Penyeranta

92 1 1
                                    


Saat semua kembali tenang, sore itu penyeranta di genggamanku berdering. Lantas setelahnya tanpa diundang, hadir garu yang mengais-ngais gamang untuk kembali terbit memenuhi hati di tiap jengkal ruang.

Sore ini mendung. Hujan amat rajin, tak pernah absen sekalipun saat diri terkuasai murung. Lalu mendatangkan kenyataan pahit yang dulu selalu membuatku ingin meraung.

Pesanmu datang menyapa, tatkala hati sudah mulai lupa, bagaimana wajahmu berhias riang suka, membuatku memaksa diri sendiri untuk menyemai benih rasa meski akhirnya harus wafat karena tahu takkan pernah ia berbalas asa.

Selama masa itu, pikiranku selalu terusik. Tentang senyum dan celotehmu di telingaku laiknya belaian bisik yang begitu lembut menelisik. Dan tanpa permisi, cinta mulai menyusun puisinya, rapi dalam larik demi larik.

Dan tentang bagaimana kau dan dia. Dia yang nyaris sempurna, dia yang jauh lebih dewasa, daripada aku yang kekanak-kanakan, membanggakan keputusasaan dalam rangkaian kata. Jelas dia amat serasi dan sekufu bersamamu, kalau kalian mendengar kata mereka.

Akhirnya, kuteguhkan hati untuk berdamai, menimbun dalam semua yang terlanjur disemai, melepas cinta yang mustahil diraih.
Kebaikan dan peduliku selama ini, hanya sebagai pengalih dan pembenaran diri, bahwa karena kau pernah membuat rasa ini bersemi, aku berhak memperhatikanmu dari sini. Meski itu selalu tak pernah dibenarkan hati.

Tapi hari ini, aku akan berbesar asa. Gamang, pergilah jauh ke luar sana.

Terima kasih karena kau begitu jelas menunjukkan tak mengharapkan apapun dari cerita kita. Terima kasih kau telah jelas-jelas menunjukkan pilihanmu jatuh pada siapa. Terima kasih juga telah membuatku tenang, karena yang kau pilih adalah dia.

Dan, aku bersyukur atas turunnya hujan. Mengusir sendu dan gundah yang berkelindan. Menjadi penyeranta doa untuk kita. Untuk aku, kau dan dia.

[Bumi Sadar, 28 Agustus 2016]

Jawaban dari Pertanyaan yang Tak TerjawabTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang