Tuntutan

40.6K 847 35
                                    

Selama 3 bulan pernikahan, ini adalah hal yang paling aku hindari. Berkumpul dengan keluarga besar Mas Ilham. Oke, mungkin tidak semua, aku hanya sedikit malas saat bertemu dengan Mbak Dita, kakak iparku. Sayangnya, momen berkumpulnya keluarga besar ini justru erat hubungannya dengan Mbak Dita, yaitu acara aqiqah putri ketiganya, Zahra An-Najwa. Aku sudah berusaha menghindar dari Mbak Dita dengan terus menempel pada Lila, salah satu sepupu Mas Ilham yang seumuran denganku. Tapi rupanya mata tajam kakak iparku itu seolah tak mau melepaskanku, dan akhirnya … eksekusi berlangsung saat Mbak Dita, dengan alibinya memintaku untuk membantunya menyiapkan buah.

“Sudah ada tanda-tandanya, Mel?” tanya Mbak Dita sambil menata jeruk ke piring buah.

“Hah? Tanda-tanda apa, Mbak?” tanyaku pura-pura bodoh sambil memutar buah semangka yang akan ku potong-potong.

“Tanda kehamilan dong. Sudah berapa bulan ini? Sudah 3 bulan lebih, kan?”

Kress!

Ku potong ujung semangka dengan semangat. Bener, kan? Eksekusi!

“Belum, Mbak,”

“Masa sih? Dulu Mbak sebulan langsung isi lho … kalian enggak pake KB, kan?”

Ih! Beda ladang kaleee, masa mau disamain.

“Enggak kok, Mbak.” jawabku gemas lengkap dengan ekspresi tak sukaku. Mbak Dita melirikku sekilas, mungkin merasa terganggu dengan jawabanku yang sedikit ketus.

“Semangkanya keras ya, Mbak,” alihku setelah berhasil membelah semangka menjadi dua.

Mbak Dita melengos tak peduli.

“Kalian bukannya nggak mau punya anak cepet-cepet, kan? Inget lho … Ilham itu udah 30. Kalau nunda terus, nanti dia keburu jadi kakek-kakek dan anaknya belum kelar kuliah.”

Aku mencibir dalam hati, siapa suruh nikah tua!

“Kalau Ilham sih udah bilang pengen segera punya momongan. Kamu sendiri gimana, Mel?”

Ih! Bisa nggak sih bahas hal lain?

Aku tak menjawab, hanya tersenyum kecil, “Ini di potongnya segini, Mbak?” tanyaku menunjukkan hasil potongan semangka.

“Iya, segitu aja,” jawab Mbak Dita cepat, “Siap nikah harus siap punya momongan juga. Jangan kayak si Vania tu anaknya Bu Mardi. Nikah muda, tapi nggak berani punya anak. Pakai KB, eh keterusan … dua tahun baru punya momongan. Itupun program.”

Aku meringis lagi.

“Ya…rezeki orang kan beda-beda, Mbak.” jawabku sok diplomatis.

“Tetep aja kudu usaha.”

“Iya,”

“Jangan di halangin pake KB,”

Aku kembali terdiam, fokus pada pemotongan semangka. Semoga bisa sedikit menyalurkan kekesalanku pada Mbak Dita. Tak lama, Budhe Salma muncul, membantu kami sekaligus bergosip dengan Mbak Dita tentang si Vania Vania tadi, salah satu tetangga Mbak Dita.

***

“Emangnya kenapa sih kalau nunda punya anak? Kan kita masih mau pacaran dulu ya, Yang? Lagian emangnya punya anak gampang apa? Kalau yang udah siap sih, oke oke aja. Lha kalau belum? Emangnya nikah cuma buat bikin anak doang apa? Kan butuh persiapan juga.” omelku panjang lebar sambil menyiapkan makan malam untuk Mas Ilham yang baru saja selesai sholat isya. Jam menunjukkan pukul 8 malam saat Mas Ilham tiba di rumah.

Mas Ilham diam tanpa komentar, terlihat lebih tertarik pada makanan di hadapannya dibandingkan omelanku.

“Memangnya Mbak Dita ngomong apa?” tanyanya kalem sambil menerima piring yang telah ku isi dengan makanan sesuai pesanannya.

“Ya masih ngomongin yang sama lah. Hamil. Jangan tunda. Umur Mas udah 30, nanti keburu tua. Gitu-gitu lah.” Aku masih cemberut.

Mas Ilham mengangguk-angguk mendengar ceritaku. Ia mulai memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Aku menutup mulutku, menghentikan ocehan yang mungkin saja membuatnya kehilangan nafsu makannya. Kupandangi wajah Mas Ilham yang terlihat begitu menikmati makanannya. Diam-diam aku tersenyum, teringat bagaimana kami bisa sampai tahap seperti ini. Menikah.

Namanya Muhammad Ilham, 30 tahun. Aku bertemu dengannya pertama kali saat Mas Ilham menjadi dosen pengganti di kelasku. Mas Ilham tidak tampan, sungguh. Dia sebagaimana rata-rata lelaki Indonesia, dengan kulit sawo matang, tinggi rata-rata dan okay, sedikit manis. Aku mulai tertarik karena caranya dalam menyampaikan kuliah sangat asyik. Pak Ilham—begitu kami memanggilnya dulu menjadi sedikit popular di kalangan kami—para mahasiswi jomblo saat diketahui bahwa ternyata beliau juga masih jomblo. Pembawaannya yang ramah tapi juga pendiam membuat aku dan teman-temanku sedikit heboh, meskipun setelah itu kami akhirnya lebih  heboh setelah Mas Vino, salah satu asisten dosen ganteng yang juga masih jomblo muncul. Tapi aku konsisten menganggumi Pak Ilham, hehehe. Lagipula Mas Vino terlalu ganteng untuk kujadikan incaran diriku yang juga biasa-biasa saja ini.

Di akhir semester, ternyata Pak Ilham menjadi pembimbing 2 skripsiku. Jangan ditanya, betapa aku dulu mencari-cari kesempatan agar berlama-lama saat melakukan bimbingan. Tapi toh akhirnya semua itu berbuah manis. Awalnya ku kira Mas Ilham tak tertarik padaku, tapi ternyata, 6 bulan setelah wisuda, Mas Ilham menghubungiku dan kami yah … menjadi lebih dekat sampai akhirnya satu bulan kemudian beliau melamarku.

“Tapi Mas nggak masalah kan kalau kita menunda kehamilan? Aku kan masih mau pacaran lho … kita kan enggak pacaran. Pedekate, tahu-tahu dilamar,” Ocehanku berlanjut setelah Mas Ilham menyelesaikan makan malamnya dan memilih bersantai dulu di sofa ruang tamu kami.

“Umurku nggak muda lagi waktu suka kamu. Saatnya cari istri, bukan pacar.” jawabnya kalem sambil mengelus rambutku yang terjuntai karena posisiku saat ini tengah tiduran dipangkuannya.

“Kalau tahu Mas naksir aku juga kan kita bisa pacaran pas aku masih kuliah, setelah wisuda, nikah. Paling tidak kita ada waktu lah buat pacaran yang unyu-unyu.”

Mas Ilham terkekeh kecil membuatku gemas.

“Kamu ini ada-ada aja. Kan enakan pacaran setelah nikah, bebas ngapa-ngapain,” Mas Ilham mengerling nakal.

Aku tersenyum malu-malu mendengar godaannya. “Eh tapi, nggak apa-apa kan yah, kalau kita nunda kehamilan dulu. Aku masih pengen berdua dulu sama Mas,” Kubenamkan wajahku ke arah perut Mas Ilham.

“Ya kalau rezeki kan nggak boleh di tolak,”

“Jangan gitu ah!”

“Tapi … tunda kehamilan, bukan berarti tunda membuatnya kan, sayang?”

“Aaaaa …” Aku makin menyusupkan wajahku saat mendengar godaan Mas Ilham yang kemudian terkekeh geli.

“Tapi, sayang … kamu … mensnya itu tiap tanggal berapa sih? Kok kayaknya kita lancar jaya?” Pertanyaan yang keluar dari mulut Mas Ilham membuatku sedikit tertegun. Eh iya yah. Baru inget. Setelah nikah aku baru ngerasain mens sekali. Padahal kami sudah menikah kira-kira 3 bulan lebih.

“Kayaknya cuma kehalang sekali setelah kita nikah, abis itu … tancap mulu perasaan.”

Aku mendongak  menatap Mas Ilham yang sama bingungnya denganku.

“Iya ya, Yang. Padahal selama ini mensku lancar lho. Sekali sebulan. Paling juga kalau telat kurang dari seminggu.” ucapku sembari mengingat-ingat lagi kapan terakhir aku mens.

“Ini berarti udaaaahh …” Telat hampir 2 bulan!

“Yaaaaaaang …” ucapku horror.

Mata kami saling berpandangan, tidak! Oh! Semoga tidak! Aku kan minum pil KB, meskipun kadang kelupaan karena terlanjur tidur atau melakukan hal lain di malam hari. Tapi … tidak mungkin kan aku … oh, aku benci menyebut keadaan yang paling aku hindari saat ini!

***

TBC

Note : akhirnya saya mempublish cerita baru...cerita gerudukan lagi, kerja sama dengan dua author kesayangan saya @tuing_tuing dan @vikos...semoga berkenan di hati para reader...terima kasih perhatiannya...ditunggu saran dan kritiknya...

HamilovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang