11. Dibalik Kotak Kertas Kado

117 9 0
                                    

"Jangan pernah paksa cinta untuk datang kepadamu, karena semakin tertekan si cinta itu, semakin dia memberontak, semakin besar luka yang akan dia buat."

•••

Bogor, Indonesia
20.34

Malam di akhir Juli..

Sudah hampir setengah jam Marshall memandangi hingar bingar langit malam yang kini terhampar jelas di depan matanya. Sambil sesekali menggerakkan tangannya di udara seolah sedang menghubungkan bintang. Kalau berhubungan dengan langit malam, kejora bintang, dan dinginnya udara malam, pikirannya secara otomatis langsung terbang menuju satu manusia. Seolah-olah memang dia itu ditakdirkan dengan bulan dan malam. Tanpa disengaja, ujung bibir pemuda itu tertarik membentuk senyum tipis.

"Shall, udah malam. Enggak dicari bunda, kah?" Suara lembut yang menggema dari belakang punggungnya membuat Marshall mengalihkan pandangan. Ia tersenyum. "Kalau Marshall disini dulu enggak apa-apa 'kan, Bu? Masih pingin di sini dulu." katanya. Wanita itu tersenyum lantas memegang lembut pundak Marshall. "Enggak apa-apa. Our home will always open for you. This's yours too, mulai sekarang." kata wanita itu. Marshall menarik senyum hangat.

Pemuda itu kembali menikmati terpaan angin malam yang menimpa wajahnya, sambil ditemani wanita setengah baya yang berdiri memandanginya. "Jangan dilihatin terus, Bu. Marshall nya jadi malu." kata Marshall sekenanya. Wanita itu tersenyum sambil terkikik. "Kamu baik, Shall." katanya. Marshall tersenyum. "Makasih, Bu." jawabnya. Wanita itu kembali tersenyum. Setelah pembicaraan kecil tersebut, wanita itu pamit dan meninggalkan Marshall yang berdiam diri di rooftop. Dengan kesempatan dimana hanya tinggal dirinya yang kini bernaung di bawah pijar rembulan, ia bisa menikmati atmosfer malam sesukanya.

"Hei," Suara perempuan kembali terdeteksi. Ujung bibir perempuan itu samar-samar tertarik membentuk senyum tipis. "Kamu ngapain?" tanyanya. Marshall menerawang langit sebentar, "Lihat langit." jawabnya tanpa mengalihkan pandangan. Perempuan itu mengerutkan dahi, menyiratkan tatapan penuh kebingungan. Seolah bisa membaca perubahan wajah perempuan di sampingnya, Marshall tersenyum. "Aku suka lihat langit. Apalagi kalau malem-malem gini." katanya. Perempuan itu tersenyum lalu mengangguk pelan. "Ternyata... kamu itu penuh warna ya, Shall." cetusnya.

Marshall tersenyum simpul, mengaitkan pandangannya pada mata abu-abu gadis itu. "Aku suka." lanjut gadis itu.

•••

Luna memakukan pandangannya pada layar televisi yang menampilkan acara sitkom favoritnya. Sekali-sekali, tangannya tergerak untuk meraih kacang mede di toples yang tersedia di meja.

Ia mengalihkan pandangan, menengok suasana keluar jendela. Awan kelam sudah menyelimuti langit sejak dua jam yang lalu. Bahkan titik-titik air mulai membasahi kaca jendela luar kamar gadis itu. Luna tersenyum. Kalau begini, Luna semakin bersemangat untuk menjalani ritual 'Minggu Malas'-nya dengan menghabiskan hari bersama televisi dan novel-novel miliknya.

Tak diacuhkannya suara perempuan yang sedari tadi memanggil-manggil namanya dari ambang pintu depan rumah.

"Lun! Buruan kesini! Ini dapet kiriman." seru wanita itu dengan suara seraknya yang khas. Dengan setengah hati, Luna berdiri dan meninggalkan posisi nyamannya dan melaju menuju ke pintu depan rumah.

Luna mendapati dahinya berkerut begitu ia membuka kotak berbalut kertas kado berwarna merah itu. Sebuah buku novel yang masih terbungkus rapi. Di kovernya nampak jelas tertulis nama sang penulis; Ana Nendjana. Namun bukan itu yang menjadi fokus Luna, melainkan secarik kertas yang diselipkan di bawah buku novel tersebut.

Saya denger, kamu pengen banget buku ini. Jadilah saya kirimkan ini buat kamu.

•••

Suatu Sabtu di Agustus...

Suara decitan rem mobil yang lumayan keras membuat kepala gadis yang tersandar di kaca mobil bagian samping itu tersentak kaget. Begitu ditengoknya suasana luar mobil, bibirnya menyunggingkan senyum semringah. Digoncangkannya secara keras bahu pemuda yang masih tertidur pulas di sampingnya. "Shall! Udah sampai!" serunya. Senyumnya masih terkembang mendominasi wajah Arabnya yang khas.

Pemuda tadi menguap, lantas bangun dan merapikan rambutnya yang acak-acakan tidak keruan. "Udah sampai, Shall! Nggak nyangka tempatnya hijau banget!" seru gadis itu lagi. Saat itu juga, pintu mobil dibuka. Hawa sejuk seketika masuk sampai ke mobil, sampai-sampai mereka keluar dari mobil dengan tangan yang sedikit menggigil.

Meski begitu, gadis ini tidak peduli dengan dingin yang menusuk. Ia berlari menuju samping bangunan, dimana dari sisi itu kita bisa langsung menikmati pemandangan kota Bogor yang samar-samar karena tertutup kabut yang turun waktu itu.

"Marshall, Hanna, kalian berdua foto di sini, ya! Buat kenang-kenangan." kata wanita setengah baya yang tak lain tak bukan adalah ibu Hana. Marshall tersenyum mengiyakan. Ia mengambil beberapa jepret foto bersama Hana dengan berbagai macam pose.

Tak berselang lama, beberapa mobil lain ikut memarkirkan diri di halaman rumah itu. Suasana langsung gaduh seketika begitu lautan anak muda yang keluar dari masing-masing mobil, bagai air tumpah.

"Bu Ani. Udah sampai daritadi?" tanya seorang pemudi berumur kisaran 25 tahun-an yang tiba-tiba saja keluar dari rumah tua yang didominasi warna salem kayu itu.

"Eh, belum lama kok, Dek Ayan. Baru aja sampai." balas Ani sambil menyunggingkan senyum. Wanita yang bernama Ayan itu lantas memberi mereka gestur untuk mengikuti dirinya, masuk ke dalam rumah itu.

Begitu masuk, mereka disambut oleh beberapa anak yang duduk manis di lantai. Segaris senyum terkembang di wajah Marshall.

"Adik-adik, kita kedatangan tamu nih, kakak-kakak ini akan ikut belajar sama kita selama dua hari ini." Ayan dengan antusias menyampaikan maksud kedatangan mereka kepada anak-anak itu.

"Kakak-kakak, silakan memperkenalkan diri." pinta Ayan. Sang ketua organisasi, Gian, langsung dengan sigap memulai perkenalan. "Halo, nama saya Gian. Adik-adik bisa panggil saya Mas Gian." katanya. Dan jadipun mereka semua memperkenalkan diri masing-masing.

Hari itu berakhir secara luar biasa. Mereka bisa membangun kedekatan dengan anak-anak itu dengan cepat. Dalam dinginnya hawa Bogor, mereka membuat memori yang hangat bersama anak-anak yatim piatu.

•••

Hamparan rumput hijau yang lapang memenuhi seluruh pandangan Marshall. Ia memeluk lututnya, dingin. Kerlap-kerlip lampu di kota hujan ini seolah menjadi karpet indah yang mampu menerbangkan pikirannya malam ini.

Terbesit satu memori tentang seseorang yang belakangan ini terbeban di pikirannya. Ia lantas mengambil benda kecil yang sedaritadi ia biarkan bernaung di dalam saku celananya. Marshal menekan beberapa tombol untuk membuka kunci benda itu. Dan benar saja, lima puluh lebih pesan masuk yang tengah menunggu dibaca. Ia tidak membuka semua pesan itu-terlalu malas, hanya melihat siapa saja yang mengiriminya pesan.

Matanya terkunci pada satu nama. Luna. Beberapa hari belakangan ia tidak bertemu gadis itu di sekolah. Ia membuka pesan yang dikirim akhir Juli yang lalu.

Luna

Makasih bukunya, Shall! I love it!

Dahinya berkerut bingung. Tapi persetan lah dengan hal itu! Marshall hanya akan membalasnya dengan ucapan selamat dan mungkin akan menanyakan bagaimana kabar gadis itu belakangan ini. (**)

Moon and MarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang