Sesuatu telah terjadi. Aku yakin pasti ada sesuatu yang terjadi. Tapi apa?
Anna tidak datang ke halte Harmoni. Entah ke mana perginya.
Harus kuakui, aku sedikit cemas karena tak bisa bertemu dengannya. Seperti ada sesuatu yang hilang. Tentu saja ada yang hilang. Aku tahu persis ada sesuatu yang hilang.
Kursi di ujung halte Harmoni kosong melompong. Sama seperti sudut hatiku. Seperti kehilangan sebongkah dari dalamnya dan tak bisa diisi oleh apa pun kecuali oleh bongkahan yang hilang itu sendiri. Sialnya, aku tak tahu ke mana harus mencari bongkahan itu.
Aku pernah sekali nekat mencari Anna. Aku menyusuri jalan yang selalu dituju Anna saat keluar dari halte. Hasilnya? Aku tersesat.
Untunglah aku bisa kembali ke jalan raya meski selanjutnya harus menunggang taksi karena busway terakhir sudah berlalu.
Jika ada hal yang ingin kusesali seumur hidupku, itu adalah tidak memiliki nomor ponsel Anna. Aku selalu merasa bahwa pertemuan kami akan terus berlanjut hingga kapan pun sehingga aku tak perlu menghubunginya karena kami akan selalu bertemu. Tapi jelas itu pilihan konyol. Dan, setelah tak berhasil menemukannya, aku merasa menyesal. Lalu seterusnya, aku hanya bisa menunggu keajaiban di halte ini. Berharap Anna datang seperti biasa.
Lucu sekali. Seorang Lucas yang mengaku benci menunggu, saat ini tengah termenung menanti seseorang yang entah datang atau tidak. Menyedihkan.
Memang kenapa?
Aku sudah terbiasa dengan kehadirannya di ujung kursi halte Harmoni. Terpaut satu kursi dari tempat dudukku. Aku sudah terbiasa mendengar lagu-lagu kedaluwarsa dari walkman-nya jika ia meminjamkan benda butut itu padaku. Aku sudah terbiasa dengan dirinya yang selalu menggenggam jam saku. Aku juga sudah terbiasa dengan filosofinya yang aneh. Meski selalu bertentangan dengan pola pikir realistisku.
Atau jika kalian ingin aku mengaku, aku merindukannya. Lucu sekali. Seorang Lucas merindukan seseorang?
Tentu saja! Aku bahkan sudah menunggu selama ... hari ke berapa ini? ... Oh, hari ketujuh.
Putus asa. Lelah. Juga seribu satu macam pertanyaan yang bercokol di otakku tanpa ada jawaban.
Ketika aku memutuskan untuk mengakhiri kekonyolan ini, seseorang datang padaku. Duduk di ujung kursi halte Harmoni sambil menggenggam jam saku dan walkman butut. Namun, dia bukan Anna. Dia ....
"Aku Alice."
Oh ya, namanya Alice. Si wanita di ponsel.
Aku senang bukan main melihat kedatangannya. Karena dengan begitu, aku bisa menanyakan tentang Anna kepada wanita ini. Ia pasti tahu. Aku yakin, ia pasti tahu.
Hening beberapa saat sebelum akhirnya aku memutuskan untuk mulai bicara. Langsung ke pokok.
"Di mana Anna?"
Alice tersenyum. Seperti sudah menduga pertanyaan itu akan muncul dari bibirku. Tapi ia diam saja, membuatku gemas.
"Sudah satu minggu ini ia tidak datang. Ke mana dia?" Aku bicara lagi, memancing agar Alice bicara.
"Anna sudah selesai menunggu. Busway-nya sudah datang."
Aku berkerut kening. Kenapa orang ini membuat otakku terasa berputar-putar? Masih dengan bingung yang semakin bertambah, aku merasa ada bongkahan yang mulai terbentuk di saluran pernapasanku.
"Anna adalah adikku. Aku sangat menyayanginya karena ia adalah satu-satunya kerabat yang kumiliki." Oh, sepertinya Alice memutuskan untuk tidak semakin membuatku bingung. "Ibu meninggal dunia karena kanker rahim, tiga hari setelah ulang tahun Anna yang ke-17. Kemudian ayah menyusul ibu sebulan kemudian. Kecelakaan kerja. Saat itu, kami berjuang mati-matian untuk hidup tanpa orang tua. Kami nggak punya saudara di Jakarta. Umurku 20 tahun waktu itu. Sudah cukup dewasa untuk sadar bahwa kami butuh uang untuk hidup. Dan, Anna butuh pendidikan. Bagaimanapun juga, Anna harus tetap sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
WAIT - Ketika Waktu Bicara
RomanceAku manusia realistis yang berharap semua berjalan dengan praktis dan efisien tanpa embel-embel membuang waktu. Aku penganut motto "time is money" dan percaya penuh bahwa waktu diciptakan untuk bekerja. Begitu, sampai akhirnya aku bertemu seseorang...