Part 2. Shock

11.8K 1K 22
                                    

Suasana Kafe Voloti saat itu masih sangat sepi, belum ada satu makhluk pun terlihat mengisi tempat duduk yang disediakan. Pintunya masih tertutup rapat dengan label closed yang masih terpasang.

Tentu saja tempat itu belum dibuka karena matahari belum lama menampakkan sinarnya. Para pegawai kafe pun belum ada yang datang, masih satu setengah jam lagi sebelum jam delapan, di mana mereka sudah harus tiba untuk mulai bekerja.

Seharusnya lampu-lampu yang berada di luar kafe itu masih menyala karena belum jadwalnya untuk dimatikan. Namun pagi ini nampak berbeda, lampunya sudah dimatikan sekitar hampir satu jam yang lalu. Lahan parkir yang seharusnya masih kosong pun, kini sudah terisi oleh sebuah mobil yang hampir setiap hari berada di sana.

Di keheningan kafe itu, ada satu orang yang tengah sibuk dengan kegiatannya sejak tadi. Di dapur, ada Zita yang sedang mengoleskan frosting ke seluruh permukaan hummingbird cake-nya. Dengan gerakan lihai karena sudah terbiasa berurusan dengan cake, tak sampai lima menit ia menyudahi aktivitas menghiasi kue tersebut agar tampil lebih menarik.

Menegapkan punggung yang sedari tadi menunduk, Zita lalu menatap puas ke hummingbird cake-nya yang telah siap. Segera Zita mengangkat kue tersebut dan menaruhnya hati-hati ke dalam kotak kue yang tadi telah disiapkan.

Hari ini Zita memang sengaja datang pagi-pagi sekali ke kafenya dengan tujuan membuat cake di dapur tempat ini, bukan di dapur rumahnya. Alasannya sederhana, dapur di sini mempunyai segala yang ia butuhkan.

Ia ingin membuat cake kesukaan Dimar sebelum datang ke apartemen lelaki itu untuk bertemu. Kemarin Zita sempat merutuki kebodohannya karena bisa sampai lupa kalau calon suaminya sudah pulang. Terlalu fokus pada naskah membuat ia tidak terlalu memperhatikan sekitar lagi.

Zita rapikan kembali dapur tersebut. Alat-alat yang ia pakai, dicuci. Sebisa mungkin ia tidak meninggalkan jejak.

Setelah beres, perempuan dengan kulit kuning langsat itu melepas celemeknya dan merapikan penampilan sebentar. Setelah itu, ia raih tas beserta kotak kue tersebut dan mulai berjalan meninggalkan kafe.

***

Zita menekan angka tujuh setelah pintu lift tertutup. Di dalam sini, hanya ada dia seorang. Sambil menunggu lift tertarik ke atas, perempuan ini mengetuk-ngetukkan sepatunya. Ia tidak sabar untuk segera menemui Dimar.

Lelaki itu pasti terkejut akan kedatangannya. Zita memang sengaja tidak memberi kabar kalau ia akan datang. Hitung-hitung ini sebagai balasan karena ia yang tidak menjemput Dimar di bandara, dan juga sebagai permohonan maaf akan semua telepon yang tidak diangkatnya. Lelaki itu selalu menelepon di saat yang tidak pas, di saat Zita tengah sibuk-sibuknya.

Tak lama kemudian, pintu lift terbuka. Zita melangkah di lorong yang sepi ini. Setelah sampai di depan pintu apartemen Dimar, Zita segera menekan tombol kode yang sudah dihafalnya.

Zita membuka pintu itu dengan pelan. Diintipnya sedikit ke dalam. Tidak ada tanda-tanda Dimar yang menyadari kedatangannya. Segera Zita melangkah masuk dan kembali menutup pintu itu.

Dengan fokus mata melihat sekeliling ruangan, Zita melepas sepatunya. Namun baru saja hendak melangkah, sepasang benda menarik perhatiannya. Di dekat sepatu yang baru ia lepaskan tadi, terdapat sepasang stiletto merah yang tidak ia kenal. Kening Zita mengerut samar.

Perempuan ini tidak pernah merasa meninggalkan stiletto tersebut di tempat Dimar. Dan kalau boleh ia meluruskan lagi, ia bahkan tidak mempunyai benda itu.

Alas kakinya tidak pernah jauh-jauh dari sandal jepit, sepatu kets, atau alas kaki datar lainnya. Kalaupun terpaksa menggunakan alas kaki yang ada high-nya, Zita lebih memilih menggunakan wedges. Sama sekali ia tidak tertarik untuk menggunakan benda beruncing itu.

Zita bertanya-tanya sendiri siapa pemilik stiletto itu. Dimar tidak memiliki saudara perempuan yang berkemungkinan datang berkunjung.

Tapi ia mencoba berpikir positif. Mungkin saja itu milik rekan Dimar yang kebetulan berkunjung ke sini. Lalu karena kakinya keseleo, terpaksa menggunakan alas kaki lain dan meninggalkan benda itu di sini. Ya, mungkin saja.

Tidak mau ambil pusing lagi dan berpikir untuk menanyakannya langsung saja dengan Dimar, Zita kembali melangkahkan kaki menuju ruang tamu. Belum ditemukannya Dimar.

Zita melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Meletakkan kotak kue beserta tasnya di atas meja ruang tamu, Zita menghela napas. Dimar pasti belum bangun mengingat kondisi apartemennya yang belum dirapikan dan juga gorden yang belum dibuka.

Memutuskan untuk menghampiri Dimar, Zita berjalan menuju kamar lelaki tersebut. Ia tidak langsung membuka pintu di depannya, melainkan mengetuk terlebih dahulu sambil memanggil Dimar.

Karena tidak ada sahutan dari dalam –membuktikan kalau dugaan Zita benar bahwa Dimar masih tidur– maka Zita memutuskan untuk membuka langsung. Ia menggerakkan gagang pintunya, dan terbuka. Kamar ini tidak dikunci. Segera ia buka lebar-lebar pintu tersebut.

"Dimar, aku da–"

Suara Zita tercekat di tenggorokan. Pemandangan yang ada di hadapannya membuat ia mematung. Seketika Zita merasa oksigen di sekitarnya menghilang, membuat dadanya langsung merasakan sesak luar biasa.

Zita belum benar-benar masuk ke kamar itu. Tangannya pun masih memegang gagang pintu. Namun dengan jelas ia bisa melihat apa yang ada di depannya meskipun kamar itu sedikit gelap, hanya menyisakan lampu tidur di kiri kanan ranjang.

Rasanya, Zita tidak ingin mempercayai penglihatannya. Untuk kali ini saja, ia berharap ada yang salah pada matanya. Untuk kali ini saja, biar ia yang melakukan kesalahan.

Namun setelah beberapa menit terdiam di sana, dan pemandangan yang ada di depannya tetap tidak berubah, Zita yakin tidak ada yang salah pada dirinya. Pemandangan yang ada di depannya nyata, bukan delusi maupun angan-angan negatifnya saja.

Di atas ranjang tersebut, dapat Zita lihat dengan jelas siapa yang berbaring di sana. Berada di bawah selimut yang sama, Zita melihat Dimar sedang tidur lelap dengan seorang perempuan di sampingnya.

Zita menghela napas tak percaya. Ditariknya napas dalam-dalam, seolah berusaha memenuhi paru-parunya dengan oksigen sebanyak mungkin.

Dikuatkannya hati agar ia tidak langsung mengambil tindakan ceroboh. Dilepasnya pegangan pada gagang pintu, lalu ia melangkah pelan mendekati ranjang. Sekarang ia bisa menebak dengan pasti punya siapa stiletto merah tadi.

Ia memutari ranjang, ingin benar-benar memastikan kalau lelaki yang sedang tidur dengan membelakanginya itu adalah Dimar. Meskipun kemungkinannya sangat kecil, Zita masih berharap kalau lelaki itu bukan Dimar; bukan seseorang yang seminggu lalu melamarnya.

Pelan, ia melangkahkan kaki mendekat. Dan ketika sampai di depan orang itu, kembali Zita merasakan oksigen di sekitarnya direnggut paksa.

Lelaki yang ada di hadapannya benar-benar Dimar.

Zita menghela napas kasar. Tentu saja orang itu adalah Dimar. Ini adalah kamar Dimar, bagaimana mungkin ada orang lain yang berbaring di ranjang lelaki itu. Terlalu naïf jika ia berharap ada kesalahan di sini.

Zita merasa jantungnya diremas kuat, membuat ia merasa sakit luar biasa. Ia pandangi lekat-lekat wajah Dimar yang tengah tertidur pulas. Wajah lelaki itu benar-benar tenang seolah tanpa dosa, berbanding terbalik dengan tingkahnya yang membuat Zita seolah tak menginjak bumi lagi.

Ia pandangi sekitar, memerhatikan suasana kamar yang berantakan ini. Meskipun dengan pencahayaan yang minim, Zita masih dapat melihat dengan jelas baju-baju yang berserakan di lantai. Menyadari kalau dari pakaian itu ada milik Dimar, membuat ia merasa seperti tiba-tiba dilempar bongkahan batu yang begitu besar. Mengejutkan ... sekaligus menyakitkan.

Hatinya berteriak agar ia segera berlari pergi, meninggalkan tempat terkutuk ini. Tetapi logikanya memaksa untuk tetap tinggal. Dan pada akhirnya, Zita memutuskan untuk tetap tinggal, tidak langsung pergi dengan air mata yang mengalir deras.

Ia menggeleng pelan. Tidak akan ia lakukan hal tersebut. Ia tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum mendapat penjelasan. Tidak akan ia biarkan Dimar membuatnya merasa lebih sakit lagi. Lelaki ini berhutang penjelasan padanya.

***

Voloti (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang