1. Gadis Gunung Fuji

594 23 2
                                    

"Biarkan Bogor dan segala kesibukannya menjadi saksi dimulainya kisah ini."

•••

26 Juli 2005

Bogor, Indonesia
06:45

Cahaya matahari mulai membias masuk, menembus kelambu di kamar bernuansa putih milik seorang gadis kelahiran Bogor. Matanya masih terpejam kendati jarum jam sudah hampir menunjuk angka tujuh. Sadar bila tubuhnya telah tersiram cahaya, kelopak matanya secara reflek membuka secara perlahan.

"Ya Tuhan! Aku telat!" teriak gadis itu. Dalam sekejap, nyawanya terkumpul penuh. Sadar dirinya diambang 'batas kematian', Luna langsung beranjak dari tempat tidurnya dan bergegas mandi meninggalkan buku-buku sastra miliknya yang masih berserakan.

"Naaa! Cepetan!" Suara berat terdengar dari depan pintu gerbang rumah Luna begitu dirinya selesai berkutat dengan gayung dan sebangsanya. Motor Thunder berwarna hitam keluaran terbaru sudah terparkir manis di depan gerbang rumah Luna dengan seorang pemuda yang duduk di jok-nya.

Luna bersyukur, dirinya tidak mempunyai kebiasaan bersolek seperti memulas lipstick, menyapukan perona pipi atau bahkan mencatok rambut seperti kebiasaan gadis-gadis remaja biasanya. Menurutnya, ia malah akan terlihat seperti lenong ketika wajahnya didempul oleh bedak, blush on, dan lipstick. Dan ternyata, di saat-saat genting seperti ini, kebiasaannya itu sungguh bermanfaat; tidak memakan banyak waktu.

Luna berlari menuruni anak tangga demi anak tangga dengan gelagapan, tidak ingin mengulur waktu lebih lama lagi. "Oh iya, novel!" Luna menepuk puncak kepalanya. Ia kembali menaiki tangga demi tangga dengan cepat dan mengambil asal beberapa novel miliknya dan memasukkannya ke dalam tas sekolah berwarna biru toska bergambar Gunung Fuji miliknya.

Diambilnya sepatu hitam pantofel dengan kasar lalu memakai keduanya sekaligus. "Lain kali kalo lo terlambat kayak gini, gue enggak mau nganterin." Marshall memutar kunci motornya, siap melaju.

"Maaf, Shall. Aku ketiduran habis baca novel semalaman," Gadis itu menyelipkan beberapa anak rambut ke belakang telinganya, bersiap menaiki jok motor Marshall. "Apa sih yang menarik dari sebendel kertas yang isinya cuma tulisan? Kok lo sampe betah banget mantengin kayak gitu?" tanya Marshall ditengah perjalanan. Harus diakui, Marshall sangat malas dan paling anti jika harus dihadapkan dengan kumpulan kertas bersampul yang dibendel menjadi satu, yaitu buku. Tapi entah bagaimana, si Luna ini bisa betah semalaman membolak-balikkan lembar demi lembar novel yang isinya mungkin bisa tiga ratus halaman.

"Novel itu bagaikan dunia keduaku, Shall. Baca novel itu seru, kamu bisa ngikutin alur ceritanya, terus kamu bisa perlahan-lahan mengungkap rahasia-rahasia dari setiap tokohnya. Dan yang paling seru itu pas nyari tahu gimana ending-nya." kata Luna. Matanya tidak terlepas dari jalanan kota Bogor yang damai pagi itu.

•••

Jam istirahat yang sangat menyenangkan bagi Luna karena hari ini ia membawa banyak novel yang bisa ia baca untuk menghabiskan waktu istirahat yang menurutnya sangat panjang. Tidak seperti siswa yang lainnya yang memilih untuk berbaur di kantin, dirinya lebih memilih untuk mendekam di perpustakaan sekolah yang sepi dan tentunya sangat cocok sebagai tempat untuk mengembangkan imajinasi.

"Lagi?" Suara bariton yang muncul dari arah rak belakangnya membuat Luna sejenak menoleh untuk melihat sang empunya suara. Luna menarik senyum lebar, "Seru tahu. Nih, coba baca satu." katanya sembari memberikan salah satu novelnya pada pemuda itu. Marshall memandang novel itu tanpa nafsu. Jangankan membaca, melihat rupa novel itu yang sangat tebal saja sudah membuat kepalanya pening.

Moon and MarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang