Benih Konflik

1.2K 156 9
                                    

"Kenapa buru-buru sekali?" Jingga berlari kecil demi mensejajarkan langkahnya dengan Angkasa.

Angkasa tetap sibuk dengan pikirannya sambil membuka pintu rumahnya dengan terburu-buru. Angkasa terus berjalan cepat menuju kamarnya lalu mengaktifkan layar holografis miliknya. Layar holografis, adalah semacam layar transparan, yang berfungsi menyimpan data. Sementara, Jingga hanya mengikuti Angkasa duduk di tempat tidur milik lelaki bermanik ungu itu.

"Cari apa?" tanya Jingga lagi saat Angkasa sibuk mengotak-ngatik data pada layar transparan di depannya.

"Kau sudah tahu beritanya kan?" tanya Angkasa sambil terus mengamati salah satu data. "Ini tidak mungkin, energi Thorus sudah diberi pembatas. Energi ini harusnya hanya dirasakan oleh kawasan Indonesia, mengapa Malaysia juga jadi terkena dampak Thorus?" lanjutnya heran seraya melihat peta kawasan Indonesia dan menunjukan batas dampak energi Thorus pada Jingga di layar hologramnya.

Jingga melihat layar transparan di depannya dengan alis yang bertautan. "Tunggu! Lihat disebelah sini," Jingga menunjuk pembatas merah yang tampak tidak wajar.

"Apa menurutmu juga, gliter pembatasnya retak? Sehingga energinya keluar dari sini?" Angkasa menyetujui apa yang ditunjuk Jingga. Batas merah pada peta itu adalah pembatas antara Indonesia dengan negara lain. Di daerah Kalimantan yang menjorok ke arah kawasan Malaysia, tampak energi Thorus menyebar. Namun, tidak banyak. Ini pasti diakibatkan karena kerusakan gliter.

Gliter merupakan dinding pembatas transparan, yang membatasi efek energi Thorus dengan negara lain. Bukannya Indonesia negara egois yang tidak ingin membagi energi. Namun, seluruh dunia pun tahu jika untuk abad ini energi alternatif tidak bisa dibagi-bagi, karena negara itu sendiri amat membutuhkannya.

"Lalu bagaimana? Memang kalau Malaysia mendapatkan sedikit dampak energi Thorus, Indonesia akan mengalami kerugian besar? Tidak kan?" tanya Jingga heran karena melihat raut wajah Angkasa yang tampak sangat cemas.

"Iya, memang tidak ada ruginya. Tapi, kau tahu? Sekitar 2 tahun lagi, Malaysia akan mati karena uraniumnya akan habis." jelas Angkasa.

Jingga mencerna perkataan Angkasa sejenak. "Tunggu! Apa jangan-jangan, pemerintah Malaysia mengadakan kunjungan ke Indonesia hanya untuk mengetahui lebih banyak mengenai energi yang kita punya?"

"Aku juga berfikir seperti itu. Aku pun heran, mengapa para peneliti yang pernah mengerjakan project Thorus harus mengikuti rapat bersama petinggi negara, juga pemerintah Malaysia?" ujar Angkasa dengan penuh kecurigaan.

Jingga tidak mengubris lagi pertanyaan Angkasa dan keheningan pun terjadi.

"Jingga?" Angkasa bersuara terlebih dahulu memecah keheningan, lalu menoleh pada Jingga. Dan, Ia kembali mendapati gadis berambut hitam legam itu dengan keadaan yang tidak pernah Angkasa sukai.

Seluruh bagian mata milik Jingga, berubah menjadi biru terang. Seluruh badannya pun, dikelilingi cahaya biru.

"Ah, tidak lagi Jingga." keluh Angkasa seraya menatap cemas keadaan Jingga saat ini.

Angkasa mengulurkan tangannya, lalu mengusap puncak kepala Jingga dengan lembut. "Katakanlah,"

Jingga masih pada tatapan kosong, sampai akhirnya Ia berbicara dengan intonasi begitu datar. "Iblis, jangan turuti iblis itu. Indonesia tidak akan selamat."

Setelah mengucapkan kalimat itu, seluruh cahaya di sekitar tubuh Jingga menghilang, begitu pula dengan matanya. Kini, Ia kembali normal.

Jingga mengerjap beberapa kali, sampai Ia sadar sepenuhnya. Setelah itu, Ia menatap Angkasa lekat-lekat dengan sendu. "Angkasa, maaf."

Angkasa tersenyum, lalu memukul kecil puncak kepala Jingga. "Tidak apa-apa. Ya! seperti biasa, aku akan berkata, mengapa aku harus percaya dengan nalurimu kan?" katanya dengan diakhiri tawa kecil yang masam.

