#03(ABSURD -_-)

9 0 0
                                    

"Cantik-cantik, tapi tukang copet." Andra terkekeh dan menggeleng pelan. "Prima, Prima..." lanjutnya yang kemudian memasukkan semua dompet kembali ke dalam tas, dan menyimpan dompetnya ke dalam laci nakas disamping brankar tempat Prima berbaring.

***

Waktu berlalu, dan kini Prima sudah siuman. Dia terlihat sangat lemah dan sangat butuh bantuan untuk melakukan apapun. Bahkan, untuk bangkit sekali pun. Beruntung, Andra masih setia berada disampingnya. Entah mengapa Andra merasa tak ingin meninggalkan Prima samna sekali. Ia merasa terlalu berat langkah yang akan ia ambil saat akan meninggalkan Prima. Apalagi, kini kondisi Prima tidak sebagus nama panggilan gadis itu.
.
"Andra, lo?" tatapan kaget dari gadis berkulit putih itu membuat Andra langsung mengerutkan dahinya. Seolah ia sedang memberikan sebuah pertanyaan pada lawan bicaranya itu. "Tidak apa-apa." Tukasnya yang seolah mengerti apa maksud dari ekspresi wajah Andra.
.
Andra hanya mengangguk-angguk paham dan kemudian duduk di kursi yang memang disediakan dalam ruangan itu. Kursi disamping brankar pasien. Prima juga mulai diam saja dan sesekali bertemu pandang dengan Andra, saling melempar senyum satu sama lain. Hingga akhirnya Andra membuka sebuah percakapan untuk memecah keheningan. Pembicaraan itu membuat Prima merasa sedikit kikuk.
.
Tak butuh waktu lama untuk bisa membuat sebuah kemistri antara Andra dan Prima. Mereka terlihat sudah mulai lebih luwes dan saling bercanda. Kadang Andra terlihat kesal atas perlakuan Prima, kadang juga kebalikannya. Hingga kebersamaan mereka terhenti saat Andra mulai ingat dengan sesuatu hal yang telah ingkari. Dan, mungkin dia akan mendapat masalah atas kelalaiannya itu.
.
Ya, Andra lupa dengan janjinya untuk menemui gadis di sebuah restoran. Ia merogoh saku celananya untuk mengambil smartphone miliknya. Namun saying, benda pintar itu tidak ia temukan sama sekali. Dan ia ingat jika itu ada di dashboard mobilnya.
.
Prima merasa sangat bersalah atas apa yang kini terjadi. Ia merasa jika semua ini adalah kesalahannya, mutlak. Ia bersembunyi di bagasi mobil Andra dan terkunci didalamnya. Hingga, hal itu membuat masalah pada diri Andra. Benar-benar menyebalkan semuanya. Prima terus merutuki dirinya sendiri. Ia merasa kesal atas kebodohannya.
.
"Kamu kenapa, Prim?" Tanya Andra yang heran akan tingkah Prima yang memukul-mukul keningnya sendiri.
.
"Hah? Eng..enggak apa-apa, kok." Prima cengengesan. Hal itu membuat Andra tersenyum dan menyembunyikan kekehannya dengan menunduk. "Gua Cuma ngerasa gak enak sama kamu. Gara-gara gua, lo jadi......" ucapan Prima terpotong karena Andra yang langsung membekap lembut mulut Prima.
.
"Udah, gak apa-apa. Lagian, aku juga salah 'kok!"
.
"Lo gak salah. Gua yang salah."
.
"Aku, Prima..."
.
"Gua.."
.
Keduanya saling menyalahkan diri masing-masing. Tak ada yang mau mengalah dan merasa dia yang paling salah. Padahal semuanya tidak bersalah. Ya, mungkin saja ada kesalahan, namun bukan berarti saling menyalahkan diri sendiri. Kedua insan itu akhirnya terdiam saat mendengar satu kata yang terucap dari mulut Andra.
.
"OK! Takdir yang salah. Dia yang udah buat kita kayak gini. Skenario tuhan yang udah buat kita jadi berantem gak jelas kayak sekarang." Ucap Andra yang penuh dengan tekanan dan perasaan yang tak menentu. Sementara itu, Prima hanya diam. Gadis itu terkesiap atas apa yang baru saja ia dengar.

***

Jarum jam sudah menunjuk pada pukul 11 malam. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan yang kadang lambat, kadang juga cepat. Menuju ke sebuah tempat yang jalannya berliku-liku. Masuk ke gang satu, lalu ke gang yang lainnya. Beruntung, jalanan ditempat itu lumayan cukup untuk dilewati oleh satu mobil dan satu motor, jika berpapasan.
.
"Ke kanan apa kiri?"
.
"Kanan aja lah!"
.
"loh? Kok kayak gitu jawabnya?"
.
"Andra!!! Gua udah berkali-kali bilang, kalo jalannya itu ke kanan terus. Jangan ke kiri."
.
Ya, Prima dan Andra lah yang kini sedang bersama dalam satu mobil. Mereka akan menuju ke rumah Deno. Saat diperjalanan, Andra tak sengaja menyerempet sebuah sepeda yang sedang dikendarai oleh seorang wanita hingga terjatuh. Hal itu sontak membuat Prima mendelik pada Andra.
.
Dengan sigap, Andra langsung menghentikan mobilnya dan keluar dari sana. Ia menghampiri wanita yang tadi terjatuh. Laki-laki beralis tebal itu membantu dan menawarkan uang ganti rugi, namun wanita itu menolaknya dengan alas an jika ia tidak apa-apa. Andra pun hanya mengangguk dan kembali ke mobil setelah si Wanita itu pergi dari hadapannya.
.
Prima menanyakan apa yang tadi Andra tawarkan, dan laki-laki itu menjawabnya dengan tegas dan santai. Hal itu membuat Prima menjadi agak kesal dan menampilkan ekspresi tak bisa dijelaskan pada Andra. Dan, gadis cantik itu menjelaskan jika mereka yang tinggal didaerah tempatnya tinggal sama sekali tak mau jika dibantu oleh orang lain. Lebih suka mencari sendiri.
.
"Termasuk dengan mengambil hak orang lain?" pertanyaan yang terlontar dari mulut Andra itu sontak membuat Prima menelan salivanya snendiri dengan susah payah dan membuang pandangannya dari wajah Andra.
.
Cukup lama terdiam, hingga Andra pun menepuk pelan pundak kanan gadis dihadapannya itu dengan tepukan yang lembut namun bertenaga. Prima kembali menatap Andra, ia seolah sedang menunjukka sebuah rasa takut dan kikuk. Ya, Prima takut jika nanti Andra akan marah karena tahu pekerjaannya.
.
Prima semakin terkejut saat Andra dengan santainya menunjukkan tas tepat dihadapannya. Bagaimana tidak terkejut? Itu tas selempang milik Prima! Tas yang biasa gadis itu gunakan untuk menyimpan barang hasil copetannya. Dan, Prima semakin sulit bernafas tatkala teringat jika didalam tas itu juga ada dompet milik Andra.
.
Astagaaa... Prima!!!!

***
.
"Kamu gimana 'sih, Deno!? Masa Prima hilang? Hah?" cecar seorang wanita paruh baya dengan nada suaranya yang serak pada Deno. Wanita itu adalah Delia, Ibu kandung Deno.
.
"Gak tau, Bu. Tadi kami dikejar-kejar sama massa, terus kami lari dan berpisah. Kami mikirin jalan dan keselamatan masing-masing." Jawab Deno dengan nada bicara yang agak tinggi, lalu meminum segelas air putih.
.
"Terus, ini gimana? Kasian Prima..." wajah Delia terlihat sarata akn ekspresi khawatir. Ya, itu semua karena Delia sangat menyayangi Prima. Anak perempuan yang selama ini sangat ia impikan bisa hadir dalam kehidupannya.
.
"Khawatirin Prima aja terus, Bu. Gak usah pikirin keadaan Deno lagi! Mentang-mentang pengen punya anak cewek, anak kandung sendiri dilupain!" sungut Deno yang diiringi dengan suara hentakan gelas yang berbenturan dengan kayu meja.
.
"Bukan gitu, nak. Tapi,...."
.
"Udah, sih! Ntar juga dia pulang sendiri. Dia 'kan tau jalan" Deno memotong ucapan Delia. "LAgian, bukan Cuma sekali ini aja si Prima ngilang tanpa kabar. Ujung-ujungnya, dia juga bakal balik ke rumah ini. Dia 'kan udah gak punya rumah." Lanjutnya dengan nada bicara yang penuh kesal.
.
Delia hanya bisa menunduk lemah setelah mendengar ucapan putra semata wayangnya itu. Ia mulai merasa bersalah, karena memang semenjak kedatangan Prima, ia jarang memperhatikan apalagi mengkhawatirkan Deno.
.
"Ck! Ya Allah..." Delia mengusap wajahnya pelan dengan kedua telapak tangannya yang sedikit mulai keriput itu.
.
***

Pagi ini, terlihat seorang wanita berpakaian formal tengah berbincang dengan seorang gadis berwajah oriental. Mereka tengah membicarakan tentang seorang laki-laki. Hmm...sepertinya perbincangan mereka sangat serius, namun tetap santai. Sedikit candaan sempat mewarnai perbincangan mereka

.

Mereka tak lain adalah Tiska dan juga Ibu kandung dari Andra, Fika. Mereka tengah membicarakan tentang Andra yang terkenal sangat nakal, namun sangat cengeng saat masih kecil. Dan, sekarang laki-laki itu telah bertransformasi menjadi seseorang dengan kekuatan fisik yang hebat. Andra juga sekarang tak lagi seperti dulu saat remaja, selalu memikirkan bagaimana caranya membalas dendam. Andra yang sekarang adalah sosok yang kuat, pintar, dan sangat mempesona.

.

Perbincangan itu berhenti saat terdengar suara seseorang mengucap salam. Kedua wanita berbeda usia itu pun menoleh kearah yang sama, arah sumber suara. Tiska tersenyum saat mengetahui jika yang baru saja datang adalah laki-laki yang akan menjadi tunangannya dalam waktu dekat. Ya, yang datang adalah Andra.

.

"Assalamu'alaikum..." salam Andra sambil berjalan mendekat ke arah sova dimana Tiska dan juga Fika, Bunda dari Andra, sedang berada disana. "Bunda, kok Ayah gak ada di ruang kerjanya?" lanjut laki-laki beralis tebal itu, bertanya. Lalu duduk di samping Fika.

.

"Wa'alaikumussalam..." Fika mengacak lembut rambut putra semata wayangnya itu. "Kamu ini kenapa, sih? Mau masuk ruang tamu aja pake salam segala. Lagian, kamu baru turun dari kamar." Lanjutnya merasa bingung.

.

"Iya, Ndra. Ngapain ngucap salam, kan kamu udah didalam rumah." Tiska menambahkan.

.

Andra menatap Tiska dengan tatapan yang sulit diartikan. Hingga akhirnya ia mengalihkan pandangan dan membuka suara yang bernada sindiran. "Lebih baik ngucap salam, walau udah didalem rumah. Daripada, masuk rumah orang pake teriak-teriak dan gak pake etika." Andra menghela nafas panjang sebelum akhirnya ia beranjak dari sana dengan langkah yang cepat, namun tetap santai.

.

Tiska menatap sendu kea rah Andra yang berjalan semakin menjauh. Jujur, hatinya saat ini merasa sangat sakit karena mendapat sindiran keras dari Andra. Bahkan, ia tak pernah menyangka jika akan mendapatkan hal yang seperti itu. "Manis, tapi nusuk di hati!" ungkap batin Tiska yang sepertinya kesal.

.

***

.

TO BE CONTINUE....

TRIPLE "PRI" :DWhere stories live. Discover now