Prolog

197 7 5
                                    

Ssssssssshhhhhhhh...

Apa ini..?

Hujan di pagi hari, di awal bulan september. Pas di hari pak budi yang punya kumis jojon itu mengadakan kuis jam 9 pagi pula.

Prakk prakk..

Ban sepedaku kempes dan aku juga lupa mengambil jemuran di luar, bagaimana aku bisa bekerja untuk mengantar koran kalau begini. Aku bisa mengisi angin ban nya selama 10 menit dan mengisi semua koran itu dengan plastik satu-persatu tapi dimana jemuranku. Kenapa dia menghilang dari taman..?. apa ada pencuri yang mengambil semua celana dalam itu dengan gerimis rendah seperti ini..?. Kuambil napas sepanjang yang aku bisa. Kenapa hawa pagi ini seperti sangat kukenal.

"Nata..." panggil seseorang dari ruang dalam.

"Iya, Ma..."
"Iya, Ma..."

Memang ini seperti yang aku rasakan. Deja vu...

Suara seorang anak  tergiang di kepalaku. Kenapa ia menjawab panggilan yang sama denganku. Tak lama memang seseorang bocah menyebrang dari luar pintu kamar berlari ke arah ruang tamu dengan mainan truck di tangan kirinya.

Kakiku melangkah sendiri, walaupun aku ragu akan melihat ini untuk kesekian kalinya.
"Bereskan semua mainanmu ini, lalu sudahi sarapanmu "

Bocah itu menggeleng dengan penuh makanan yang baru disuapi ibuku. Ia lalu berlari menerbangkan truck itu kesana kemari.

Dasar anak bandel

"Nak makannya jangan sambil lari-lari nanti jatuh.."

Bbbrrrraaakkkk

Nata sudah menangkap anak itu, tapi percuma karna ia sudah terjatuh melampaui bayangnya yang berkali-kali dirasakan. Namun masih saja kejadian itu membuatnya gusar dan tidak tega untuk membuatnya berlalu dengan kesalahan.

"Uuuuueeeeee..." anak itu menangis dengan dekapan yang sudah mendarat di pelukan hangat ibuku. Tidak terlontar rasa kesal di benaknya. Ia mengangkat bocah itu dengan perlahan mencoba meluruskan tubuhnya yang sebenarnya rapuh. Mengusap air mata bocah lelaki itu dengan lembut.
"Dimana sakitnya sayang..?"
"Discini ma.." bocah itu menunjuk dahinya yang hanya lebam kecil. Lalu dengan cintanya ibuku mencium kening kecil dan sedikit tertutup debu. Isak tangis pun sirna walaupun masih tersisa desahan napas terkejut yang sulit di tahan.

"Anak Mama harus lebih kuat, luka kecil tidak bisa melukai Nata yang udah jadi.."
"Superman Mama.."
"Anak Mama pinter.." sedikit menggelitik hingga membuat tertawa Mama bisa menghapus semua resah dan lukaku.

Detak jantungku berdebar hebat. Mataku mulai berkaca, sumpah aku ingin pergi dari sini..
"Mama.."

Mataku terbelalak, aku berlari mencoba mencari dinding dan tempat ku berpijak untuk menjauh. Tapi semuanya gelap hanya layar hitam dan setting ruang tamu dengan dua pemeran disana yang sesungguhnya bisa membuatku jatuh dalam masa lalu.

"Kok mama pucat sih ma..?, mama belom minum obat..? " sungguh kepalaku sakit, bocah itu terus meneruskan omongannya yang sama sekali tak ingin kudengar. Ibuku hanya diam, mencoba mengatur kebohongan yang membuatku merasa lebih baik.

"Mama udah minum obat, tapi cuma agak capek aja sayang.." Mama masih tidak melepaskan gendongannya dan menatapku dalam balutan tubuh seorang bocah 8 tahun yang tidak tahu apapun.

"Sayang.."
"Ehm.." ia mengecup keningku lagi dengain air mata berkaca penuh gemerlap ketulusan. Entah kenapa aku ingin memeluk ibuku yang sedang tidak berdaya seperti ini. Untuk tidak mengatakan sesuatu tapi aku masih sibuk memainkan jemariku yang agak sakit akibat terjatuh.

"Jadilah orang yang kuat Nak, berjanjilah pada Mama"
Aku menangis begitu juga Mama yang sudah menangis haru. Sementara bocah itu menatap ibunya yang terisak dengan tatapan polos.
"Berjanjilah pada mama untuk selalu minum obat. Berjanjilah untuk hidup Nak, sampai kau menemukan kebahagiaanmu. Berjuanglah untuk itu"

"Tapi Kebahagiaan Nata, itu Mama"
"Tapi kebahagiaan Nata, itu Mama"
Suaraku lirih berpadu dengan imutnya perkataan bocah yang di peluk dengan tangisan yang tidak tertahankan pecah di pelukan sang anak..

Mama...

Only HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang