Bab 3

1.4K 115 9
                                    


Mereka berkuda selama satu hari dan satu malam untuk kembali ke markas. Levi hanya mengizinkan jeda sejenak setiap beberapa jam untuk makan, mengistirahatkan kuda mereka, dan meregangkan kaki. Tidak ada yang menjelaskan kenapa mereka terburu-buru meninggalkan Trost, tapi Eren bersyukur ia tidak perlu berlama-lama berada di tempat yang membuatnya tidak nyaman.

Kuda-kuda mereka melambat seiring mereka memasuki kota di mana markas Pasukan Pengintai berada. Tanah berganti dengan jalan berlapis batu. Mereka berhati-hati karena jalan utama kota kini dipenuhi kereta yang berisi bahan konstruksi. Di kiri dan kanan, bangunan-bangunan yang hancur karena perang sedang direnovasi. Penduduk sibuk memanjat genteng dan membenarkan tembok. Beberapa toko pun sudah mulai beroperasi kembali. Wangi roti baru matang menguar dari balik pintu toko roti Mr. Schneider yang dibiarkan terbuka.

"Duh, panas. Aku ingin mandi begitu sampai markas," keluh Jean.

"Aku juga," timpal Armin.

Eren tidak menambahkan apa-apa. Ia pun ingin segera mandi. Badannya lengket oleh keringat. Pipi dan tengkuknya terasa perih karena sengatan matahari. Diam-diam, ia melirik Levi yang berjalan tidak begitu jauh di depan. Punggung Levi masih tegak. Tidak ada tanda-tanda lelah. Erwin yang berjajar dengan Levi pun sama, walau berbeda dengan Levi, Erwin terlihat jauh lebih rileks begitu mereka melewati gerbang kota. Ia melambai dan tersenyum pada beberapa orang yang menyapanya.

Eren tidak berani bertemu pandang dengan penduduk kota. Ia bisa membayangkan wajah-wajah yang berpaling dan mata yang menyipit dengan curiga. Walau demikian, perasaan tidak enak yang bersarang di dadanya sejak Eren tiba di ibu kota sudah lepas.

Di depan, Erwin menghentikan kudanya untuk menghindari seorang anak yang tiba-tiba berlari ke jalan. Kuda Eren tersentak karena ia otomatis menarik kekang agar tidak menabrak Erwin. Kedua kaki depan kudanya mengangkat ke udara dan Eren berpegang erat pada tali kekang, menjepit badan kuda dengan kakinya untuk melawan gravitasi. Di sampingnya, tangan Mikasa berusaha meraih leher kuda Eren untuk menenangkannya.

Fokus mereka teralihkan. Tidak ada yang memerhatikan sekitar sampai anak panah pertama mendesing di samping kuping Eren.

Kejadian itu begitu cepat. Eren mendengar namanya dipanggil Levi, lalu dunia seakan berputar. Badan Eren menghempas tanah karena tertubruk sesuatu. Di ujung pikirannya, Eren mengkhawatirkan kudanya. Semoga kudanya tidak jatuh. Ia tidak ingin melihat kuda itu dieksekusi karena kakinya patah, seperti yang terjadi pada kuda Stork. Ia sudah bersama dengan Estell sejak kuda itu melihatnya dengan pandangan meremehkan dari balik istal beberapa tahun lalu.

Eren tidak mau harus kehilangan siapa pun lagi.

Beberapa detik kemudian, suara-suara kembali kepada Eren. Ia mendengar teriakan-teriakan dan suara Erwin yang berseru, "Kejar orang itu!"

Lalu, di sampingnya, suara Armin yang terus menyebut namanya, "Eren, Eren, Eren!"

Eren mengerjap. Ia ingin bangkit, tapi sesuatu menahan badannya.

"Armin," panggil Eren.

"Eren, sebentar." Suara Armin bergetar. Ia mengangkat sesuatu yang menimpa Eren dengan susah payah.

Eren mengerutkan wajah dan duduk. "Armin, apa yang terja—"

Mulut Eren mengatup. Tangannya gemetar ketika meraih Levi. Wajah Levi pucat. Ia dan Armin berlutut. Sebelah tangannya ada di sekeliling pundak Armin. Dan ... dunia Eren menyempit ke mata anak panah yang mencuat dari dada Levi. Darah menodai area di sekitar mata anak panah itu.

"—ren, Eren! Kita harus beranjak. Cari tempat yang terlindungi," kata Armin.

Napas Eren tercekat. Ia mengangkat pandangan pada wajah Armin, tidak mengerti kata-kata yang baru saja keluar dari mulut temannya.

"Bodoh. Dengarkan Arlert. Kau tidak boleh berada di sini." Suara Levi parau dan pelan, membuat perut Eren melintir.

"Tapi, kau, Korporal ... k-kau—"

"Cepat," desis Levi.

Eren tersentak. Ia beringsut ke samping Levi, membantu Armin menopangnya. Mereka berdiri pelan-pelan, tapi tetap saja Levi merintih kesakitan. Jantung Eren berdetak kencang. Ini semua salahnya.

"Kita ke sana saja." Armin menunjuk sebuah lorong sempit yang terbarikade peti-peti buah toko Ms. Sanders. Peti-peti itu akan menghalangi pemanah dari seberang bila memang ada anak panah yang datang untuk mereka lagi.

Eren mengangguk. Mereka menyeret Levi ke sana.

Di dalam lorong, udara lebih dingin karena tidak terkena sinar matahari. Mereka menyenderkan sisi Levi ke tembok bangunan, membiarkannya duduk di tanah. Kepala Eren berputar. Rasa takut dan tidak percaya bercampur.

"A-apa yang terjadi?" tanyanya.

Kini, aman dari ancaman pemanah, pandangan Eren kembali pada mata anak panah yang mencuat dari badan Levi. Tangan Eren mengambang beberapa senti dari benda itu.

"Sebentar," balas Armin. "Eren, tahan." Ia menyambar pergelangan tangan Eren dan menaruhnya di pundak Levi. Eren melakukan seperti yang diperintahkan Armin.

Ekspresi Levi mengendur. Napasnya tersengal-sengal. Ia mengerang kesakitan ketika Armin menyentuh anak panah di punggung Levi.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Eren dengan nada panik. "Kau menyakiti Korporal."

"Aku mematahkan batang anak panah," kata Armin.

"Bocah, takut apa kau. Aku tidak apa-apa," bisik Levi.

"Korporal...." Levi sudah tidak pernah memanggil Eren 'bocah' semenjak ia membuktikan dirinya bisa berguna di medan perang. Mendengar nama panggilan itu di saat ini, ketakutan lebih dari apa pun yang pernah ia rasakan menyergap Eren.

Levi tertawa dengan susah payah. "Kau memang bocah," katanya. Jari-jarinya menyapu pipi Eren yang basah. Kulit Levi sedingin es. Tangan Eren yang sedang bebas kontan bergerak untuk menyentuh tangan Levi.

Levi tersenyum. Ia menyenderkan sisi kepalanya ke tembok dan menutup mata.

"Korporal!" teriak Eren. Panik menyusupi dadanya dan jari-jari Eren meremas tangan Levi.

Levi membuka mata. "Kau berisik ... aku hanya ingin tidur. Bangunkan aku sebentar lagi ...."

Eren menahan napas. Levi kembali menutup matanya.

"Korporal? Korporal!" panggil Eren. Ia menggoyang pundak Levi. "Korporal!"

Tidak ada respons. Ia terus mengguncang bahu Levi sampai Armin menyentuh lengannya. "Eren. Eren," katanya.

Eren menggeleng. "Armin, lakukan sesuatu."

"Eren."

"Armin!" teriak Eren. "Lakukan sesuatu."

Armin tidak menjawabnya. Eren mengedipkan mata dan dari balik kabut yang melapisi pikirannya, ia melihat mata Armin mulai berair. Jantung Eren seperti diremas. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Perutnya bergejolak dan—ia memuntahkan isi perutnya ke tanah.

Eren melepaskan kedua tangannya dari Levi untuk menopang badannya sendiri seraya ia membungkuk. Ia memuntahkan makan siangnya sampai perutnya terasa kosong dan lidahnya kelu oleh rasa asam cairan lambungnya.

Dari ujung lorong, terdengar suara langkah mendekati mereka.

"Arlert?"

Suara Erwin.

"K-komandan."

"Bagaimana dengan Levi?"

Eren tidak mendengar jawaban Armin.

Bersambung .... 

* * *

ZEIT || Levi x Eren || Shingeki no KyojinWhere stories live. Discover now