Part 5 - University

36 2 0
                                    

Disinilah Diandra sekarang. Di salah satu universitas terbaik di dunia yang kini menjadi kampusnya. Diandra melangkahkan kakinya perlahan sambil memandangi kampusnya. Ia begitu takjub dengan bangunannya yang sangat megah. Begitu banyak tempat menarik yang disediakan kampus hingga membuat para mahasiswanya terlihat begitu senang berada disana. Diandra dapat melihat begitu banyak pepohonan dan bunga yang memperindah bangunan ini. Para mahasiswanya juga banyak yang terlihat sedang berkumpul di bawah pohon-pohon yang rindang. Beberapa di bawah mereka bahkan tidak sungkan untuk duduk diatas rerumputan hijau. Diandra tersenyum sesaat, pasti menyenangkan menghabiskan waktu disana. Diandra juga melihat beberapa air mancur di sekitar tempat ia berjalan. Beberapa mahasiswa terlihat asyik bercanda dan bercengkrama di sisi air mancur itu.

Setelah berjalan di halaman kampus yg sangat luas itu, Diandra akhirnya tiba di koridor kampus. Diandra menatap buku catatannya yang terbuka sekilas. Ia harus pergi ke auditorium yang berada di lantai dasar karena penyambutan mahasiswa baru ada disana. Selama berjalan di koridor tersebut, Diandra sesekali melirik ke sekelilingnya mencari keberadaan mahasiswa baru yang lain. Ia sungguh tidak bisa membedakan antara mahasiswa baru dan lama saat berjalan di halaman kampus tadi. Hingga akhirnya ia melihat papan yang menunjukkan arah menuju auditorium. Ia semakin dekat ke tempat tujuannya. Dan Diandra melihat beberapa mahasiswa berjalan menuju ke arah yang ditunjuk oleh papan itu. Mereka pasti mahasiswa baru seperti dirinya. Ia ingin sekali mendekati salah satu mahasiswa itu, berkenalan dan jalan bersama menuju auditorium. Ah, tapi Diandra bukanlah Lina. Diandra yang introvert tidak bisa membuka percakapan lebih dulu. Ia tidak percaya diri untuk berkenalan dengan mereka. Oh Tuhan, Diandra benci menjadi introvert. Ia benar-benar mengharapkan sosok Lina disini sekarang juga.

Diandra kini tiba di auditorium. Sebelum masuk ia disambut oleh beberapa orang yang mungkin menjadi panitia dari penerima mahasiwa baru di kampusnya. Mereka mempersilahkan Diandra duduk di bagian yang sudah disediakan. Rupanya mereka membagi tempat duduk sesuai dengan fakultas masing-masing. Diandra dapat melihat para mahasiswa yang mulai memenuhi auditorium ini. Bukankah mereka mahasiswa baru juga sama seperti Diandra? Tapi mengapa mereka terlihat sangat akrab dengan mahasiswa disekitar mereka? Bahkan banyak diantara mereka yang terlihat tertawa lepas ditengah obrolan mereka. Ah, Diandra sangat ingin seperti mereka. Diandra ingin sekali bergabung dengan salah satu dari kelompok mahasiswa itu. Setidaknya mengobrol dengan salah satu mahasiswa yang duduk di sampingnya. Namun lihatlah tas, pakaian dan aksesoris mereka. Diandra menjerit di dalam hatinya. Oh Tuhan, tolong keluarkan aku dari sini! Mereka terlihat sangat keren dan... Kaya. Sekalipun Diandra tidak bisa memastikan apakah mereka lebih kaya dari Diandra atau tidak tapi Diandra tidak peduli. Ini bukan seberapa kaya dirimu tapi seberapa besar kepercayaan dirimu untuk berbaur dengan mereka. Argh, para Bapak yang menyebalkan. Mengapa mereka memasukkan Diandra ke kampus yang disesaki oleh orang-orang super keren seperti ini? Jadi Diandra lebih memilih duduk dalam diam sambil memainkan ponselnya, berharap ada salah satu mahasiswa yang menghampirinya dan mengajaknya berkenalan. Diandra mengetik dengan cepat di ponselnya, mengirim whatsapp ke sahabatnya. Lina, tolong aku!

Harapan Diandra menguap saat serangkaian acara penyambutan mahasiswa baru akhirnya selesai. Tidak ada satu pun mahasiswa yang mengajaknya berkenalan. Bahkan Diandra yakin bila para mahasiswa itu tidak menyadari kehadirannya. Tidak apa, batin Diandra. Lebih baik tidak dikenal daripada kejadian buruk yang dulu pernah dilaluinya kembali terjadi. Tiba-tiba sekelebat bayangan masa lalunya kembali hadir di pikirannya. Saat Diandra ditertawakan oleh teman-teman sekolahnya. Tidak, Diandra tidak hanya ditertawakan. Dia selalu menjadi bulan bulanan teman-temannya. Mereka menyembunyikan tempat duduk dan meja Diandra. Mereka bahkan memukuli Diandra. Mereka selalu mengatakan Diandra aneh dan memalukan. Diandra selalu pulang dengan wajah lebam. Ia hampir tidak ingin sekolah dan harus diterapi untuk melupakan traumanya. Hingga akhirnya Lina datang dan menawarkan persahabatan yang tulus padanya. Entah apa yang diperbuat oleh Pak Radith dan Pak Roby. Yang pasti saat Diandra akhirnya kembali masuk sekolah, semua teman Diandra meminta maaf dan berjanji untuk menjadi teman Diandra.

Diandra yang baik dengan senang hati memaafkan mereka. Namun sepertinya itu semua hanyalah kebohongan mereka agar Pak Radith dan Pak Roby tidak memenjarakan mereka di penjara anak-anak. Mereka masih mengerjai Diandra. Mereka lebih licik karena kali ini mereka berpura-pura baik di depan Diandra. Diandra pernah dikunci di dalam toilet dan mereka melempar ular kecil ke dalam toilet itu hingga Diandra menjerit dan menangis ketakutan. Lina yang baik yakin bila anak-anak munafik itu lah pelakunya. Entah apa kesalahan Diandra pada mereka tapi yang pasti Lina sangat membenci perbuatan mereka. Lina selau membela dan melindungi Diandra mati-matian. Orang tua Lina merupakan pebisnis hebat dan ditakuti oleh para orang tua yang notabenennya para pebisnis. Rumor mengenai Lina yang sangat melindungi Diandra membuat para orang tua khawatir. Kali ini para orang tua yang turun tangan dan memberikan jaminan atas keselamatan Diandra demi keselamatan pekerjaan dan perusahaan mereka sendiri sesungguhnya.

Sejak saat itu Diandra benar-benar memiliki banyak teman. Ia tidak terlau yakin bila teman-temannya itu tulus bersahabat dengannya. Bahkan hingga lulus SMK, satu-satunya orang yang bersahabat tulus dengannya hanyalah Lina. Diandra memang tidak pernah mendapat perlakuan buruk lagi seperti saat ia masih kecil namun saat Lina sedang tidak masuk sekolah entah karena sakit atau izin karena ada keperluan mendesak, teman-teman Diandra selalu punya cara untuk mengerjai Diandra. Mereka akan berpura-pura terpeleset hingga membuat Diandra jatuh atau mengotori seragam sekolah Diandra dengan makanan mereka. Saat hal itu terjadi mereka tentu akan meminta maaf dan bersikap seakan-akan menyesali kejadian tersebut. Namun mata dan seringai mereka tidak bisa berbohong. Diandra bisa melihat hal itu dengan jelas. Mereka semua hanya tersenyum palsu. Tapi apa yang Diandra lakukan? Ia begitu takut untuk marah atau mengadukan mereka. Diandra hanya berpikir bila suatu saat nanti mereka pasti akan bosan dan lelah sendiri dengan sikap mereka pada Diandra. Tapi entah apa dosa Diandra, mereka tetap bersikap munafik hingga hari kelulusan mereka tiba.

Tidak dapat dipungkiri, Diandra sangat bersyukur karena akhirnya keluar negeri dan berhasil berpisah dari semua temannya yang munafik. Tapi melihat keadaan di kampusnya sekarang, Diandra merasa takut dan cemas. Terapi tidak bisa menyembuhkan luka dan trauma Diandra seratus persen. Bayangan akan bullying itu terus mengusik dirinya. Dia berharap hari esok akan jauh lebih baik dari hari ini. Semoga esok akan ada mahasiswa baik hati yang menjadi temannya. Diandra berjalan dengan gontai keluar kampus. Dia berharap setidaknya jika tidak ada teman untuknya besok, ia berharap bila ia tidak akan terlihat oleh mahasiswa lain sampai hari kelulusan mereka.

Namun pada kenyataannya, mahasiswa yang duduk di dekat Diandra di auditorium tadi atau yang berpapasan dengan Diandra selama di kampus sebenarnya tersenyum pada Diandra. Namun yang mereka dapatkan adalah wajah penuh kecurigaan dari Diandra. Entah apa yang dipikirkan Diandra saat itu. Mungkin traumatik Diandra menutup akal sehat dan penglihatan Diandra dengan ketakutan. Para mahasiswa yang melihat Diandra saat itu sangat bingung dan akhirnya memutuskan untuk tidak terlibat jauh dengan mengajak Diandra berbicara. Diandra salah satu kaum minoritas di kampus itu. Dia salah Satu dari sedikit orang Asia diantara para mahasiswa lokal yang berwajah barat. Mungkin ia hanya belum bisa beradaptasi, batin para mahasiswa itu.

Saat Diandra masih berjalan menuju gerbang kampus, segerombolan mahasiswa terlihat sedang berkumpul di salah satu taman kampus. Gaya mereka terlihat lebih mencolok dari mahasiswa yang lain menurut Diandra. Mereka mungkin mahasiswa paling keren di kampus ini. Diandra berjalan melewati mereka tanpa memandang mereka sama sekali. Namun tanpa sepengetahuan Diandra, salah satu dari gerombolan mahasiswa itu tengah menatapnya dengan mata birunya.

"Dia salah satu mahasiswa baru sepertinya", ujar salah seorang gadis menyadari lawan bicaranya yang tidak memperhatikannya.
"Tau dari mana?", jawab lelaki itu masih terus menatap punggung Diandra.
"Dia baru keluar dari auditorium sepertinya".
"Begitu ya?".
"Kenapa, dude? jangan bilang kalau kau penasaran padanya", selidik lelaki yang lain.
"Bukan seperti itu hanya saja, aku seperti pernah melihatnya", jawabnya masih memandang Diandra.

"Ms. Diandra! Tunggu! Ms. Diandra!", Mrs. Rin terlihat melintas di depan mereka, berlari sambil memanggil Diandra dengan membawa sebuah paper bag.

"Diandra?", gumam beberapa dari mereka.
"Oh jadi itu yang namanya Diandra?", ucap gadis yang lain.
"Kau mengenalnya?", kali ini lelaki bermata biru itu menatap lawan bicaranya.
"Oh, c'mon Dave! Gadis itu sudah menjadi perbincangan sejak awal penerimaan mahasiswa baru. Mahasiswa baru yang mendapat nilai tertinggi dalam ujian masuk kampus kita berasal dari Asia, lebih tepatnya Indonesia. Ini pertama kalinya orang Indonesia mengalahkan nilai mahasiswa lokal", jelas gadis itu.
"Benarkah? Gadis itu...", lelaki bermata biru itu kembali menatap Diandra yang kini sedang berbicara dengan Mrs. Rin di kejauhan.

My GuardianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang