Whatever

26.6K 630 23
                                    

"Belum pulang, Mbak?" tanya Amel guru Bahasa Inggris di sekolah tempatku mengajar. Amel guru baru dan paling muda di sini, jadi dia memanggilku Mbak jika kami berada radius lebih dari 1 km dari murid-murid alias jauh dari mereka. Karena jika di hadapan murid-murid, kami saling memanggil dengan panggilan 'Bu'. Takut murid-murid nanti latah mengikutinya memanggilku 'Mbak'.

"Belum, nunggu suami." jawabku singkat melanjutkan kegiatanku mengoreksi hasil ulangan anak-anak tadi sambil menunggu suamiku menjemput. Hari ini jadwal mengajar Mas Tiar hanya sampai jam 2 siang, jadi dia menyempatkan diri untuk menjemputku pulang dari sekolah. Lumayan kan nggak perlu panas-panas nunggu angkot.

"Ciye, yang dijemput suami." goda Amel yang membuatku tersenyum.

"Iri ya, Bu Amel? Makanya cepetan nikah." ucap Bu Irma, Wakakur di sekolah, yang hanya membuat aku dan Amel tersenyum. Kebetulan siang ini di kantor guru hanya ada kami bertiga. Guru-guru lain sudah banyak yang pulang. Atau kalau tidak sedang mengampu murid-murid yang mengikuti ekstrakulikuler.

"Minta cariin Bu Nida tu. Siapa tau temen suaminya ada yang nganggur." tambahnya lagi.

"Iya. Kalau Amel mau nanti coba saya tanya Mas Tiar." jawabku menatap serius pada Amel yang hanya tersenyum malu-malu. Siapa tahu kan di kampus Mas Tiar ada dosen muda yang masih single? Amel cantik, anggun, pinter juga. Nggak malu-maluin lah buat dibawa ke kondangan.

"Nah. Boleh tu Bu Nida. Cariin buat Bu Amel dosen yang ganteng. Jangan yang kayak Pak Tiar." ucap Bu Irma yang langsung membuatku tertohok.

Memang sih suamiku nggak ganteng. Nggak manis juga. Kegantengannya hanya dalam taraf 'teramat sangat dan sangat biasa sekali' bahkan mendekati jelek. Tapi memang harus diperjelas gitu yah.

Sebenarnya bukan sekali ini Bu Irma membahas tentang suamiku yang nggak ganteng. Sudah sejak pernikahanku satu tahun 5 bulan yang lalu aku harus tutup telinga kalau beliau membahas tentang Mas Tiar. Bahkan terkadang ditimpali oleh guru yang lain, yang juga menyetujui pendapatnya tentang suamiku yang nggak ganteng. Mungkin memang mereka hanya berniat bercanda. Aku sudah paham watak mereka, apalagi setelah 5 tahun aku mengajar di sekolah ini. Tapi aku juga tidak salah kan kalau merasa kesal saat mereka menjelek-jelekkan suamiku yang memang jelek. Hei, dia suamiku! Biar jelek-jelek begitu juga aku cinta.

Aku hanya bisa diam dan tersenyum pahit mendengar Bu Irma berkata seperti tadi. Aku masih tahu sopan santun. Dia lebih tua dariku. Meskipun sebenarnya di dalam hati ingin rasanya menunjuk mukanya dan berteriak 'Nenek sihir! Jangan mentang-mentang suamimu ganteng kamu bisa ngata-ngatain suamiku begitu! Pak Handoko itu nginjek kodok makanya nikahin situ!'. Tapi atas nama kesopanan maka senyum dikulum kurasa cukup untuk mengatasi orang-orang seperti itu.

"Tahu nggak, Bu Amel. Dulu itu padahal yang naksir Bu Nida ganteng-ganteng lho." ujar Bu Irma lagi. Oke, sepertinya aku tahu akan menjurus ke mana pembicaraan ini. Dan sekarang aku benar-benar berharap Mas Tiar segera sampai ke sini dan membebaskanku dari nenek sihir yang satu ini.

"Dulu adik saya yang TNI juga pernah naksir Bu Nida. Tapi Bu Nidanya nggak mau. Padahal ganteng, TNI gajinya juga lumayan, udah punya rumah sendiri. Pokoknya mapan lahir batin. Eh malah Bu Nida milihnya Pak Tiar itu." See? Pasti akan menjurus ke hal ini. Sepertinya Bu Irma dendam padaku gara-gara aku menolak adiknya itu. Makanya setiap ada kesempatan dia pasti membahas masalah ketidakgantengan suamiku. Hah, terima saja nasibmu Nida Zakiyyah!

Kulihat Amel melirikku, merasa tidak enak padaku. Padahal yang menjelek-jelekkan suamiku dengan terang-terangan justru merasa sangat enak padaku. Orang tua jaman sekarang, nggak malu sama umur.

"Yah namanya jodoh, Bu. Siapa yang tahu?" jawabku bijak. Padahal sebenarnya, kalau membunuh tidak dilarang aku ingin sekali mencekik wanita tua di hadapanku ini.

HamilovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang