MASA KINI
****
Ivan POV
Hampir tiga bulan aku kembali ke Indonesia, tapi kesibukanku belakangan ini mengurusi perusahaan papih, dan juga beberapa operasi di rumah sakit membuatku belum kepikiran untuk mencari Sisi.
Walaupun jujur, setiap aku kembali dari aktivitas harianku dan saat aku beristirahat di rumah, pikiranku tentangnya menyentak kesadaranku, dan ada kerinduanku yang sangat menggigit tentang keberadaannya.
Walaupun Reandra selalu ada waktu saat aku membutuhkan seseorang untuk berbagi, tapi alam bawah sadarku selalu menyentakku, bahwa bukan Reandra yang aku inginkan kini, tapi perempuan yang sudah pernah berbagi hidup bersamaku selama hampir dua tahun pernikahan kami, minus kepergianku dan menghilangnya dia.
Malam, terkadang jadi sahabat yang paling baik bagiku, saat aku bisa menghabiskan waktu dengan penuh makna, bersama orang yang aku cintai. Tapi tak jarang menjadi musuh paling membuatku benci, karena malam yang seperti ini. Malam dimana aku menghabiskan waktu, menutup hari yang berat bersama masalah yang aku hadapi dan menanti hari esok dengan asa. Bersama malam pula aku merasa kesakitan, ketersiksaan yang hanya aku yang merasakannya. Kerinduan. Kerinduan yang teramat dalam menghujam ke jantungku.
Rindu itu membuatku tak berdaya, ingin menangis sepanjang malam. Merintih menahan sakitnya. Rindu yang tak pernah berujung, tak akan pernah. Merindukannya adalah kebahagiaanku sekaligus penyiksaan untukku. Bahagia aku masih merindukannya, masih punya kasih sayang yang tulus untuknya. Tapi penyiksaan karena aku tak akan pernah bisa melepaskan rindu itu secara nyata, secara gamblang.
Hanya ada dalam bayang semu.
Dan malam, kesunyian mengajarkanku bahwa sepi adalah hidup yang paling abadi, kesepian ini juga juga mengajarkanku untuk selalu membuka goresan masa lalu. Sepi tak kan pernah lenyap dalam ingatanku.
Malam datang kepadaku saat ini membawa kerinduan yang dalam tentang Sisi. Seandainya saja Sisi tahu. Aku memang belum mengetahui keberadaannya dimana saat ini, mungkin jaraknya hanya ratusan kilo, ribuan kilo, satu negara, satu benua atau malah ada di belahan dunia yang lain yang akupun tidak tahu keberadaannya.
****
Senin pagi dihabiskan dengan segala kesibukan di bangsal, baik penanganan operasi yang sifatnya serius dan memerlukan penanganan yang luar biasa maupun dengan operasi kecil.
Karena aku tidak pernah membeda-bedakan macam bedah selama aku mampu menanganinya. Aku ingin membantu semua orang, sesuai dengan tujuan awalku yang lebih memilih menjadi dokter di bandingkan menjadi pengusaha kaya meneruskan perusahaan turun menurun papih, karena aku ingin membantu sesama.
Dan visi inilah yang cocok antara aku dan Sisi, bedanya aku membantunya di dalam rumah sakit besar dengan fasilitas lengkap, sedangkan Sisi lebih memilih membuka klinik kecil disebuah tempat di pinggiran kota, untuk menyalurkan niatnya.
Aku menarik napas berat. Betapa aku merindukan Sisi saat ini.
****
Sisi Pov
Saat malam tiba, yang kulakukan adalah menatap bulan, bila purnama sudah tiba waktunya, sedih, karena kusadar saat ini disini hanya aku sendiri, walaupun aku yakin banyak cinta untukku.
Aku dan dia dalam bayang. Mungkin itulah yang terbaik bagiku, saat hati menjarah pekat. Dan aku terluka.
Gelisah, bimbang dan penat, seolah berlomba memasuki kepingan hati, terpatri didalamnya membentuk luka-luka yang belum juga mau pergi.
Aku mencintainya, cinta yang datang dalam diam, dan bersemi dalam sepi, hingga aku tidak menyadari hadirnya.
Perasaan dalam hati ini tidak akan pernah mampu terwakili oleh kata cinta dan kata sayang. Namun tak pernah aku ingin mengungkapkannya padanya biarkan ini menjadi rahasia hatiku, biarkan perasaan ini tumbuh layaknya bunga yang bermekaran namun tak seorangpun mengetahuinya, biarkan bunga hati ini selalu terjaga keindahan dan kesuciannya. Hingga suatu saat ia datang dengan ketulusan hatinya.
Aku mendesah resah, teringat kehebohan teman-teman di bangsal tadi siang, mereka bersuka cita, karena rumah sakit memutuskan untuk mengundangnya keacara seminar yang akan membahas tentang bedah syaraf (neurosurgeon), yang menjadi keahliannya, karena pimpinan rumah sakit kami sudah ACC untuk mengundangnya datang ke Jerman sekitar enam sampai tujuh bulan lagi.
Aku berharap, semoga sampai waktu itu akhirnya tiba, aku sudah berhasil berdiri di kaki sendiri, tersenyum penuh percaya diri, dan menghindari sebisa mungkin dari intimidasi yang dilakukannya.
****
Ivan POV
Surat permohonan menjadi pembicara seminar di sebuah rumah sakit di Jerman Benua Eropa bagian Utara, sebuah negara yang sudah sangat modern, dan menjadi tempat menuntut ilmu untuk calon-calon dokter yang ingin kuliah diluar negeri, dengan biaya hidup disana yang lebih murah, di bandingkan dengan negara Eropa yang lainnya.
Sebuah undangan yang datang tidak tepat waktu, karena kesibukanku belakangan ini, walaupun masih enam – tujuh bulan lagi, tapi aku merasa tidak memiliki semangat saat membaca undangannya, apalagi ini dilakukan untuk umum, bukan hanya dokter atau calon dokter, tapi juga untuk masyarakat umum, yang ingin mengetahui informasi bedah syaraf.
Aku meletakan undangan itu di meja kerjaku, dan melanjutkan pekerjaanku yang menumpuk, berusaha membuang keresahan itu. Entah apa yang membuatku resah saat ini? Disatu sisi aku merasakan hatiku begitu melonjak-lonjak bahagia mendapat undangan seminar itu, tapi disatu sisi aku merasakan kegetiran yang sangat menyiksa.
Aku mendesah resah, menarik napas berat, menutup dokumen yang sedang aku periksa, berjalan menuju jendela kaca besar yang menampilkan jalanan ramai di bawah sana, yang tampak rumit seperti pikiranku saat ini.
Tadi malam aku bertemu dengan Reandra, dan setelah berbulan-bulan Reandra memintanya, akhirnya tadi malam aku mengabulkan keinginannya untuk segera menikahiku, aku belum menentukan tanggalnya, tapi aku perkirakan sekitar enam sampai tujuh bulan lagi dari sekarang.
Aku belum berani meminta ijin kepada mamih dan papih, karena aku masih terikat pernikahan dengan Sisi, dan juga mamih yang paling gencar menolakku untuk menikahi Reandra, banyak sifat yang bertolak belakang antara Sisi dan Reandra, walaupun aku berusaha menjelaskan bahwa mereka dua orang yang berbeda, tapi bagi mamih Sisi tetap menantu pertama yang terbaik yang ia miliki, dan dengan tegas menolak kehadiran Reandra menjadi istriku, menggantikan Sisi yang sampai saat ini belum aku ketahui keberadaannya.
"Reandra mungkin bisa jadi istri kamu Van, tapi Mamih rasa Reandra tidak mau menjadi menantu Mamih,"
Dan kata-kata mamih itu selalu terngiang di telingaku, entah atas dasar apa mamih selalu menolak Reandra, karena setahuku mamih tidak mengenal Reandra maupun keluarganya secara dekat.
Part 5 udah di update lagi... Alhamdulillah. Mohon maaf bila ada kekurangan, maklum masih belajar menulis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Save The Marriage (Sudah Ada Di Play Store)
Любовные романыPernikahan karena perjodohan ini bukan hanya menyakitinya, tapi juga menyakitiku juga. Tapi kenapa hanya aku yang tersakiti, betapa banyak air mata yang aku jatuhkan, karena pernikahan ini. Dulu aku selalu berharap, bisa hidup berdampingan d...