5. Dua Sisi

195 11 0
                                    

"Biarkan waktu memutar roda kehidupan, sehingga yang kita perlu lakukan hanya menunggu waktu menunjukkan sedikit mantranya."

•••

Bogor, Indonesia.
08.35

Dan begitu pula, eksistensi seorang Lunarisa Aslan malam itu sungguh menyelamatkan nyawa Marshall, Reza, dan Farhan. Kertas kerja berisi daftar kebutuhan stand sudah dikumpulkan dan diterima dengan antusiasme tinggi oleh panitia. Marshall menghembuskan nafas lega begitu kertas kerjanya dikembalikan dengan serta tanda tangan panitia di pojok kanan bawah kertas tersebut.

Berkat eksistensi Luna malam itu pula, di hari yang panas di Bogor ini, Marshall bisa mendirikan stand kreativitasnya bersama dengan dua orang pemuda menjengkelkan nan aneh, Reza Husain dan Farhan Husen. Mengenai dua orang pemuda yang sekarang ini tengah sibuk menata beberapa properti yang digunakan untuk stand, mereka sama sekali bukan anak kembar. Riwayat keturunan darah pun sama sekali tidak ada kendati wajahnya hampir setengah mirip.

Reza, yang merupakan anak dari pengusaha mebel, sukses membuat derajat Marshall dan Farhan, atau bahkan semua laki-laki di sekolah ini terbanting habis dengan tidak manusiawi. Reza sungguh terberkati karena mendapat garis wajah keturunan Arab dari eyang buyutnya yang merupakan pengusaha juga. Kehidupan prestis yang dijalani Reza sekarang tidak otomatis membuatnya manja dan bergelayut pada kekayaan duniawi orang tuanya. Tampan, rendah hati, dan berduit. Reza sungguh mempunyai segala daya pikat yang diimpikan semua perempuan, namun entah, meskipun banyak perempuan yang sibuk mencari perhatiannya, tidak satupun dari mereka mendapat gubrisan dari Reza.

Hampir disetiap saat, eksistensi Reza selalu dibarengi dengan eksistensi Farhan, yang pada akhirnya membuat mereka berdua selalu dikait-kaitkan. Bertolak belakang dengan Reza dan kehidupan prestisnya, Farhan hanya anak tunggal seorang karyawan swasta dan penjahit rumahan. Tapi dari mereka berdua, Marshall bisa belajar bahwa persahabatan tidak harus berdasar prestis tidaknya kehidupan yang kamu jalani.

Marshall melangkahkan kakinya mendekati gadis yang kini tengah membawa satu kardus berisi properti stand. "Lun, makasih banyak. Lo udah rela-relain begadang buat nulis kertas kerja buat stand kita." kata Marshall sembari terus menyamakan langkah kakinya dengan Luna. Gadis itu merekahkan senyum manis madu. "Itu gunanya sahabat, kan?" balasnya Luna sembari terus berjalan membawa kardus tersebut ke stand. Marshall bergeming sejenak melihat kesibukan tiga orang di hadapannya ini yang dengan cekatan mengatur berbagai properti seperti sudah menjadi makanan sehari-hari.

Luna menghembuskan nafas begitu dirasanya penampilan stand sudah memuaskan. Reza dan Farhan juga menyortir pandangan dari atas hingga bawah stand dengan senyum yang tak luput dari bibir mereka. "Good job, lah." gumam Reza, pandangannya tetap tak beralih dari stand yang didominasi warna merah dan hitam tersebut. "Kalo gitu, aku pergi, ya. Kan stand juga udah rampung." kata Luna sambil melenggang pergi, menjauh, lalu akhirnya ditelan kelokan.

Terik matahari pukul sebelas membias lurus menembus celah dahan pohon mangga di depan stand kreativitas milik Marshall, Reza, dan Farhan. Reza melongos kesal sambil sesekali menyeka keringat yang sedaritadi terjun bebas dari pelipisnya. Farhan pun hanya fokus pada telepon tanpa kabel miliknya sembari terus mengibas-ibaskan tangannya kearah leher untuk mengurangi rasa gerah yang menyeruak.

Moon and MarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang