Bab 1

1.4K 128 2
                                    


Titan terakhir jatuh di tangan Levi. Tidak ada lagi Titan yang meneror umat manusia.

Salah.

Masih ada satu Titan yang berjalan di antara manusia. Setidaknya, itulah interpretasi Eren untuk arti dari pandangan yang ia terima dari orang-orang yang ditemuinya di kota. Orang-orang yang menolak untuk bertemu pandang dengan Eren, tapi diam-diam menusuknya dengan bisik-bisik dan pandangan curiga. Eren melihat ke depan, berusaha untuk tidak memedulikan semua itu. Ia melangkah cepat menuju markas Pasukan Pengintai, berkonsentrasi pada denyut di jarinya yang sobek akibat gigitannya sendiri.

"Eren."

Eren menghentikan jalannya dan menengok ke belakang. Levi balik memerhatikannya, lengannya memeluk kantong kertas. "Korporal?"

"Apa itu luka baru?" Levi bertanya tanpa basa-basi, menunjuk pada jari Eren yang terbalut perban. Warna merah segar merembes dari sana. "Mata Empat masih menyuruhmu untuk melakukan eksperimen bodoh?"

"Ah, ya," kata Eren. Ia sadar akan pasang-pasang mata yang kini tertumpu pada Levi dengan penuh kekaguman. Pahlawan mereka. Namun, ia juga tahu bahwa ada banyak yang tidak setuju mengapa Levi, sang penyelamat, harus berinteraksi dengan Eren. "Pemimpin Pasukan sudah mengumumkan kalau yang tadi itu eksperimen terakhir."

"Hmm," Levi menggumam. "Hal yang seharusnya dia lakukan dari dulu."

Eren tersenyum kecut. Ya, tidak peduli berapa kali pun Eren melukai diri, semua itu percuma. Ia sudah tidak mampu menjadi Titan. Akhirnya, Hange percaya bahwa kemampuan regenerasi Eren telah hilang setelah percobaan selama tiga bulan sejak perang berakhir. Kini tubuh Eren penuh dengan balutan perban, luka segar terus bertambah dari eksperimen-eksperimen gila. Tidak ada kesimpulan apa pun yang bisa ditarik, selain Eren yang kini hanya manusia biasa.

Namun, bagi penduduk lain, Eren tetaplah sesosok Titan yang pernah meneror umat manusia. Tidak peduli Eren pernah bertarung bersama melawan Titan lain. Atau pengorbanan yang ia lakukan demi manusia. Semua itu seakan tidak berarti. Ketakutan dan kebencian terhadap Titan yang terpupuk selama seratus tahun tidak bisa dihapus dalam semalam.

"Ayo kembali. Erwin menunggu kita di markas." Levi mencengkeram pundak Eren dan mendorongnya untuk berjalan kembali.

"Eh, er, Komandan Erwin? Beliau ingin bertemu denganku juga?" tanya Eren. Dia terhuyung-huyung, tapi dengan lekas menyesuaikan kakinya untuk melangkah lebih cepat. Levi melepaskan pegangannya dan mengambil posisi di belakang Eren. Eren mengernyit. Levi tidak pernah berjalan di belakang siapa pun. Dia selalu di depan, memimpin, memberi contoh dan memamerkan punggungnya yang tegap. "Korporal?"

"Ya, itu yang dikatakannya kemarin."

"Tapi—"

"Aku membutuhkanmu untuk menyeduh teh ini," kata Levi sembari mengangkat kantong kertas yang dibawanya. "Ini jenis yang langka."

Eren tidak bisa menahan senyumnya. "Baiklah. Sudah lama kita tidak minum teh bersama."

Levi tidak menyahutinya, tapi Eren pun tidak berharap Levi akan mengatakan hal yang romantis. Sudah jelas itu bukan sifat Levi, dan Eren suka akan dirinya yang seperti itu. Eren melintasi jalan setapak menuju markas dengan perasaan yang lebih ringan, bersyukur kehadiran Levi dapat menutupi bisik-bisik dan pandangan tidak enak dari orang sekitar.

Eren hanya butuh Levi. Itu saja.

Mereka memasuki gerbang kayu markas Pasukan Pengintai yang baru, melewati beberapa tentara yang sedang bertugas. Lagi-lagi, wajah-wajah penuh kekaguman mengelilingi Levi. Di mana pun, kapan pun, Levi selalu mengundang kekaguman. Di dalam markas militer sekalipun. Senyum Eren meredup, membayangkan apa yang Levi rasakan saat ini.

ZEIT || Levi x Eren || Shingeki no KyojinWhere stories live. Discover now