Nathan membaringkan tubuh Lexi di sofa bersih miliknya, yang tentu saja akan dipenuhi darah setelahnya. Tapi Nathan sudah tidak peduli, yang dia pentingkan sekarang adalah Lexi.
Nathan mengambil beberapa alat untuk membedah dan barang-barang yang dibutuhkannya. Kemudian dia beralih melihat gadis yang tadi membawa Lexi sedang berdiri di ambang pintu kebingungan.
"Bantu aku dan jangan diam saja disana!" Nathan memerintah.
Dengan cepat gadis itu menghampiri Nathan yang sedang membersihkan darah di tubuh Lexi dan membuka pakaian Lexi untuk mulai mengambil peluru yang tertinggal di tubuhnya.
"Tunggu! Apa yang akan kau lakukan padanya?" gadis itu menyentak tangan Nathan. "Seharusnya itu dilakukan oleh dokter!" gadis itu mulai berteriak lagi.
"Aku seorang dokter, jadi biarkan aku menyelesaikan tugasku atau dia mati." Nathan sekarang membungkam gadis itu.
Gadis itu hanya diam sambil mulai membantu Nathan dengan mengambilkan barang-barang yang dibutuhkannya.
Hampir setengah jam lebih, Nathan menyelesaikan tugasnya. Mengambil peluru yang bersarang di tubuh Lexi sampai menjahit lukanya. Pria itu sekarang sudah mengenakan pakaiannya dan duduk di sofa dengan sisi yang berlawan dengan Lexi. Gadis yang membantunya tadi juga duduk di sampingnya.
"Jadi kau seorang dokter?" tanya gadis itu kemudian.
"Hmmm," gumam Nathan.
"Maaf, hanya saja kau tidak terlihat seperti seorang dokter." Gadis itu menunduk malu. "Ngomong-ngomong namaku Marline."
Nathan hanya diam. Pria itu memang memiliki sifat yang sangat dingin, bahkan dia belum pernah memasukkan siapa pun kedalam rumahnya hingga hari ini. Dan langsung dua orang gadis yang masuk ke dalam rumahnya.
"Bisakah aku tahu namamu?" tanya Marline, gadis itu berusaha mencairkan suasana yang benar-benar canggung.
Lagi-lagi Nathan hanya diam.
"Jika boleh tahu, kau siapanya gadis ini?" tanya Marline lagi.
"Bisakah kau diam untuk sesaat! Kepalaku sakit sekali mendengarmu bicara," ujar Nathan yang tiba-tiba bangkit dari sofa dan pergi meninggalkan Marline menuju kamarnya.
Mata Marline mengekor hingga Nathan masuk ke dalam kamarnya. Rupanya, Marline belum pernah bertemu seseorang yang sangat dingin namun baik hati. Kalau tidak, pria itu mungkin tidak akan membiarkan Marline masuk dan menolong Lexi.
Gadis itu bersandar pada sofa di belakangnya dan membaringkan kepalanya. Sudah beberapa hari belakangan ini, Marline tidak tidur dan tidak mendapatkan mandi dengan layak. Bahkan pakaiannya belum diganti selama tiga hari.
Marline menguap kemudian memandang Lexi sebentar dan menutup matanya.
***
"Cepat masuk ke dalam ruang bawah tanah!" perintah ayahnya.
"Mom, apa yang terjadi?" tanya Lexi dengan kebingungan.
"Dengarkan perintah ayahmu dan jangan keluar! Jika kami tidak selamat kau harus segera pergi lewat pintu rahasia di bawah tanah." Ibunya mengecup kening Lexi sesaat sebelum meninggalkannya.
Lexi menuruti perintah orang tuanya dan menunggu di ruang bawah tanah. Hingga suara tembakan terdengar dari ruangan di atasnya. Lexi segera berlari keluar dan mencari sumber suara tersebut.
Darah berceceran di setiap sudut ruangan. Lexi menutup mulutnya, berusaha agar tidak menjerit. Namun, gadis itu sudah meneteskan air mata. Dia kemudian mengikuti jejak darah yang berakhir menuju ruang dapur. Ibunya sudah tergeletak dengan mata terbuka, terlihat dia sangat kesakitan. Di sisi yang berlainan, Lexi melihat ayahnya yang sudah tersungkur di bawah sambil menatapnya. Ayahnya melototkan matanya pada Lexi untuk mengisyaratkan pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
SPY (Meet Dangerous Man) REVISI
ActionMenjadi seorang mata-mata tidaklah mudah bagi Alexi Bluemoon. Terutama diumurnya yang baru dua puluh tahun. Tapi, memanipulasi dan membunuh adalah sebuah pekerjaan yang harus dia jalanani. Satu-satunya hal yang sulit baginya adalah mendekati mentor...