Part 1

26.2K 1.1K 19
                                    

MASA KINI 1

Saat ingin kusampaikan kau malah pergi, saat ingin kurengkuh kau pergi semakin menjauh

****

IVAN POV

Akhirnya aku menginjakan kakiku kembali ke Indonesia, setelah hampir satu tahun lebih waktuku aku habiskan di San Fransisco Amerika Serikat, untuk memperdalam keahlianku dalam bidang medis spesialisasi bedah syaraf (neurosurgeon) yang hasil penelitianku sekarang diakui dunia, membuatku semakin menjadi orang dengan profesi yang langka di Indonesia, dan di usia yang masih terbilang muda 38 tahun, reputasiku tidak hanya di tingkat nasional, tetapi sudah mendunia. Karena aku pernah menjadi visiting professor di Los Angeles School of Medicine. Prestasi ini sampai saat ini belum bisa disamakan dengan dokter-dokter senior Indonesia lainnya.

Dan bisa dikatakan aku merupakan peneliti terkemuka didunia saat ini dan disegani oleh sejawat, maupun rekan-rekan sesama specialis bedah maupun dokter-dokter terkemuka di Indonesia maupun di dunia. Tapi aku harus tetap rendah hati menjalani semuanya.

Aku menghela napas.

Udara panas menamparku, sesaat setelah aku turun dari pesawat komersil yang aku tumpangi, setelah penerbangan panjang, hampir 30 jam aku berada di udara, turun kedaratan hanya saat transit di Hongkong dan Singapura, hingga akhirnya aku mengganti penerbanganku dari Singapura – Jakarta, menjadi Singapura – Bandung, karena aku tidak sanggup membayangkan harus melalui perjalanan darat Jakarta Bandung, walaupun sekarang sudah melewati jalan tol Purbaleunyi, tapi kelelahan setelah melakukan perjalanan panjang membuatku lelah hanya dengan membayangkannya.

Setelah melepaskan jaket tebal yang menemani perjalanan panjang Amerika – Indonesia aku berjalan menuruni tangga pesawat, mengenakan kacamata hitamku, karena sinar matahari yang menyorot tajam. Sambil menenteng koper sedangku, aku keluar dari bandara, setelah melewati proses imigrasi, menyusuri gerbang kedatangan, dimana banyak wajah-wajah rindu yang hendak menjemput orang-orang yang mereka cintai.

Aku menundukan kepalaku, meraih ponselku dan mengetik sebuah pesan ke nomor itu. Nomor yang selama dua tahun ini tidak pernah aku hubungi, nomor yang selama dua tahun ini tidak pernah aku hubungi.

To be honest, aku sangat merindukannya.

Aku mendesah lelah.

Nomor itu tidak aktif, karena pesanku gagal terkirim, kucoba menghubunginya lagi, dan hanya voice mail yang menjawab teleponku.

Shit. Aku mengutuk kebodohanku sendiri, bisa jadi ia sudah mengganti nomor ponselnya, sama sepertiku. Atau mungkin handphonenya sedang lowbat dan si empunya ponsel tidak menyadarinya, sama seperti yang dilakukannya selama kami hidup bersama selama dua tahun.

Aku mendesah resah, aku merindukannya, sangat merindukan dirinya, merindukan rengekannya, omelannya, juga kecewetannya saat mengingatkanku tentang sesuatu. Senyumnya yang tulus, wajahnya yang bulat sempurna yang selalu membuatku kangen untuk menciuminya.

Dan bila ada yang bertanya kepadaku saat ini, apakah aku mencintainya? Maka kemungkinan besar aku akan mempertimbangkan untuk berusaha mencintainya, seperti ia yang berusaha mencintaiku.

Sesaat aku tersenyum membayangkan wajahnya saat sedang mengomeliku, bila aku melakukan kesalahan apapun yang tidak sejalan dengan kebiasaannya atau saat aku teledor melakukan sesuatu, wajahnya akan tampak menggemaskan, dan tanpa sadar aku tersenyum pahit, aku sangat merindukan untuk memeluk tubuh wanita itu dan menghirup aroma tubuhnya yang memabukan.

Aku kembali menarik napas berat.

Selama satu tahun ini aku selalu mencoba menjalin komunikasi dengannya, melalui surel, tapi selama itu kiriman surelku tidak pernah dibalasnya, dan aku juga tidak tahu apakah wanita itu sempat membacanya atau tidak, dan aku harus mencari tahu tentang itu, padahal setiap bulan selama ini, aku selalu menyempatkan diri untuk menulisnya, walaupun kebanyakan isinya hanya sampah basa basi yang tidak penting.

Kesal menyadari hal itu, kembali aku memasukan ponselku ke saku jaketku, dan pandanganku kuedarkan mencari keberadaan Damian asistenku sekaligus orang kepercayaanku yang selama ini mengurus perusahaanku saat kurang lebih satu tahun lebih ini aku berada di belahan dunia yang lain.

"Hai Boss..." sebuah suara singgah digendang telingaku.

Aku membalikan kepalaku mencari pemilik suara itu. Setelah menemukannya, aku menunjuknya dengan kesal, "kamu telat..."

Damian tertawa menyebalkan, "sorry Boss, jalan menuju bandara jam segini memang macet." Elaknya, tersenyum tanpa rasa bersalah.

Aku mendengus, dan setelah mengambil koperku, Damian menggiringku menuju mobil yang dikendarai oleh Pak Ujang sopir perusahaanku, mobil yang terletak tidak jauh dari tempatku berdiri tadi.

Damian membuka pintu belakang mobil, dan membiarkanku masuk, dan setelah menutup pintu, ia memasukan koperku ke bagasi, dan setelah itu ia masuk ke mobil dan duduk di samping Pak Ujang.

"Langsung ke rumah atau kemana Boss?"

Aku menatap Damian lama, "kamu sudah mendapatkan apartemen yang aku minta?"

Damian menganggukan kepalanya.

"Langsung ke apartemen saja, aku ingin istirahat dulu sebelum memulai tugasku di rumah sakit." Jelasku.

Damian kembali menganggukan kepalanya mengerti. "Tapi belum saya isi apapun Boss kecuali air putih, rencananya nanti sore saya akan mengirimkan ART yang Anda minta sekalian dengan belanja kebutuhan Anda." Tanpa menjawab aku hanya menganggukan kepalaku.

Terjadi keheningan lama.

"Ngomong-ngomong rumah aku dan Sisi, kamu masih minta orang untuk membersihkannya kan?" tanyaku sambil menatapnya.

"Masih Boss, seminggu 3 kali ada orang yang datang untuk membersihkanya," jawab Damian.

"Kamu pastikan semua yang ada di rumah itu terawat dengan baik, karena aku merasa aku dan Sisi akan kembali ke rumah itu," jelasku.

Damian tampak tersenyum menggodaku. "Siap Boss, apa yang Anda perintahkan akan saya jalankan dengan baik," jawabnya kemudian.

Yang aku lakukan hanya menganggukan kepalaku, dan melihat berita online di smartphoneku.

"Kamu tahu, Sisi sekarang berada dimana?" tanyaku tiba-tiba, mataku masih focus melihat berita yang tersaji dilayar smartphone.

Damian tampaknya terkejut dengan pertanyaanku itu. "Saya belum mencari tahu lagi Boss, saya sudah berusaha mencarinya, tapi selama satu tahun ini saya kehilangan jejak, karena istri Anda menghilang tanpa ada yang tahu keberadaannya, begitupun dengan mertua Anda, mereka juga sama tidak mengetahui keberadaan istri Anda."

Mendengar penjelasan Damian, aku hanya mendesah resah, mengenang kembali konflik yang terjadi sebelum akhirnya pernikahan kami menjadi abu-abu seperti sekarang ini. "Tolong kamu cari tahu dimana ia berada saat ini!" perintahku. Selanjutnya aku membuang muka menatap keluar jendela.

Resah, rindu, khawatir dengan keberadaan Sisi saat ini yang belum diketahui, dan berbagai perasaan campur aduk yang dirasakan olehku saat ini.

Walaupun hubunganku dengan Reandra semakin erat belakangan ini, tapi aku masih tetap merasa kurang karena Sisi tidak ada disampingku, padahal selama ini yang aku lakukan kepada Sisi hanya menyakitinya, tanpa pernah menunjukan sisi terbaikku di hadapannya, dan malah menunjukan sisi terburuknya. Aku belum pernah menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab untuknya, tapi aku selalu saja menyakiti perasaannya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan sekarang aku sangat menyesalinya perbuatanku itu.

Di tunggu vote dan komentnya ya...  😂

Save The Marriage (Sudah Ada Di Play Store)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang