Tiga

13 0 0
                                    


Sepuluh hari berlalu. Tak ada yang istimewa untuk seorang Ragil. Tak ada hujan, tak ada dia. Hah, lagipula untuk apa aku merumitkan wanita yang menurutku hanya memberikan harapan palsu.
Baiknya, aku belum menyatakan apa-apa, jadi aku masih terhindar dari perasaan malu. Malu kepada Halfan, teman baikku yang ternyata juga suka dengan wanita yang sama.
Aku melangkah dengan gontai setelah memarkir motor, menuju teras Leona Cafe dengan beberapa kanvas. Tunggu, ada seseorang yang berdiri mematung di bangku tempat aku biasa duduk.
Wajahnya menghadap ke arah taman. Seperti sebelumnya, dengan kucing yang menggeliat manja di dekapannya.
Tanpa bicara aku segera mengambil tempat berdiri di samping wanita yang hanya tersenyum sedikit menyadari kedatanganku.

"Sudah lama?"
Sebentar, apakah pertanyaanku tidak menandakan bahwa memang aku yang dia tunggu??

"Beberapa menit yang lalu"
"Ada yang perlu kau selesaikan?"
Meski ada debar aneh saat aku di sampingnya, tapi aku mencoba lebih logis.
Ini aku, Ragil yang tidak suka merumitkan sesuatu. Kurasa ini memang cinta. Tapi rasa yang tumbuh bukan karena sesuatu juga tidak untuk sesuatu.

"Kau masih sama"
Aku melirik wajahnya yang datar itu.

"Dingin, cuek dan.."
"Kau mengenalku sebelumnya?" Potongku dengan cepat. Aku tidak ingin bertele-tele. Bukankah sesuatu yang aneh jika orang yang bahkan belum kukenal bisa langsung menyimpulkan sifatku seenaknya.

"Enam tahun lalu tepatnya. Saya tidak akan kaget jika kau sudah lupa. Pertemuan pertama yang sangat tidak berkesan mana mungkin mudah melekat di ingatanmu"
Aku mengernyitkan dahi, meneliti wajahnya dengan seksama..
Dia terkekeh "Tapi tidak dengan saya kak Ragil. Ingatan itu yang menuntun saya ke sini". Lanjutnya tanpa menatapku sedikit pun.
"Terus terang saja, kamu siapa. Jelaskan secara detail kenangan itu"
Aku sengaja memelankan kata di akhir. Tapi tenang saja, nada bicaraku tetap tenang. Tepatnya berusaha aku tenangkan.
Aku takut sewaktu-waktu debar di denyut jantungku akan berubah jadi getaran di suaraku. Memalukan, wanita ini pernah tahu siapa aku. Lebih memalukan lagi, karena sekarang aku membiarkan wanitaku datang menemuiku. Padahal seharusnya aku sebagai lelaki yang menemui dia.

"Kau masih belum ingat?" Kali ini dia menoleh. Dengan cepat aku mengatupkan bibir yang kupastikan sejak tadi terbuka sedikit.

"Di taman itu, suatu sore setelah hujan deras. .  ."
Aku mencoba menguras ingatan silam sambil melihat ke arah bangku tua yang masih kokoh di area taman yang ditunjukkan oleh dagu mungil wanita ini.
"Enam tahun yang lalu. Ada seorang remaja laki-laki yang melukis di bangku itu. Dia terlihat serius, tapi tiba-tiba..."

Wanita itu mengambil jeda sambil berusaha menahan senyuman.

"Tiba-tiba datang seorang gadis kecil, dengan baju hujan berwarna hijau lumut, tanpa alas kaki, menyuruhku dengan tidak sopannya untuk mengusir cacing di punggung kaki.."

"Dan laki-laki itu malah misuh-misuh tanpa belas kasihan.." Dia melanjutkan..

"Dan gadis itu menarik lengan bajuku dan mengancam akan merusak kanvasku.."

"Dan kau mengambil cacing itu dengan tangan telanjang." Dia menatapku lembut " Makasih kak.."

"Ya, kau tak sempat mengucapkannya kan?!"

Aku melihat dia tertawa lepas.
Subhanallah, indah sekali ciptaan Tuhan berupa wanita. Dan khusus untuk yang satu ini, Tuhan maha hebat.

**
"Cacing...cacing..lepasin cacing di kaki saya."
Seorang gadis yang entah dari mana asalnya tiba-tiba saja berlari ke arahku. Dia bertingkat-jingkat sambil memelas.

Aku hanya menatap sekilas. Tapi dia malah menarik-narik lengan bajuku sambil menunjuk punggung kakinya yang sedang ditongkrongi oleh cacing kecil. Aku yang paling malas diganggu ketika sedang fokus melukis hanya bergumam kesal.

"Tolongiin. Ambil cacingnya. Sekarang...!" Gadis itu bergidik ngeri sambil berlari-lari di tempat.

Aku masih tak acuh, sampai dia mengancam akan merobek lukisan yang baru saja kutulis namaku di pojok bawah bagian kanannya.

Tak ingin berurusan lebih lama lagi dengan gadis ribut itu, langsung saja aku mengambil cacing di punggung kakinya yang belepotan dengan potongan rumput kecil.

Dia bernafas lega dan tanpa ba-bi-bu beranjak pergi setelah melirik sedikit ke lukisan yang belum selesai sepenuhnya. Dia hanya mengangguk  kemudian berlalu tanpa permisi.
**

Wanita itu menahan senyum, sepertinya pikiran kita kali ini sama persis. Aku pun menunduk melakukan hal yang sama ketika ingatan itu mampir dengan sempurna di kepalaku.

Ah, aku hampir lupa bahwa kita telah berdiri hampir tiga puluh menit di sini. Peralatan melukis belum ku siapkan. Aku menyadari bahwa sudah ada beberapa bus yang lewat sejak tadi.

"Kamu nggak pulang?"
"Apa kau mengusir saya kak Ragil?" Selidiknya hampir cemberut.

"Sama sekali tidak, berikan aku alamat tempat tinggalmu, no.hape, atau email yang bisa aku hubungi."
Kali ini aku tak boleh lelolosan. Aku tidak akan membiarkan perasaanku menunggu dalam waktu yang tidak tentu untuk sesuatu yang amat sangat berharga.

"Tidak sekarang kak." Desahnya sambil memutar kepala melongok ke dalam kafe.

Ah, aku hampir lupa. Halfan, mungkin saja dia mencari lelaki  berdarah Malaysia itu.
Malam itu, dia sama sekali tidak mengenalku saat aku bersama Halfan. Apa dia menyembunyikan sesuatu. Apa dia ingin mempermainkanku??

"Meooouung..."
Dia melirik kucingnya sebentar, lalu "Saya harus pergi" ujarnya kemudian berlari kecil ke seberang jalan, ke arah yang berlainan dengan halte bus. Dia hilang di pintu keluar taman yang tak dapat terjangkau oleh mataku.
Bodohnya, aku malah terpaku dengan pikiran konyol. Tanpa mengejarnya.
**

"Jadi namanya?" Davi sudah seperti ibu-ibu yang menanti gosip terbaru. Mangkuk mie kuah yang siap Ia seruput kuahnya tertahan di hadapan mulutny. Matanya melebar menatapku, menunggu jawaban yang sangat enggan untuk kukatakan. Padahal aku hanya menceritakan bahwa aku sudah bertemu lagi dengan wanita itu. Tak ada lebihnya sepeser pun.

Aku menggeleng lesu.

"Maksud lo?"
"Ya gue nggak tahu namanya siapa" Aku mengangkat bahu kemudian beralih ke arah gitar milik Davi yang bertengger di samping toilet. Adikku memang suka sembarangan menempatkan barang. Sekalipun itu adalah benda kesayangannya sendiri.

"Bener-bener payah lo bang! Apa mesti gue yang turun tangan buat nanyain nama tuh cewek."

Aku tak menjawab.

"Bang! Ah greget gue sama lo."
Teriaknya dari pintu dapur.

Aku masih tak merespon. Bukan perihal  yang aku sesali, tapi pertemuannya dengan Halfan.
Ah, sepertinya aku akan gagal untuk tidak merumitkan kisah ini.

" Terkadang cinta merupa jalan, untuk aku menemukanmu, atau malah berbalik meninggalkanmu." --Ragil Quotes
~~~^^^~~~
TO be continue

(n)--26'10'2016

Untukmu...SeluruhkuHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin