Natsuke mengumpat sepanjang perjalanan karena kami harus berjalan kaki sejauh dua kilometer untuk sampai di jalan raya untuk bisa naik taksi lain menuju ke hotel.
Sopir taksi yang tidak bertanggungjawab tadi telah berhasil ditangkap polisi. Mayat lelaki tak dikenal itu pun juga sudah dibawa ke rumah sakit untuk diselidiki. Tidak, bukan mayat. Bahkan aku melihat matanya sedikit terbuka dan melirikku sekilas, ketika tadi beberapa orang polisi mencoba memindahkannya ke dalam ambulance. Ah, entahlah! Mungkin hanya perasaanku saja. Mudah-mudahan begitu.
Kami sudah sampai di hotel dan masuk ke dalam kamar masing-masing. Aku berada di kamar nomor 291 di lantai empat, sementara Natsuke dan Janice tinggal berdua di sebuah kamar tepat di sebelah kamarku, nomor 290.
Sebelum masuk ke dalam kamar, Natsuke sempat berbicara denganku.
“Hava, selamat beristirahat.”
Aku hanya membalas dengan tersenyum. Dan lagi-lagi, kulihat tatapan tak bersahabat dari mata Janice.
Aku merebahkan tubuhku di ranjang yang empuk dan memiliki aroma buah jeruk itu. Memejamkan mata, mencoba menghilangkan kepenatan hari ini.
Saat aku membuka mata, jantungku hampir meloncat saking kagetnya. Tepat di depan wajahku, Janice menyeringai.
“Hahaha. Kau pucat, Hava!” oloknya.
Aku diam saja. Aku memang lebih banyak diam, hanya sesekali saja menanggapi kalimatnya dengan tersenyum tipis.
“Minum?” dia menawarkan sekaleng minuman bersoda padaku.
“Thanks.”
Kuteguk minuman itu hingga habis. Aku haus sekali.
Janice duduk di atas karpet coklat tebal sambil sesekali menatap wajahku, tersenyum. Aku jadi risih.
“Kenapa kau melihatku seperti itu?”
Venice menyeringai – maksudku, Janice.
Entah kenapa aku lebih mudah memanggilnya Venice daripada Janice.
“Berhati-hatilah.” Suaranya dalam dan pelan.
“Maksudmu?” aku mengerutkan kening, membenarkan letak dudukku.
“Sepertinya Natsuke mulai tertarik padamu.”
“Apa maksudmu?”
“Hahaha. Sudahlah. Lupakan!”
Dan Janice berlalu begitu saja. Aku benar-benar tidak mengerti arah pembicaraan ini…
***
Dok dok dok.
Pintu kamar diketuk seseorang.
Dok dok dok.
“Hava, ini aku.”
Aku segera berjalan ke arah pintu. Kututup laptop ku sebelum beranjak membukakan pintu untuk Natsuke.
“Ada apa?”
“Aku mau makan di luar. Janice bilang, ada restoran mewah yang menyediakan makanan yang lezat tak jauh dari sini. Kau mau ikut?”
Aku mendesah. Ah, malas sekali. Aku memang lapar, tetapi aku malas untuk keluar dalam cuaca dingin seperti ini. Lagipula persediaan roti gandum ku masih utuh di dalam koper.
Oh, aku baru ingat bahwa bekal makanan dan minumanku belum kukeluarkan dari koper yang kini sudah berada di atas lemari yang tinggi.
“Natsuke, bisakah kau menolongku?”
“Tentu. Apa yang bisa kulakukan untukmu?”
Aku menunjuk koperku yang berada di tumpukan teratas di atas lemari kayu.
“Oh, baiklah.” Natsuke rupanya mengerti maksudku.
Dia segera mengambil kursi dan meletakkannya di dekat lemari. Kemudian dia berjinjit untuk mengambilkan koper itu untukku.
Natsuke yang tingginya lebih dari seratus delapan puluh saja sampai berjinjit untuk meraih koper itu. Entah bagaimana tadi aku menaruhnya di atas sana.
Saat akan turun dari kursi, tanpa sengaja dia terpeleset dan jatuh menimpaku. Oh, please. Kami jadi terlihat seperti sedang berakting dalam sebuah drama Korea.
“Kalian…”
Oh, tolonglah. Ini hanya salah paham, Janice!
Dan gadis itu berlari tanpa berkata-kata. Natsuke segera mengejarnya.
Aku mengangkat bahu, kemudian mengeluarkan roti dan selai coklat dari dalam koper. Malam ini aku kenyang sekali.
***
Aku tidak bisa tidur hingga larut malam. Ini pasti karena tadi aku minum dua cangkir kopi.
Kulirik jam dinding, sudah lewat tengah malam dan aku sama sekali belum mengantuk. Akhirnya kuputuskan untuk berjalan-jalan di luar, sekedar menghirup udara malam musim dingin, sekaligus ingin ke apothek untuk membeli obat tidur.
Dalam remang-remang cahaya bulan yang suram, aku melihat dua orang tampak sedang serius bercakap-cakap di bawah sebatang walnut. Seorang wanita dan seorang lelaki. Sekilas juga kulihat lelaki itu memeluk wanita yang diajaknya bicara.
Tak lama kemudian, lelaki itu berjalan menjauh, langkahnya terseok-seok. Dan wanita itu berjalan menuju ke arah hotel tempatku menginap. Aku segera bersembunyi di balik pagar besi.
Lampu taman menyorot wajahnya yang putih.
Gadis itu.
***
Aku sudah berdiri di depan sebuah apothek. Seorang pemuda tampan mendekat, siap melayaniku. Kurogoh saku jaketku. Aku terdiam agak lama.
“Sial.” Aku menggerutu.
“Ada yang salah, Nona?” dia menatapku penuh selidik.
“Maaf, sepertinya aku melupakan dompetku. Aku akan segera kembali!” Aku bergegas berbalik ke arah hotel dan naik lift ke lantai empat.
Tunggu. Seingatku, tadi aku sudah menutup pintu kamarku sebelum pergi. Tapi kenapa sekarang pintu kamarku terbuka begitu lebar?
Iya benar. Ini kamar nomor 291. Kamarku tadi memiliki nomor 291.
Aku masuk dan kamarku kosong.
Aneh. Kenapa terbuka begitu lebar, jika kamarku kosong sama sekali? Tak ada orang. Dan tak ada tanda-tanda baru dimasuki seseorang.
“Aaah!” aku menjerit keras saat menabrak seseorang yang baru saja berjalan dari balik pintu kamarku. “Janice?!”
Aku terpaku di tempat. Seperti ada paku yang menancapkan telapak kakiku ke dalam lantai keramik coklat ini.
Pakaian Janice telah penuh noda darah.
“Hava, darimana saja kau?! Aku butuh bantuanmu…”
Panik. Suaranya terdengar serak dan dia menangis hebat.
“Ada apa, Janice?!” aku ikut panik.
“Natsuke… Dia… Dia terbunuh.”
***
to be continued...
