SATU

59 2 0
                                    

Menunggu selalu punya berbagai macam definisi sesuai dengan kepala jenis apa yang memikirkannya.

Sebagian orang berpikir bahwa menunggu adalah hal menyenangkan karena bisa menikmati waktu luang untuk sekadar bersantai sebelum kembali beraktivitas. Sebagian lain menganggap menunggu adalah hal paling bodoh yang bisa dilakukan manusia.

Benarkah?

Namun yang jelas, menunggu bagiku hanya perlu diwakili dua kata: menyedihkan dan merugikan.

Butuh penjelasan?

Baiklah.

Penjelasan pertama: menunggu itu menyedihkan.

Bayangkan saja sekian waktu yang kauhabiskan hanya untuk termenung tanpa melakukan apa pun. Menyedihkan, bukan?

Mungkin bisa saja kita melakukan sedikit kegiatan seperti bermain game di ponsel, atau membaca koran, atau apa pun selama rentang waktu itu demi membunuh bosan.

Lantas bagaimana jika kita tidak membawa ponsel, atau koran, atau apa pun itu? Nah, maka muncul penjelasan kedua: merugikan.

Seharusnya rentang waktu yang digunakan untuk menunggu bisa kita manfaatkan dengan lebih efektif daripada sekadar melakukan hal-hal di atas. Untuk bekerja misalnya. Bukan hanya untuk ongkang-ongkang kaki menunggu hal yang tak jelas, yang pastinya akan sangat merugikan.

Coba bayangkan. Dalam rentang waktu itu, mungkin saja kita bisa menyelesaikan beberapa pekerjaan dan praktis dapat sedikit mengurangi beban kerja. Singkatnya, aku tak suka menunggu.

Aku manusia realistis yang berharap semua berjalan dengan praktis dan efisien tanpa embel-embel membuang waktu. Aku penganut motto "time is money" dan percaya penuh bahwa waktu diciptakan untuk bekerja.

Aku benci client yang terlambat datang rapat. Aku benci karyawan yang terlambat menyetorkan data keuangan minggu ini. Aku benci segala jenis terlambat yang mengharuskanku menunggu.

Karena itu, aku lebih suka menggunakan jam tangan berbahan stainlees steel daripada jam tangan berbahan karet. Menurutku, jam tangan berbahan karet inilah yang menyebabkan orang-orang suka mengulur waktu layaknya karet.

Setidaknya, itu definisi menunggu bagiku, sampai akhirnya aku bertemu seseorang.

"Seseorang" ini bukanlah orang yang kukenal. Hanya seorang gadis yang selalu kudapati tengah duduk di bangku paling ujung halte Harmoni. Selalu sendiri. Selalu menggenggam jam saku perak berantai. Selalu memasang satu earphone di sebelah telinga. Selalu termenung sambil sesekali membuka jam sakunya–barangkali menilik waktu–lalu memanjangkan leher demi melihat ke luar halte, arah busway datang.

Menunggu busway-kah?

Tidak.

Aku tahu persis itu.

Sebagai workaholic sejati, aku selalu pulang hampir jam sepuluh malam. Lima jam lebih lama dari karyawan lain yang sudah buru-buru meninggalkan kantor pukul lima sore teng. Karenanya, aku selalu dapat busway terakhir. Dan, gadis itu tak pernah turut naik busway terakhir ini. Ia malah beranjak dari duduk, lalu pergi keluar halte, menyisakan kosong dalam ruang itu.

Lantas untuk apa dia ada di sana setiap hari? Untuk apa ia menghabiskan beberapa lembar uang seribuan tiap harinya hanya untuk termenung kemudian pergi tanpa naik busway? Jangan tanyakan padaku, aku tidak tahu.

Mungkin dia suka duduk di sana tanpa melakukan apa pun?

Oh tidak. Aku sering melihatnya membaca buku selain menggenggam jam saku dan melihat sekitar.

Mungkin ia termasuk orang yang tak memiliki kegiatan bermanfaat untuk dilakukan?

Tidak, pasti bukan itu. Gadis itu selalu berpakaian rapi dengan blouse atau kemeja. Penampilan khas orang pulang kerja. Dia pasti pekerja.

Dugaan terakhir: mungkin ia sudah jatuh cinta pada halte Harmoni ini.

Baiklah, itu tidak masuk akal. Memangnya apa yang bisa kalian harapkan dari otakku yang terlalu canggih ini?

Jadi, esok akan kucari tahu jawabannya.

***

Terima kasih karena telah membaca.

WAIT - Ketika Waktu BicaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang