EMPAT

30 1 0
                                    

Satu hal lagi yang aku benci selain menunggu: hujan.

Aku benci jika bermacam-macam rencana yang sudah terancang rapi di otakku harus buyar dan dibatalkan hanya karena hujan. Aku benci hujan yang selalu sukses membuatku flu sepanjang waktu dalam beberapa hari. Aku benci hujan yang membuat air menggenangi jalan-jalan di Jakarta sampai harus menghambat kerjaku. Membuatku terlambat karena jalan macet. Membuatku basah kuyup saat sampai di kantor karena harus berjalan dari halte untuk mencapai tempat itu, dan harus rela menerima ledekan semacam "Jujur, Lucas. Kamu sudah terlalu tua untuk main-main air." atau "Astaga, Lucas! Kamu habis jatuh di got mana?"

Singkat kata, aku tak akan pernah suka hujan. Jadi, aku heran ketika Anna berkata bahwa ia adalah pecinta hujan. Aku baru tahu hari ini, saat hujan turun dengan kurang ajar derasnya, dan Anna malah menatap terpesona pada terpaan hujan di kaca halte tempatku bersandar.

"Cantik sekali," gumamnya, membuatku bertanya-tanya.

Apa bagusnya curahan hujan dari langit yang selalu membuatku basah kuyup itu? Bukankah hujan sejak dahulu kala sama saja? Air jatuh, menggenang, membuat masalah, dan membuatku kesal. Lalu, gadis itu bilang cantik?

"Aku nggak sependapat, Anna. Hujan itu mengerikan."

"Hey, coba ralat ucapanmu, Lucas. Setidaknya sampai kamu sadar betapa baik Tuhan yang sudah menciptakan hujan cantik ini."

Aku mengerutkan kening, merapatkan jaket yang kukenakan. Hujan membawa hawa dingin ke dalam halte ini. Beberapa tetesnya terlontar dari pintu menuju busway yang terbuka. Membuat orang-orang yang tadinnya menunggu tepat di mulut pintu, terpaksa mundur beberapa langkah agar tidak basah.

"Apa yang cantik dari hujan menurutmu?"

Gadis itu diam sejenak, menempelkan sisi kanan wajahnya ke dinding kaca halte sambil memejamkan mata. "Selain musik, hujan bagiku adalah media paling sempurna untuk menenangkan jiwa. Aku senang berdiri di bawah hujan. Membiarkan tubuhku kuyup di bawah terpaannya. Membiarkan tiap tetesnya sampai ke hatiku. Hingga setiap beban yang menggerogotiku luntur bersama hujan yang membasahiku. Semakin deras, semakin baik. Semakin banyak beban yang turut luntur bersamanya."

"Kedengarannya cengeng sekali."

Anna membuka mata dan menatapku. Ia tersenyum. Sama sekali tak tersinggung dengan cemoohanku.

"Kamu adalah orang ke-153 yang mengucapkan hal itu. Apa aku perlu menyiapkan hadiah?" tanyanya bergurau, lalu mengangkat wajah dan duduk dengan posisi yang benar.

"Mm ...." Aku bergumam sambil membuat ekspresi berpikir. "Mungkin aku harus mendaftar dulu hadiah yang harus kamu berikan."

Anna tertawa lebar. Ceria sekali.

Hey, aku suka caranya tertawa.

"Kenapa kamu nggak suka hujan?" tanya gadis itu setelah tawanya lenyap. Dan, aku pun menjawab pertanyaannya dengan menggebu-gebu.

Setelah mendengar jawabanku, Anna mengangguk pelan lalu menekan tombol pause pada walkman-nya. Namun, ia membiarkan satu earphone menggantung di sebelah telinganya. "Alasan klasik. Kebanyakan orang menggunakan alasan itu untuk membenci hujan."

"Nah, itu artinya aku manusia normal," kataku bangga.

Anna mengangkat bahunya. "Mencintai hujan itu normal. Setidaknya untukku begitu."

"Kamu itu filsuf, ya?"

"Apa?"

"Orang yang penuh filosofi. Aku jadi ingin tahu, pasti banyak orang yang gagal mengerjakan psychotest yang kamu buat."

WAIT - Ketika Waktu BicaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang