Bab 2

1.1K 119 4
                                    


Sewaktu mereka memasuki Tembok Sina, riuh sorak-sorai dan tepuk tangan penduduk menyambut mereka. Umbul-umbul merah dan insignia Sayap Kebebasan berkibar dari menara-menara intai di sekeliling tembok. Wajah penuh tawa bercampur kekaguman mengelu-elukan mereka tanpa henti.

Mereka adalah pahlawan, tapi, selain Erwin, tidak ada satu pun wajah yang tersenyum di barisan Pasukan Pengintai kala mereka melewati kuntum-kuntum bunga yang dilempar seiring langkah mereka.

Perut Eren bergejolak. Seusai perang, tidak ada tepuk tangan yang menyambut mereka ketika mereka kembali ke markas. Suasana berkabung menyelimuti seluruh kota karena mereka pulang dengan menyeret tubuh-tubuh tidak bernyawa, yang mungkin saja merupakan anak laki-laki dan perempuan penduduk kota itu.

Eren tidak bisa merasa senang bila ia mengingat tatapan kosong Kurt ataupun Stork yang selamat tapi tidak bisa berjalan lagi untuk selamanya. Ia mengerjap, meniru postur Levi di depan. Tegak dan melihat lurus ke tujuan mereka. Peluh turun ke kening Eren. Di sampingnya, ia merasakan Mikasa melakukan hal yang sama.

Tidak lama kemudian, mereka sampai di depan gerbang istana. Seorang laki-laki berusia paruh baya dengan perut yang menandakan ia banyak meminum bir dan sedikit berolahraga berdiri menunggu mereka.

Erwinlah yang pertama turun dari kuda.

"Komandan Erwin Smith, kau terlihat sehat," kata laki-laki itu. Ia maju mendekati Erwin dan menaruh kedua tangannya di pundak Erwin.

"Kanselir Keller." Erwin mengulas senyum.

"Kenalkan aku dengan prajuritmu."

"Tentu saja," kata Erwin. Ia berbalik badan dan memberi sinyal dengan tangan agar mereka semua turun dari kuda.

Eren memanjat turun dari kudanya dan menuntun hewan itu maju untuk berjejer bersama dengan yang lainnya. Ia menggigit bagian dalam pipinya. Tangannya menggenggam erat tali kekang kuda.

"Posturmu," bisik Armin dari samping Eren.

Eren melirik Armin dan melihat teman-temannya telah berdiri tegap. Tinju-tinju mereka terkepal di depan dada dalam posisi memberi hormat. Eren sontak melepas kekang kudanya dan mengikuti.

"Tentu kau sudah kenal Korporal Levi," mulai Erwin. "Di samping Levi adalah anggota Pasukan Khusus, Jean Kirstein."

Erwin dan Keller berjalan melewati mereka satu per satu. Erwin memperkenalkan prajurit yang dibawanya, tersenyum sopan sepanjang waktu. Tidak lama kemudian, mereka sampai di depan Eren yang berdiri di ujung barisan.

"Eren Yeager," kata Erwin.

Eren berusaha untuk diam dalam posisi. Keller mendekati Eren, menggosok-gosok dagunya seakan sedang berpikir.

"Apakah ia—"

Erwin menjatuhkan tangan ke pundak Keller. "Kanselir, bagaimana kabar istrimu? Kudengar beliau sedang mengandung anak kedua?"

"Ah, ya. Kau tahu dari mana?" Keller berpaling ke Erwin.

Erwin tertawa. "Kabar burung."

Mereka mulai berjalan ke pintu masuk gedung, tapi sebelum sepenuhnya melangkah ke ambang pintu, Keller menoleh untuk beberapa detik. Matanya menyipit, tertuju lurus pada Eren.

***

Eren bukan penyuka pesta. Ia terlahir di keluarga yang sehari-harinya hidup dengan sederhana dan besar di barak prajurit. Kemewahan seperti yang ada sekarang, membuatnya merasa salah tingkah dan tidak nyaman. Aula pertemuan di tempat ini sangat berbeda dengan yang mereka miliki di barak. Dua kali lebih besar dan lebih tinggi. Lantai batunya dilapisi karpet berwarna emas. Dinding-dinding dipenuhi motif ukiran ramai yang membuat Eren pusing bila melihatnya terlalu lama.

Ditambah, pandangan yang diterimanya semenjak tamu-tamu lain mendengar namanya disebut sebagai penerima penghargaan. Seakan semuanya berubah hanya dalam sepersekian detik. Wajah-wajah yang sebelumnya menganggapnya tidak ada, yang hanya melihat sesosok anak laki-laki yang mengekor Levi dan Erwin, seketika berubah setelah ia mengenakan lencana tanda hormat di dada. Eren kini menjadi pusat perhatian.

Ada yang berbisik-bisik, ada yang terang-terangan memandang dengan penuh curiga, dan ada pula yang hanya melihat kala mereka yakin Eren tidak sadar. Mustahil ia tidak sadar. Saat seperti ini, instingnya meningkat dan sekujur tubuhnya sadar akan perhatian yang ia dapat.

Keller tidak pernah jauh dari sisi Erwin. Mereka—atau lebih tepatnya Keller seorang— berbincang dengan suara keras. Eren yang berdiri di samping pilar, beberapa meter darinya bisa mendengar semua kata-katanya.

"Tentu saja, jika anak keduaku nanti laki-laki, aku akan menitipkannya di tanganmu, Erwin."

"Saat ia besar, aku pasti sudah renta," kata Erwin dengan suara yang lebih pelan. Eren hanya bisa menebak-nebak apa kata-katanya selanjutnya.

"Kau merendah. Ratu membutuhkan orang-orang sepertimu dan Levi untuk menjaganya." Keller melirik ke arah Eren, lalu menambahkan, "Saat ini kondisi keamanan belum stabil."

Eren tertegun. Ia mengedarkan pandangan ke penjuru aula, dan tersadar bahwa hal aneh yang sedari tadi mengganggu pikirannya adalah ... tidak adanya Historia di sini.

Apakah mungkin, acara resmi yang mengatasnamakan ratu seperti pemberian penghargaan pada pahlawan perang, dilakukan tanpa kehadiran ratu itu sendiri?

Mungkin. Jika dirasa ada ancaman yang membahayakan sang ratu.

Eren merasa mual. Mendadak ia merasa tercekik oleh kerah seragamnya. Ia membuang muka, tidak ingin melihat Keller lagi.

"Eren?" panggil Mikasa. "Kau pucat."

"Ah, ya. Aku tidak pernah cocok dengan acara formal begini," katanya beralasan.

"Apa kau ingin istirahat?"

"Aku ingin ...." Eren mengangkat wajah dan menemukan Levi berjalan ke arahnya dengan wajah kesal. Levi berhenti sejenak di tempat Erwin, membisikkan sesuatu ke telinga Erwin hingga Erwin membungkuk. Lalu, ia berlanjut menapak ke arah Eren.

"Eren, Mikasa, bersiap!"

"Korporal?" Eren bertanya dan mulai bergerak mendekati Levi, tapi Mikasa dengan sigap menangkap lengan Eren. Ia menoleh ke belakang untuk melihat Mikasa.

"Jangan ke sana," kata Mikasa.

Eren mengerutkan dahinya. Apa yang dilewatkan Eren?

"Kita kembali sekarang," ujar Levi yang kini sudah berdiri di hadapan Eren. Di belakangnya, Erwin telah memutuskan pembicaraan dengan Keller dengan sebuah senyum yang pudar seketika ia memunggungi Keller dan melangkah mendekati Eren. Armin dan Jean pun entah sejak kapan sudah kembali mengekor Erwin.

"Kita jalan," kata Erwin.

Eren mengangguk. Ia mengikuti langkah Erwin, dan merasa terganggu dengan Levi, Armin, Mikasa, dan Jean yang mendadak mengerubungi dan menghalangi pandangannya pada sekitar.

"Apa yang terjadi? Acaranya masih jauh dari selesai," tanya Eren pada Levi yang berjalan di sisi kirinya, memepet Eren pada tembok.

"Kita tidak bisa terlalu lama meninggalkan markas," jawab Levi singkat.

Ia tidak menawarkan penjelasan lain walaupun Eren memandanginya dengan penuh tanya.


Bersambung ....

ZEIT || Levi x Eren || Shingeki no KyojinWhere stories live. Discover now