Prolog

116 12 0
                                    

Hamparan luas kota dapat dilihat dari sisi ujung tempat itu. Terbentang berjuta kehidupan manusia di dalamnya dengan cerita yang berbeda. Bercerita akan indah dan pahitnya dunia.

Gedung-gedung tingkat bermegahan menandakan zaman telah berubah. Angin malam menusuk kulit, menyelimuti tubuhnya seorang diri. Bulan purnama tak tampak sepenuhnya malam ini. Hanya separuh bagian yang menggambarkan hatinya nan masih tertinggal dalam kenangan.

Di atas tumpukan kayu tua yang mampu menopang dirinya yang masih larut dalam kesedihan, ia bercerita pada dunia apa yang ia rasakan. Meraung dan meronta akan pedihnya rasa. Menunggu seseorang yang tak akan pernah datang. Menyita sisa hidupnya dengan keterpurukan yang amat dalam.

Gadis berusia 25 tahun itu menyeka air mata yang terus mengalir di pipinya dalam kesunyian malam. Berharap semua ini hanyalah mimpi belaka.

"Senyum,"

Hanya satu kata yang mampu membuat gadis itu terhentak. Menghentikan tangisnya dan mencari sumber suara. Suara itu sangat familiar, namun gadis tersebut berpikir semua itu hanyalah ilusi semata.

Seorang lelaki dengan postur tubuh yang cukup tinggi dan tatapan penuh keteduhan menatap gadis masa lalunya itu. Menenggerkan jaket miliknya ke bahu gadis tersebut. Merasakan sakit melihatnya meraung-raung dengan tatapan tersiksa.

Gadis itu terpaku, diam seribu bahasa. Air matanya tak lagi turun. Matanya terbelalak. Rasanya seperti jatuh ke lapisan bumi yang paling dalam. Menghantamnya berkali-kali dengan kerinduan yang ia rasakan, kemudian kembali dengan perasaan tak bersalah.

"Senyum, Embun."

Embun masih membisu, tak percaya akan pengelihatannya kali ini.

EmbunWhere stories live. Discover now