semakin kesal dibuatnya. "Ayahmu adalah seorang pembunuh, sialan!"

Kedua bola mata gadis itu mmbulat. "Apa yang kau bicarakan?!" Pekiknya.

Naruto mendngus dan mendekatkan kepalanya ke telinga gadis ketakutan itu. "Aktingmu sungguh basi, hyuuga."

Hening menyelimuti mereka hingga Naruto kembali bersuara.

"Kedua orangtuaku... Okaa-san... mereka sudah tiada." Hinata terlejut, kedua tangan Naruto melemas, tubuh lelaki itu merosot dilantai. Bergetar. Sendirian. Kepalanya bersandar di perut gadis itu secara tak sadar.

Hinata syok. Tak mempercayai pendengarannya. Kepalanya menunduk melihat kedua bahu lebar itu berguncang menahan rasa sedih. Kedua tangan Hinata bergerak, menyentuh helaian pirang di depannya lembut. Dia mencoba mengusap bahu dan punggung Naruto menyampaikan rasa duka yang ikut serta menyelimuti hatinya. Tak sadar, dia ikut mendudukan dirinya dan meraih kepala Naruto dalam dekapannya. Mengabaikan rasa takut yang masih melenda dirinya beberapa waktu lalu, namun perasaan sedih lebih mendominasi. Mengabaikan derita yang sedang ditanggungnya sendiri, dia hanya mencoba melindungi orang yang ia cintai.

***

Naruto menahan malu. Tentu saja, tangisannya sudah berhenti sejak beberapa menit yang lalu. Namun gadis yang masih mendekap kencang kepalanya kini yang malah menangis tersedu sedu.

Posisi Hinata yang memeluk kepala Naruto dalam dadanya berhasil menciptakan semburat merah dikedua belah pipi tannya. Tekstur lembut dan empuk mengacaukan akal sehatnya sebagai seorang pria normal. Dia tidak bisa bernafas, namun aroma tubuh Hinata mengingatkannya akan malam 'itu' meski terlihat samar.

Cih, hentikan tangisanmu itu hyuuga!

Naruto mengangkat kedua tangannya dan mengambil jarak di antara mereka. Wajahnya dia coba buat sedatar dan semenyeramkan mungkin meski masih merona. "Kalian manusia hina, pantas mendapat hukuman."

Hinata masih terisak isak, walau begitu dia bisa mendengar dengan jelas ucapan Naruto. "A-aku pikir tou-san tidak mungkin melakukan itu, Na-naruto-kun."

Amarah kembali menguasai Naruto yang melihat Hinata mencoba membela orang yang sudah jelas menimpakan masalah besar pada perusahaan ayahnya serta penyebab kematian kedua orangtuanya.

"SHIT" Hinata kaget melihat Naruto yang merobek seragamnya kasar. Air mata kembali turun menyadari apa yang akan segera terjadi di antara mereka.

"N-naruto-kun! Kumohon, ja-jangan."

"DIAM" Amarah naruto semakin membludak. "Kalian... kalian tak pantas berada di dunia ini."

PLAKK

Tamparan pertama mendarat di pipi porselen Hinata, kemudian siksaan fisik lainnya menyusul. Yang dapat Hinata lakukan hanyalah mencoba melindungi perutnya dari tangan Naruto. Melindungi buah hatinya dari sang ayah yang sedang dikuasai nafsu serta amarah. Menjauhkan anaknya dari pria yang bahkan tak mengetahui keberadaan darah dagingnya sendiri.

Hinata bahkan tak pernah berpikir bahwa keintiman mereka akan kembali terulang untuk yang kedua kalinya.

***Tbc

Extremely Loving YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang