Nathan mengusap-usap kepalanya sambil menghembuskan napas panjang. Jelas bukan napas kelegaan, melainkan napas penyesalan. Pria itu tidak mengerti kenapa Lexi tiba-tiba marah seperti itu. Baginya, memarahi gadis itu adalah hal biasa dan Lexi biasanya hanya mengangguk-angguk dan tersenyum-senyum saat Nathan memarahinya.
Namun kali ini Lexi jelas tidak dalam kondisi yang baik, mungkin karena itu dia marah. Lagipula, wanita memang memiliki mood yang berubah-ubah dan pria tidak pernah tahu kapan dia akan merasa marah dan tiba-tiba menjadi senang.
"Bolehkah aku menggunakan kamar mandimu?" tanya Marline yang menyadarkan lamunan Nathan.
"Ya," jawab pria itu singkat dan langsung pergi menuju kamarnya lagi. "Dan kau bisa pergi jika sudah selesai," tambahnya sebelum benar-benar menutup pintu kamarnya.
***
Lexi terus menyumpah dan kesal pada dirinya sendiri. Gadis itu masih tidak mengerti kenapa dia marah pada Nathan dan menyianyiakan kesempatan langka untuk berlama-lama di rumah Nathan. Lexi justru membiarkan gadis lain tinggal di rumah Nathan.
"Sial, apa yang harus aku lakukan sekarang!" Lexi menyumpah kesal sambil memukul stir mobilnya.
Gadis itu melirik jam tangannya, jam tangan pemberian Nathan saat dia mendapatkan nilai tertinggi di kelas bertarung. Padahal saat itu, kondisi Lexi sedang kurang sehat. Tapi demi mendapatkan hadiah dari pria yang disukainya, Lexi berani mempertaruhkan semuanya. Gadis itu memang mendapatkan beberapa luka lebam yang hilang dalam waktu dua minggu, tapi semua itu terbayar saat Nathan memberikannya hadiah jam tangan itu.
Baru pukul delapan pagi dan dia belum mendapatkan makanan sejak kemarin. Selama mengintai, gadis itu tidak makan dan terlalu fokus untuk memikirkan makanan. Jadi, dengan cepat gadis itu memebelokkan mobilnya ke arah restoran cepat saji yang buka 24 jam dan menyediakan layanan drive thru. "Pesan dua burger ukuran besar dengan double cheese dan minuman soda berukuran besar," pesan Lexi.
Hanya butuh waktu sekitar lima belas menit hingga pesanannya siap dan gadis itu langsung membayarnya. Suasana hatinya sedang tidak enak sekarang, tapi jika itu urusan perut maka dia akan dengan senang hati melupakan semua hal. Sudah beberapa hari ini dia tidak pergi ke Akademi karena sibuk dengan misinya. Jadi, gadis itu segera melesat menuju Akademi yang mungkin saja bisa membuat suasana hatinya berubah.
Sambil membawa bungkusan sarapan paginya, Lexi membuka pintu utama Akademi. Di dalamnya terdapat ruangan paling depan yang terdapat meja seperti meja receptionist. Seseorang duduk di sana dengan pakaian resminya, sambil mengamati layar televisi di depannya.
"Hai, Brad," sapa Lexi sambil menaruh kedua tangannya di atas meja.
"Oh, hai Lexi. Terlalu pagi untuk latihan? Aku tebak kau terbangun pagi sekali dan merindukanku," goda Brad pada Lexi.
"Kau yang terbaik." Lexi mengulas senyum sambil tertawa.
"Ngomong-ngomong, bagaimana misi pertamamu?"
"Baik, setidaknya ada kemajuan." Gadis itu benar-benar tahu caranya berbohong.
"Bagaimana dengan Mr. Alexander? Ada kemajuan dengannya?" tanya Brad lagi.
Pertanyaan yang membuat Lexi mengingat pria itu. "Aku beritahu, tapi rahasiakan ini ya." Lexi memelankan suaranya padahal tidak ada siapa pun di tempat itu.
"Ya," kata Brad sambil mencondongkan tubuhnya menghadap Lexi.
Brad sudah seperti sahabat bagi gadis itu. Pria itu yang tahu pertama kali bahwa Lexi menyukai mentornya itu. Dan hingga sekarang mereka masih sering bercengkrama dan berbagi cerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
SPY (Meet Dangerous Man) REVISI
ActionMenjadi seorang mata-mata tidaklah mudah bagi Alexi Bluemoon. Terutama diumurnya yang baru dua puluh tahun. Tapi, memanipulasi dan membunuh adalah sebuah pekerjaan yang harus dia jalanani. Satu-satunya hal yang sulit baginya adalah mendekati mentor...