Cinta itu buta. Cinta itu gila. Cinta itu membuat orang pintar menjadi bodoh. Kata-kata itulah yang kerap kali muncul di benak orang-orang yang sedang merasakan cinta. Dan kini aku sedang merasakan jika cinta itu buta, gila, dan bodoh.
Yang harus diwaspadai adalah ini pertama kalinya aku merasakan jatuh cinta. Sebelumnya hanya sekedar rasa suka dan kagum semata-mata. Tapi ini berbeda. Akan aku deskripsikan bagaimana orang yang sudah membuatku merasakan perasaan aneh ini.
Dia adalah seorang pria dewasa yang umurnya lebih tua dariku satu tahun. Bertubuh tinggi dengan kulit sawo matang, rambut hitam yang terkadang bergaya polem (poni lempar). Wajahnya memang tidak terlalu tampan, manis, lucu, imut ataupun sejenis lainnya. Jika berucap sering kali berekspresi datar dengan sedikit campuran humoris di dalamnya. Jika sudah berada di dekatnya adakalanya ia cuek tapi sebenarnya ia begitu perhatian dan penuh kasih sayang. Berpikir dewasa dengan pandangan lurus masa depan, bijak, sungguh baik hati, tidak pernah marah dan jika sekalinya marah akan sangat berbahaya. Ya meskipun marahnya hanya dalam diam. Suka membaca buku-buku dengan judul yang menarik dan sedikit aneh, menggambar apa yang ada di otaknya yang yaa jika menurut pandanganku terlihat aneh. Terakhir, dia begitu sederhana.
Deskripsi yang sederhana untuk orang yang sederhana. Tapi dari semua itulah yang membuatku tertarik padanya. Sungguh aku pun tak tahu kenapa perasaanku tertuju padanya. Yang aku tahu saat berada di dekatnya jantungku berdebar cepat tak sesuai dengan tempo aslinya, bila jauh merindukannya, selalu ingin tahu kesehariannya, dan sangat ingin menjadi seseorang yang spesial di matanya. Aku rasa ini benar cinta.
Pertemuan pertamaku dengannya adalah saat di sebuah acara umum yang sebenarnya tak sengaja kami ikuti. Sebenarnya memang bukan pertemuan pertama. Hanya saja pertemuan kali ini yang berbeda dari sebelumnya. Pasalnya aku dan dia tak pernah bertemu sedekat ini dengan berjalan beriringan, berbincang asyik, dan sedikit candaan sebagai bumbunya.
Dan setelah kejadian itu berlalu, saat mengingatnya selalu membuatku seperti orang gila. Karena aku selalu tersenyum seorang diri.
Sejak saat itu mungkin kami jadi semakin dekat. Berkirim pesan satu sama lain setiap saatnya ataupun berhubungan via telfon. Ya ini begitu menyenangkan untukku. Entah keberanian darimana dengan nekadnya aku bertanya, "Bolehkah aku menyukaimu?" Sungguh aku sangat merutuki diriku sendiri karena bersikap seagresif itu padanya. Bisa saja itu membuatnya ilfeel padaku. Bodoh. Benar-benar bodoh.
Tapi ternyata jawaban yang aku dapat tidak bisa membuatku tidak senang. Mungkin suatu jawaban yang ternyata aku inginkan dalam lubuk hati.
"Silakan! Tidak ada yang melarang." Dengan sedikit tambahan kata-kata yang membuatku tak kalah senang. "Bolehkah aku juga menyukaimu?"
Aku rasa itu pertanyaan retoris yang aku yakin kau sudah tahu apa jawabannya. Tapi tidak apa. Aku akan menjawabnya dengan senang hati. "Ya. Sangat boleh."
Haruskah aku katakan apa yang aku lakukan setelahnya? Baik aku akan ceritakan.
Jika saja saat itu aku sedang berada di lapang luas, aku akan berteriak, berloncat-loncat girang, memeluk apapun yang ada dihadapanku dengan senyuman yang tentu saja bersemayam indah di wajah manisku, menceritakan pada semua orang dan dunia jika aku sedang bahagia, bercerita pada Tuhan meskipun sebenarnya Dia sudah tahu. Dan akan aku lakukan semua yang menyenangkan.
Okay stop! Aku rasa ini sangat berlebihan. Sayangnya saat itu aku sedang berada di dalam rumah hingga aku hanya melampiaskan kesenanganku dengan tersenyum dan tertawa girang layaknya orang gila. Membaca ulang pesan tersebut tanpa bosan sedikitpun.
Sedikit bercerita pada sahabat baikku. Ia pun turut senang dan tak lupa memberiku nasehat kecil untuk berhati-hati pada kesenanganku saat ini. Bisa saja berbalik menjadi boomerang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sad Ending
Teen FictionDi sketsa cerita ini, aku sangat memahami. Keadaan seperti sekarang tidak akan bertahan lama. Pelan-pelan kita akan menjadi aku dan kamu lagi. Masing-masing seperti kemarin.