Jingga tersenyum kecut, lelaki di hadapannya ini benar-benar melakukan tugasnya dengan baik, mencintai Indonesia dalam keadaan apapun. Ia benar-benar tidak pernah mempercayai naluri Jingga untuk kali ini, meskipun Angkasa tahu, naluri Jingga tidak pernah salah. Ia tetap percaya, bahwa Indonesia akan selalu baik-baik saja.

"Jingga, Indonesia yang membuatku hidup sampai saat ini. Aku tahu, nalurimu tidak pernah meleset. Tapi, apa mungkin nalurimu akan tidak tepat untuk kali ini? Tolong, katakan iya, Jingga. Aku mohon." pinta Angkasa seraya memegang tangan Jingga kuat-kuat lalu terduduk di lantai.

Jingga menatap Angkasa dengan mata kabur, karena gumpalan air yang menggenang di pelupuk matanya. "Ya, naluriku tidak tepat Angkasa. Berdirilah, semuanya akan baik-baik saja seperti apa yang kau inginkan."

Jingga, memiliki kemampuan aneh, yang tidak dimiliki oleh orang lain. Ia dapat memprediksi hal-hal buruk yang akan terjadi. Gadis itu tidak akan pada raganya, ketika Ia sedang mengatakan hal buruk yang akan segera terjadi. Wujudnya pun, akan berbeda. Dan, hanya Angkasa yang tahu semua ini.

Angkasa menatap Jingga lekat-lekat, Jingga melemparkan senyum kecil. "Terimakasih sudah mencintai negaraku, Angkasa."

"Terimakasih juga, karena kau telah melakukan hal yang kau bisa demi negaraku, Jingga."

Dua bayi Gystrom yang sudah beranjak dewasa itu, tumbuh menjadi pribadi yang selalu mencintai Indonesia pada keadaan apapun. Melakukan segala yang mereka mampu, dalam keterbatasan semesta.

Jingga melihat kesekeliling kamar, lalu matanya mendapati kotak hitam berdebu yang selalu tersimpan di atas rak buku milik Angkasa. "Itu kotak apa? Sepertinya tidak pernah dibuka,"

Angkasa mengigit bibir. "Bukan, itu hanya kotak biasa." sanggah Angkasa yang dibalas dengan ber-oh panjang oleh Jingga.

Jingga menatap Angkasa penuh heran. Ya, Angkasa sedang menutupi sesuatu darinya.
***

Para petinggi negara, pemerintah Malaysia, dan juga beberapa perwakilan warga Millenium termasuk Angkasa, berada di auditorium istana negara. Rapat yang sudah berlangsung selama 3 jam itu, mulai pada puncaknya.

"Kami telah memutuskan, akan memberikan satu perempat dari energi kami, untuk Malaysia. Dengan kebijakan dan tentu persetujuan para kandidat negara kami. Demi tetap menjaga kedamaian." Suara Tafri Nasuha, yang merupakan pemimpin negara Indonesia, penerus ayahnya yaitu Maistra Nasuha terdengar tegas dan penuh penekanan.

Pemerintah Malaysia, menyetujui kebijakan Indonesia. Mereka pulang ke negaranya, tanpa kata terimakasih dan tanpa wajah sumringah. Tersirat jelas, ketidak puasan dalam gurat wajahnya.

Angkasa dan seluruh peneliti, kembali ke desa Millenium. Seluruh peneliti, menggerutu karena kebijakan negara tersebut. Banyak yang mengatakan, Malaysia hanya mengemis saja. Sementara Angkasa, sibuk memikirkan naluri Jingga.

Apa, semuanya akan terjadi?

2 minggu setelah rapat besar, Indonesia mendapatkan pesan dari pemerintah Malaysia. Dan, isinya begitu mengejutkan.

Air susu, dibalas air tuba. Jika Indonesia tidak mau menyerahkan Thorus pada Malaysia, dengan tegas Malaysia akan menghancurkan energi itu. Dan tanpa diketahui oleh Indonesia, ternyata Malaysia telah mengirimkan segerombolan robot kapsul, yang akan menyerang kawasan Kalimantan Timur. Dan objek utamanya adalah, Thorus.

Dan inilah, awal dari ketepatan naluri Jingga. Dengan ini, atas dasar kecintaan seluruh warga negara Indonesia terhadap Indonesia, mau tidak mau, Indonesia menyatakan perang.

Kedamaian, hanya angan-angan untuk abad ini.

***






GX-INA 2150Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang