#12. Gelap

736 116 14
                                    

Alfa menutup buku dengan sampul bertuliskan KIMIA. Ia meletakkan pensil yang sedari tadi menemaninya mengerjakan tugas di tempatnya. Sejenak, matanya terhenti pada sebuah pigura yang terpampang tepat di hadapannya.

Wanita dengan syal putih yang terbalut manis di lehernya, rambut hitamnya yang tergerai indah, ditambah senyuman yang tak pernah luntur dari bibirnya. Membuat hati Alfa tenang dan damai setiap kali melihatnya.

Hembusan angin dengan bebasnya membelai pipi Alfa. Membuat Alfa menoleh, melihat jendela kamarnya yang masih terbuka lebar. Ia beranjak, berjalan menuju balkon kamarnya. Mendongak, menatap langit hitam yang dipenuhi bintang. Pancaran sinarnya yang terang namun tak menyilaukan mata, membuatnya terlihat sangat anggun.

Andai Alfa bisa seperti bintang. Selalu dibutuhkan cahayanya untuk menerangi malam, selalu dirindukan keindahannya untuk meneduhkan hati, dan selalu abadi cahayanya kala ia menampakkan diri. Tapi sayang, Alfa tidaklah seperti itu. Dan mungkin, tak akan bisa menjadi seperti itu.

"Ah, Papa sangat menyesal menyampingkan kerjaan apa. Hanya untuk mengambil rapotmu ini?! Nilai merah seperti ini?!" Rama menunjuk angka merah yang tertera pada buku sampul merah tepat di depan mata bocah kecil yang kini hanya bisa diam.

Anak lelaki itu tetap menunduk tanpa berani membalas tatapan pria dengan jas hitam di depannya. "Kalau Papa tau seperti ini. Lebih baik Papa tetap di kantor mengurus pekerjaan!" Rama membanting buku yang digenggamnya di atas meja cokelat. Menimbulkan suara yang dapat membuat Alfa berjengkit kaget.

Alfa terisak, ia takut akan amarah papanya. Baru kali ini papanya benar-benar marah akan hasil prestasinya. Karena biasanya Rama tidak pernah semarah itu, walaupun nilai Alfa jauh lebih buruk dari nilai sekarang. "Maaf Pa--" Alfa berucap pelan tanpa mengalihkan perhatiannya terhadap lantai putih.

"Maaf? Apa artinya maaf itu kalau semuanya tak pernah berubah?! Mana usahamu Alfa?! Bahkan sampai sekarang, kamu menghitung saja su--"

"Mas!" sebuah suara berhasil memotong kalimat Rama.

Wanita dengan balutan baju tebal, berjalan susah payah menghampiri dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya. Sesekali ia terbatuk, karena tenggorokannya yang terasa kering juga menyakitkan. Badannya yang lemas membuatnya kesulitan dalam melangkahkan kaki. Ia berpegangan pada media apapun yang berada di sampingnya.

Alfa yang melihat sosok itu, segera berhambur ke pelukannya. Tangisnya pecah kala ia merasakan hangatnya tubuh wanita tersebut. "Kenapa kamu kemari? Seharusnya kamu tetap beristirahat di kamar." Rama menatap teduh Miranda yang kini berada tepat di hadapannya.

"Aku tidak akan kemari, jika tak mendengar suara kerasmu." Miranda mengusap puncak kepala putranya dengan penuh kasih sayang. Membuat Alfa semakin mengeratkan pelukannya. Disinilah tempat ternyaman baginya. Tempat ketika ia tersenyum merasa bahagia, juga menitikkan air mata ketika ia sedih.

"Mengapa harus seperti ini Mas? Mengapa harus berubah sejauh ini?" Miranda menatap sang suami penuh makna. Ia tak menyangka Rama tega membentak putra kecil yang sangat disayanginya. Karena selama ini, Rama selalu memberi nasihat kepada Alfa. Memberi motivasi untuk semangat Alfa dalam belajar, memberi dukungan penuh pada Alfa, hingga membantu Alfa ketika ia merasa sulit mengerjakan tugas sekolah.

Namun kini, untuk pertama kalinya sikap Rama berubah. Berubah layaknya ia telah lelah menghadapi kebodohan Alfa. Kesulitan Alfa dalam menghitung berbagai angka, membaca bermacam huruf, hingga menghapal berbagai kalimat. Membuat emosi Rama benar-benar terpancing.

Sebenarnya bukan itu yang membuat Rama frustasi, hanya saja banyak masalah yang datang menimpannya. Mengakibatkan semua hal kecil yang datang terlihat berat dan selalu salah. Dari mulai bisnis kantornya yang diancam kebangkrutan, hilangnya milyaran uang karena terjebak penipuan, hingga berlimpahnya hutang yang membuat kepalanya seakan pecah.

When Dark Meet LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang