Aku berkemas. Setelah yakin seluruh pakaianku yang hanya beberapa potong itu telah masuk ke dalam koper, aku segera keluar dari hotel. Menuruni anak tangga, derap langkah kakiku terdengar terburu-buru. Entah apa yang terjadi, keadaan hotel ini gelap gulita, listrik padam sejak sore tadi. Suasana juga sangat sepi, hampir tidak ada orang yang berlalu-lalang seperti yang biasa terjadi setiap harinya.
Kemarin aku datang ke kota ini bersama dua orang temanku. Kini aku terpaksa pulang sendirian karena mereka berdua telah mati. Benar-benar tidak bisa dipercaya!
Tapi ini sungguh nyata…
Dan kini aku sudah berjalan melewati jalanan yang luar biasa sepi. Lampu-lampu yang biasa menyala di pinggir jalan sejak jam empat sore pun kini padam.
Krsskkk….!
Aku menghentikan langkahku ketika mendengar suara berisik di belakangku. Oh, bukan. Bukan di belakangku, melainkan di depanku. Oh, tidak. Aku rasa lebih tepat di sampingku. Ah, entahlah! Tidak penting. Aku hanya harus mempercepat langkah saja untuk mengejar kereta menuju bandara. Uangku tidak cukup banyak untuk naik taksi.
Mungkin sekarang hampir jam sepuluh malam. Kereta baru akan tiba pukul sepuluh lebih lima menit.
Apa?! Tidak! Aku bisa terlambat!
Aku menyesal sekali tadi sempat melayani para polisi yang bersikeras meminta keterangan dariku, padahal jelas-jelas aku tidak tahu apa-apa! Aku hanya menceritakan sebatas yang kutahu mengenai Janice yang kebingungan ketika pacarnya secara tiba-tiba ditemukan dalam keadaan tewas di kamar hotelnya.
Selebihnya, aku tidak tahu apa-apa, tetapi para polisi itu tetap menahanku agar tinggal sebentar saja di kantor polisi. Benar-benar tidak tahu diri! Kalau sudah begini, siapa yang harus kusalahkan jika aku tertinggal kereta? Lagipula kenapa juga keretanya harus malam-malam begini berangkatnya?!
Tolol.
Krrsssk!
Aku berhenti, untuk kedua kalinya. Kutatap sekelilingku. Kini aku sudah sampai di jalan setapak yang sangat gelap. Semak-semak belukar tumbuh liar di tepian jalan, sementara itu pepohonan besar menyisir sepanjang jalan.
Aku jadi teringat ketika Venice hampir menangkapku dulu, kemudian Antonio datang untuk menyelamatkanku. Dia bahkan sampai tewas waktu itu. Mungkin kalau dia tidak berada di sana waktu itu, sekarang dia masih hidup.
Tiba-tiba aku merindukan Antonio.
Ah, apa-apaan ini?! Gila! Aku sudah gila! Mana mungkin aku merindukan orang seperti dia?! Yang benar saja!
Mungkin otakku sudah salah menerjemahkan kata benci menjadi rindu.
Apa-apaan lagi ini?! Tidak masuk akal!
Jduk!!
Aku terjatuh dan memegangi keningku. Koper terlepas dari tanganku dan aku jatuh ke belakang setelah kepalaku membentur benda keras di hadapanku. Keadaan yang gelap gulita membuatku tak bisa melihat apa-apa.
Mungkin aku baru saja menabrak pohon. Mungkin aku salah jalan. Mungkin aku harus agak minggir ke arah kiri. Atau kanan. Atau… Aduh, bagaimana ini?! Terakhir kali kuingat, aku memasukkan senterku ke dalam bagian paling bawah koper ini.
Apa yang harus kulakukan sekarang? Sementara sebentar lagi pasti kereta sudah datang. Atau bahkan mungkin aku sudah tertinggal?
Sial.
Aku merutuk diri sendiri. Kalau saja aku tidak berhasil terhasut oleh Natsuke agar ikut acara liburan yang malah berakhir tragis ini, maka semua kejadian ini tidak akan pernah terjadi. Setidaknya, aku takkan terlambat naik kereta. Juga tak perlu bersusah payah berjalan dalam kegelapan yang begitu menyiksaku seperti sekarang ini.