Aku membuka pintu apotek. Hari ini terlambat masuk kerja karena tadi pagi Aleya rewel, makannya susah. Mas Herman pergi duluan dengan motor, jadi aku yang mengantar Aleya ke sekolah. Kalau sedang rewel Aleya cerewet melebihi aku, galaknya juga melebihi aku. Tapi kalau sudah ada maunya, persis seperti Papapnya, manja nggak ketulungan.
Pasien masih belum terlalu ramai, aku terlambat setengah jam. Arif dan Nia sedang mengobrol sambil melayani resep pasien yang sedang menunggu. Aku masuk ke ruanganku menaruh tasku lalu kembali keluar.
“Sudah banyak pasien?” tanyaku pada Nia.
“Belum Bu, ini pasien ketiga. Dokter belum visite jadi masih belum ada yang nebus obat.” jawab Nia.
“Arif, sudah dihubungi pihak ekspedisi? Atau PBF? Kapan infus kita datang?” Aku melongok ke ruangan infus, sepertinya tumpukan itu masih sama. Kalau dalam tiga hari ini tidak datang, masalah akan datang duluan.
“Bu Mia, mari sarapan…” Heni menyuap nasi, “Dapat rejeki pagi-pagi Bu, tadi Budi datang bawain sarapan pagi.” Budi adalah sales representative obat yang sering datang kemari, sering bawa makanan juga.
“Kalo dia datang lagi, tanyain kapan TV kita diganti, sama yang lebih besar,” candaku.
Budi janji kalau pesanan kami banyak, TV kecil kami di ruangan bakalan diganti. Ada beberapa ref, begitu kami memanggilnya, yang datang kemari, membawa makanan dan janji-janji serta rayuan ampuh agar kami menerima produknya. Kenapa jadi cerita Budi? Karena Budi adalah cowok yang dilihat Mas Heerman kemarin makan siang bersamaku. Budi berpenampilan menarik seperti kebanyakan sales lainnya. Berwajah oriental meskipun namanya Indonesia sekali.
“Kamu dinas malam kan Hen? Belum pulang?” tanyaku lagi pada Heni.
Heni sudah menyelesaikan makannya dan melempar bungkusan nasi kuning ke dalam tong sampah, “Ini mau pulang Bu. Hap!” Dia melompat dari tempat tidur dan menyambar tasnya, “Pulang dulu Bu Mia.” Heni berjalan keluar ruangan, sebelum pergi ia sempat menggoda Arif dan Nia yang duduk di depan loket apotek, “Bu Mia, sepertinya di sini ada yang cinlok Bu,” teriak Heni sambil menutup pintu.
Aku menengok Arif dan Nia dan tersenyum. Arif langsung bangkit dan terlihat kikuk. Ia berjalan pura-pura mengambil obat. Arif dan Nia, mereka satu-satunya yang mewakili gender mereka yang masih bujangan dan perawan alias belum menikah, hingga sering sekali jadi bahan bully-an teman sejawat mereka yang rata-rata sudah menikah dan mempunyai anak.
“Rani mana, Ni? Dia dinas pagi kan hari ini?”
“Nggak tau Bu, katanya nggak masuk lagi hari ini,” jawab Nia dengan nada sedikit kesal.
Ini sudah seminggu dia absen. Meskipun akhir-akhir ini tidak terlalu banyak pasien, karena mungkin Indonesia Sehat sekarang sudah mulai tercapai, tapi tetap saja dia harus masuk. Kendati sekarang dia sedang mengalami morning sick. Alhasil, kami hanya bertujuh hari ini. Aku dan enam orang asisiten apoteker, minus Rani.
“Tapi nggak ada suratnya Ni,” gumamku heran.
“Lha kan sakitnya nyambung, jadi nggak perlu surat,” jawab Nia lagi.
“Ck.”
Aku hanya bisa berdecak kesal. Rani kadang-kadang menyebalkan, sudah manja, juga sering nggak masuk kerja dengan alasan ynag dibuat-buat. Ngurus suami lah, ada mertua lah, saudara jauh datang lah, arisan lah, ada saja alasannya untuk bolos. Tapi karena salah satu anggota keluarganya menduduki kursi Dewan, dia jadi lebih gampang dan nyaman untuk bermanja. Apalagi dia sekarang sedang hamil muda.
“Bu Mia, ada titipan dari Direktur,”
“Oh, iya Bunda, makasih.”
Aku mengambil selembar amplop yang diserahkan Bu Indah padaku. Bu Indah adalah salah satu stafku, tapi karena dia lebih tua dan lebih senior, aku lebih senang memanggilnya Bunda, agar lebih akrab dan kekeluargaan.