Suasana kamar nomor 290 tampak gelap. Aku dan Janice memasukinya dan seketika tercium aroma kematian yang asing. Tengah malam begini, semua penghuni hotel masih tenggelam dalam mimpinya masing-masing. Aku dan Janice mengendap-endap menuju kamar dimana Natsuke terbunuh.
Sepertinya lampu sengaja dimatikan ketika pembunuh yang entah siapa itu beraksi tadi. Tiba-tiba aku tergelitik untuk bertanya pada Janice yang gemetar di belakangku. Pipinya yang merona bersimbah airmata yang sulit ditahannya. Jelas sekali tampak rasa kehilangan dari pancaran wajahnya saat ini. Mungkin dia sangat terpukul melihat orang yang dicintainya meninggal.
“Janice, bagaimana kau tahu Natsuke meninggal, bahkan lampu kamar ini belum menyala?”
Sekilas kulihat raut wajah Janice nampak terkejut, tetapi kemudian dia menjawab dengan cepat dan terbata.
“A-aku… Aku baru saja akan menyalakan lampu ketika tersandung sesuatu yang kukira pasti koper atau meja, tetapi ketika aku terjerembab, aku sempat melihat wajah Natsuke yang terkena sedikit… cahaya bulan.”
Janice melayangkan pandang ke arah jendela yang memang tirainya terbuka.
Klik. Kuyalakan lampu, dan benar saja. Jasad Natsuke tampak mengenaskan, tergeletak menyedihkan di bawah jendela.
Janice menjerit kecil ketika mengetahuinya.
Kupandangi mayat itu dengan perut yang sudah mulai mual.
Lehernya telah patah. Banyak luka sayatan di wajah dan tangannya. Darah tercecer di mana-mana. Aromanya masih anyir dan tampak segar.
“Janice, kita harus segera lapor polisi!” ujarku setengah berbisik, takut menimbulkan kegaduhan sehingga menyebabkan orang-orang terbangun.
“Jangan, Hava!”
“Kenapa?”
“Jangan! Aku… Aku tidak mau terlibat dengan polisi. Aku… Aku takut polisi akan menuduhku yang membunuh Natsuke.” Suara Janice tak kalah pelan. Sesekali dia melirik ke arah pintu, takut ada yang mendengarkan percakapan kami.
“Tapi, Janice. Kita harus melaporkannya! Bagaimanapun juga ini sudah keterlaluan! Lihat keadaan pacarmu itu! Tenang saja, nanti kubantu kau berbicara dengan polisi.”
“Kumohon jangan, Hava!”
“Kau ini kenapa sih? Kalau kita tidak segera melaporkannya, bisa saja pelaku pembunuhan ini akan terus berkeliaran dan itu sangat berbahaya. Kau sadar tidak sih?!”
Aku mulai sebal.
“Tidak! Kita tidak boleh lapor polisi! Aku akan segera membawa mayat Natsuke dan menguburnya di tengah hutan! Kau pergilah! Dan ingat, Hava. Jangan ceritakan kepada siapapun tentang hal ini!”
Sepertinya aku mulai mencium sesuatu yang tak beres dengan kasus ini.
Aku melihat Janice sedang bersama seorang laki-laki beberapa menit yang lalu ketika aku sedang dalam perjalanan menuju apotek. Kemudian, ketika aku kembali untuk mengambil dompetku yang tertinggal di hotel, aku dikejutkan oleh suasana kamarku yang sama sekali berbeda dengan ketika aku baru saja meninggalkannya tadi. Aku memang tidak mengunci pintu kamarku karena tak ada hal penting atau berharga yang bisa dicuri. Tapi suasana pintu kamarku yang terbuka membuatku sedikit heran juga. Kemudian aku mendapati Janice sudah berada di kamarku dengan wajahnya yang pucat. Hingga kemudian dia menceritakan padaku perihal terbunuhnya pacarnya di kamar hotelnya yang nomor 290 itu. Dan sekarang, melihat keadaan Natsuke yang sangat mengenaskan dan sudah tak bernyawa, aku memutuskan untuk melaporkan semuanya pada polisi. Tetapi yang terjadi justru Janice menolak mentah-mentah tentang keputusanku itu. Dia justru marah-marah dan mengusirku, dan berkata akan segera melenyapkan kasus ini dengan mengubur jasad Natsuke di tengah hutan.
