Kamu, Aku dan Dia

128 6 5
                                    

"Aku minta maaf. Tak seharusnya aku melakukan itu padamu. Tapi..." Ujar sosok pria di hadapanku itu. Aku hanya diam menatap wajahnya, atau lebih tepatnya matanya.

Mata yang telah mengurung hatiku selama ini. Dan sekarang mata itu tulus mengucap maaf. Karena mata itu bukanlah milikku. Tapi miliknya.

"Aku... Aku tak bermaksud menyakitimu." Lanjutnya.

"Sudahlah. Tak ada lagi yang perlu dimaafkan. Semua telah terjadi." Ucapku datar. Aku berusaha menekan semua rasa yang ada dalam hatiku ini.

Rasa memabukkan yang telah dilemparkan sorot mata itu sejak pertama kali bertemu. Kangen menikmati hangatnya mata itu. Dan kini, rasa sedih dalam jiwaku.

Aku pun beranjak meninggalkan sofa yang telah menerimaku sejam lebih. Aku tahu. Kalau aku tetap di sana, akhirnya aku akan lepas kendali.

***

"Lo tuh ya... Bego amat jadi cowok. Lembek!"

Aku menatap Myra yang serang sewot setelah mendengarkan ceritaku. Cerita tentang aku, dia dan dia.

"Udah gitu doang jadinya? Perjuangan lo selama ini mau lo hapus gitu aja? Lo yang hampir bunuh diri demi dia. Demi dia Dis!" Myra menatapku sangar.

Ya, aku dulu hampir merelakan hidupku demi pria yang kemarin kutinggalkan di cafe itu. Dia yang hadir dan mencuri semua rasa dalam hidupku.

Dimas Adrian Putta. Pria kelahiran Tasikmalaya dua puluh lima tahun silam. Pria yang hadir dalam hidupku lewat dunia maya. Dan mengubrak-abrik dunia nyataku ketika aku bertemu dengannya pertama kali, dua bulan silam.

"Terus... Gw harus gimana Myr? Dia sudah menyatakannya dengan jelas. Dia memilih orang itu." Argh... Mulutku bahkan enggan mengucapkan nama orang itu.

"Ya berjuang dikit kek. Nyerah gitu aja. Terus... Habis ini juga lo bakalan ngegalau doang kan?"

Myra menyeruput jus alpukatnya sebelum melanjutkan ucapannya. "Dan orang itu... Yang lo enggan debut namanya kayak Voldermort itu juga dah salah sama lo. Napa dia gak ketemu and minta maaf sama lo?"

"Entahlah. Gw aja gak tahu orang itu di mana. Lagian, gw juga males nyari tahu dianya di mana."

"Ya udahlah. Lupakan orang who can't be named itu deh. Lo yakin kalau lo bakal lepas Dimas gitu aja?"

Aku menganggukkan kepalaku yakin walau hatiku berharap kepalaku menggeleng.

"Okay kalau gitu. Gw dukung lo Redista. Tapi gak sekali pun gw mau denger lo ngegalau gak jelas habis ini. Sekali lo galau, lo hutang gw 1juta."

"Tega banget lo Myr. Ngambil kesempatan dalam kesedihan gw." Ujarku sambil mengaduk cappuccinoku. Myra memang memahamiku. Aku sudah pasti akan menggalau karena Dimas.

"Gw gak mau tahu. Biar aja gw jadi kejam daripada lo sedih gak jelas."

Baik aku dan Myra pun menghabiskan malam itu dengan tidak membahas Dimas ataupun orang itu lagi. Aku pun melupakan sejenak keduanya dan masalah hatiku.

***
Handphoneku bergetar di atas nakas. Aku segera mengambilnya karena tak ingin handphoneku jatuh seperti sebelumnya. Aku pernah membiarkan getaran handphoneku dan akhirnya terjatuh dari nakasku.

'Orang itu...' Aku menghela nafasku. Kenapa pagi seperti ini harus diawali dengan sesuatu yang buruk seperti dia.

Aku menekan tombol hijau di handphoneku tapi aku tak bersuara. Membiarkan lawanku itu yang memulai.

"Re..." Suara basnya yang agak serak memanggil namaku. Hanya dia yang memanggilku dengan Re.

"Re... Kita harus bicara Re. Sampai kapan kamu mau cuekin aku?" Suaranya kembali terdengar setelah aku diamkan panggilannya tadi.

Kamu, Aku Dan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang