4. Keberadaan

200 15 1
                                    

"Sebuah perkenalan tidak pernah terlalu menyakitkan untuk selalu diingat. salahkanlah waktu, mengapa dia membuatnya terlalu pahit untuk diulang."

•••

Bogor, Indonesia
14.05

Semilir angin menelisik dari antara jendela warung bambu milik wanita kelahiran Bandung asli yang sekarang tinggal dan menetap di Bogor bersama dengan suami dan kedua anaknya. Bi Cece, wanita berusia kepala lima itu mulai menuangkan bubuk berwarna hitam kecoklatan kedalam gelas kaca dibarengi beberapa sendok gula. Air panas yang baru saja mendidih ia tuangkan dari ketel aluminium miliknya. "Nih, mangga," kata Bi Cece sembari menyodorkan segelas kopi panas kepada sepasang pemuda di depannya ini.

Dengan senyum sumringah, Marshall menyeruput pelan kopi yang masih berasap itu. "Kemarin ada cewek nyamperin gue," cetus Rendi sembari tangannya menggerakkan sendok, mengaduk-aduk kopi panasnya. Marshall menurunkan gelas, menjauh dari bibirnya. "Siapa?" tanyanya dengan alis berkedut. "Enggak tahu namanya." jawab Rendi tanpa mengalihkan fokusnya dari gelas kopi hitam yang mulai dingin itu. Alis Marshall tertarik membentuk lengkungan skeptis.

"Ketemu dimana?" tanya Marshall sembari mencomot bala-bala yang tersaji di depannya. "Di kafe deket alun-alun," jawab Rendi. Sambil mengunyah bala-bala nya, Marshall tetap menyimak cerita Rendi. "Terus dia minta maaf ke gue." sambung Rendi sembari mendekatkan mulut gelas yang berisi kopi hitamnya ke bibir. Alis Marshall menyatu, membentuk kerutan di keningnya. "Kok aneh?" kata Marshall. Rendi mengedikkan bahunya tanda tak tahu. "Minta maafnya atas nama Marshall." kata Rendi. Jika saja Marshall tidak segera menelan bala-bala nya, pasti sudah dipastikan, bala-bala itu bakal nyembur ke muka Rendi.

"Lah, kok gue?!" serunya dengan suara dinaikkan tiga oktaf, menarik perhatian beberapa orang yang sedang nongkrong di Bi Cece. Bukannya minta maaf, Marshall malah menampilkan cengiran tidak bersalah kepada orang-orang yang sedang nongkrong di tempat Bi Cece, yang sempat kaget karena seruannya. Rendi memijit pangkal hidungnya melihat kelakuan pemuda yang duduk di depannya ini. Untung temen, kalau bukan pasti udah gue gibeng, mungkin kira-kira begitu pikiran Rendi.

"Kok bisa gue, sih?" Marshall mengulang pertanyaannya. Tak berniat menjawab pertanyaan Marshall, Rendi mengedikkan bahunya tanda tidak tahu. Marshall menatap pemuda di depannya ini dengan tatapan jengah. Pikirannya mulai menerka-nerka.

•••

Marshall duduk termangu di kursi panjang milik bengkel yang terletak di Jalan Samiaji. Bengkel seluas 10 m × 10 m itu tidak pernah sepi kendati sudah berdiri lebih dari 10 tahun.

Bengkel Kinclong.
Terima ketok magic dan ganti spare-part.

Sudah menjadi kebiasaan Marshall untuk sekedar duduk atau kadang ikut membantu beberapa montir membetulkan motor-motor pelanggannya. Atau juga biasa memodifikasi motor Thunder kesayangannya di bengkel milik keluarganya ini, lagian, siapa juga yang enggak mau dapet modifikasi gratis? Hahaha.

Tahun 1990, Setyo Adipradana, mengadu keberuntungannya dengan mendirikan bengkel kecil-kecilan. Pria yang sekarang sudah menginjak kepala tujuh tersebut masih tetap setia mengurus bengkelnya yang sudah ia besarkan dengan susah payah itu, entah membelikan stok spare-part atau hanya sekadar membantu para montirnya.

"Udah ada disini aja," suara berat yang mulai agak menyerak membuat Marshall mendongakkan kepala untuk melihat sang pemilik suara. Marshall menarik senyum tipis begitu melihat Setyo Adipradana, atau yang akrab dipanggil Eyang Tiyo itu berjalan ke arahnya sembari membawa sepasang ban dalam untuk motor.

Moon and MarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang