Chapter 3

437 38 8
                                    

'Krakatau akan mengamuk dan memusnakan peradaban.'


Aku merinding membacanya. Apa ini ramalan bibi Retsih?

Ini aneh.

Tidak biasanya bibi Retsih menaruh ramalannya di sembarang tempat.

Biasanya bibi Retsih menaruh ramalnnya di sebuah kotak kayu lawas. Kotak kayu tersebut tidak dapat dibuka kecuali oleh bibi Retsih sendiri.

Apakah bibi Retsih sengaja menaruh ramalannya disini agar kita bisa membacanya?

Mengingat bibi Retsih membuatku tersenyum kecut. Bibi Retsih baru saja meninggalkan dunia seminggu yang lalu di usianya yang menginjak satu setengah abad.

Bibi Retsih disayangi semua orang. Setiap hari selalu ada warga yang ke rumah kami untuk minta diramal oleh bibi Retsih. Biasanya ramalannya akurat.

Kutaruh kembali ramalan bibi diatas meja kecil.

Sudahlah. Sudah saatnya aku melupakan bibi Retsih. Aku tidak ingin membuat bibi Retsih tidak bahagia disana karena aku tidak merelakan kepergiannya.

-----

Ketiga tentara melemparkan kayu bakar ke kobaran api. Para warga sudah berkumpul mengelilingi api.

kepala suku bersiap-siap membacakan mantra untuk memulai ritual sekong saat lima jantung kelelawar dilemparkan ke kobaran api.

Sebuah terompet dari kerang ditiup oleh warga paling tua disini, kakekku. Bunyi terompet menandakan ritual sekong sudah dimulai.

Kepala suku kemudian memulai membacakan mantra. Aku merasakan getaran dibawah kakiku. Entah kenapa getarannya terasa semakin kuat seiring dengan pembacaan mantra. Getaran ini membuatku susah mempertahankan keseimbanganku. Aku berpegangan pada kakakku agar aku dapat tetap berdiri. Kulihat warga lainnya juga kesusahan untuk berdiri. Ada juga yang histeris karena guncangannya semakin menjadi-jadi dan membuat rumah mereka porak-poranda.

Terdengar suara ledakan yang sangat keras hingga aku lupa bernapas untuk beberapa detik. Tunggu. Apa suara itu tadi nyata? Atau hanya khayalanku saja? Kulihat sekitarku sudah porak-poranda, api yang tadinya besar kini lenyap dan orang-orang ada yang mencoba berlari dan merangkak untuk menyelamatkan diri.

Aku melihat mulut-mulut mereka membuka lebar seperti berteriak. Tetapi aku tidak mendengar suara apa-apa. Aneh sekali! Suasana disini ramai dan kacau tetapi kenapa aku tidak mendengarkan apapun? Apakah sekarang aku tuli? Apa suara ledakan tadi membuatku tuli? Mungkin tadi adalah suara ledakan gunung meletus. Ah! Aku teringat pada ramalan bibi Retsih yang kubaca tadi.

Jadi ramalan bibi Retsih benar? Peradaban kita akan musnah? Sekarang?

TIDAKK! AKU TIDAK MAU! AKU MAU HIDUP ABADI SELAMANYA DISINI!

AAAAAAAHH!!!!!

Aku menggeser badanku ke kanan memghindari pohon yang tumbang tepat disebelahku. Kakak!! Kakakku tertimpa pohon itu! Kutarik tangan kakakku putus asa.

Tiba-tiba punggungku terhantam ombak yang sangat dahsyat. Ombak itu mengombang-ambing dan mennggelamkan badanku. Kuangkat tanganku mencoba menggapai udara. Pedih! Aku tidak bisa membuka mataku!

"TO-"

Argh! Air memasuki mulutku saat aku mencoba meninta tolong. Aku kehabisan udara! Tangan kakiku juga rasanya sudah mau patah karena terus-terusan ditempa ombak. Aku rasakan darah mengucur dari kepalaku saat mayat-mayat yang terombang ambing kesana-kemari menabrakku.

Aku tenggelam semakin dalam bersama dengan mayat-mayat itu.

TOLONG AKU!

Hanya dalam hitungan menit semua yang ada diatas tanah Atlantis musnah. Kuil-kuil yang kokoh, emas dan perak kami yang berlimpah tenggelam bersama dengan ketamakan kami. Musnah sudah harapan kami untuk hidup abadi. Mungkin dewa Akanggi marah melihat ketamakan kami. Atlantis, bangsa yang  besar dan memiliki pengaruh yang kuat di seluruh dunia kini hanya tinggal nama. Tenggelam kedalam lautan terdalam.

-End-





Atlantis RuinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang