Part 6

307 26 12
                                    

Tidak terasa, sudah hampir satu minggu aku tinggal bersama keluarga baruku. Bersama mom, dad (Edward), dan Greyson-adik baruku. Syukurlah, sekarang Greyson sudah bisa menerima mom sebagai ibu barunya. Tapi tetap saja, Greyson tidak berubah, tetap menjadi adik yang menyebalkan bagiku.

Dan satu lagi, aku juga sudah seminggu bertetangga bersama Leader SO Sialan itu. Siapa lagi kalau bukan Justin Bieber. Menjadi tetangganya selama satu minggu, bukan berarti hubunganku bersama Justin menjadi baik. Tetap saja dia itu menyebalkan, suka mengejekku, sok berkuasa. Terkadang malah Greyson dan Justin kompak bersama-sama mengerjaiku.

Hari ini adalah hari senin, aku harus kembali ke sekolah setelah satu hari libur. Jika aku harus mengikuti kata hatiku, sebenarnya aku sangat malas ke sekolah. Salah satu alasannya adalah karena harus bertemu dengan Justin. Memang sih, hampir setiap hari aku bertemu Justin. Tapi bertemu dengannya di sekolah dengan di rumah itu berbeda. Tingkahnya di sekolah sangat-sangat-sangat menyebalkan. 10 kali lipat menyebalkan daripada sikapnya di rumah. Di sekolah dia berlagak elegan, sok berkuasa. Cuih. Tapi aku tidak boleh malas, bagaimanapun juga, dari dulu aku begitu mengincar bersekolah di Brooklyn, bukan?

 "Dad, aku siap!" teriakku dari lantai satu setelah menghabiskan sarapanku. Yah, sejak saat itu, Dad selalu mengantarkan aku ke sekolah sebelum berangkat ke kantor. Aku sangat senang memiliki ayah seperti Edward.

"Jane?" tiba-tiba mom menuruni anak tangga dan menghampiriku. "Kau sudah siap ke sekolah, sayang?"

"Iya mom. Dimana dad?" tanyaku.

"Dad, dia sudah berangkat duluan, sayang."

"Mengapa begitu? Jadi... aku bersekolah dengan siapa?"

"Oh iya, aku lupa memberitahumu. Dad sudah naik jabatan, honey, jadi mulai dari sekarang dia harus bisa datang lebih pagi, mengurus perusahaan dan mempersiapkan proyek baru perusahannya. Dan jangan khawatir, Dad sudah berbicara pada Justin untuk bisa mengantarmu setiap pagi,"

"Ap-apa?! Bersama Justin? Pergi sekolah?" aku hampir memuntahkan isi sarapanku mendengar hal itu. Hell no! Aku tidak mau pergi bersama lelaki itu!

"Iya, kenapa? Kita bertetangga dan Justin juga bersekolah di sekolah yang sama denganmu, lagipula, Justin sepertinya tidak keberatan."

"Arrgh, aku tidak mau, mom! Dia itu menyebalkan!" seruku. "Tidak usah repot-repot, biarkan aku naik bus saja."

"Jane, kau jangan seperti anak kecil. Naik bus? Bus itu lama sayang, kau bisa telat."

TEET TEEET, belum sempat aku buka suara, terdengar bunyi klakson dari luar. "Nah, itu Justin. Ayo cepat keluar." Mom menarik tanganku. Aku mendesah panjang.

Bugatti hitam sudah terparkir di depan halaman rumah dan benar itu Justin. Aku berjalan ke arah kendaraan itu dengan malas-malasan, lalu memandang Justin yang sudah duduk di bangku supir dengan raut muka yang begitu datar.

"Justin, saya titip Jane, ya." mom berucap di belakangku.

"Oh, baiklah tante." jawab Justin semangat. Ah, paling itu cuma pura-pura. Detik berikutnya, aku memasuki mobil itu dan duduk di sebelah Justin, dan beberapa detik kemudian, Justin mulai melajukan mobilnya.

"Kalau bukan karena Om Edward, aku tidak mau pergi sekolah bersamamu, apalagi membiarkanmu duduk di mobilku." tutur Justin dengan tatapan mengarah ke jalanan kota.

"Heh, kau pikir aku setuju dengan ini semua? Hell, NO! Lebih baik aku jalan kaki daripada pergi bersamamu. Tapi karena mom memaksa, aku menurut saja. Aku tidak ingin jadi anak durhaka, kau tau?!"

"Jadi, menurutmu lebih baik jalan kaki ke sekolah daripada pergi bersamaku?" ujar Justin.

Aku mengerjap dan.... tunggu? Apa dia bermaksud ingin menurunkanku dan membiarkan aku jalan kaki?

"Jane? Kenapa diam? Kalau begitu menurutmu.........." Justin meminggirkan mobilnya dan berhenti di pinggir jalan "...turunlah, bukannya lebih baik jalan kaki daripada bersamaku?"

Errrghh pria ini....

SKIP

"Sedikit lagi.... sedikit lagi...!!" aku menyemangati diriku sendiri ketika gedung Brooklyn sudah mulai terlihat. Justin keterlaluan sekali! Dia benar-benar menurunkanku di pinggir jalan dan membiarkan aku berjalan ke arah sekolah! Awas saja dia.

Aku melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, sudah hampir setengah delapan. God's sake, aku telat setengah jam!

Pagar Brooklyn terlihat terbuka dengan lebar. Ini kesempatan bagus! Aku langsung masuk ke dalam dan berlari ke arah gedung, segera menaiki anak tangga dan memasuki kelas II-D.

"Maaf, aku terlambat." seruku dengan napas yang tersengal-sengal. Semua orang tampak kaget melihatku, oh pasti penampilanku sangat berantakan kali ini.

"Jannetha? Kau terlambat 30 menit....." ujar Mr. Nina, guru bahasa inggris.

"Maafkan aku Mrs... ini semua gara-gara.."

"Kau harus lebih disiplin, Jane. Sebagai hukuman, kau harus membersihkan toilet lantai satu hingga lantai lima. Sekarang!"

Aku melotot mendengarnya, apa? Dengan keadaanku yang hampir mati begini, tiba-tiba harus membersihkan toilet dari lantai 1 - 5? Demi Tuhan, aku bisa mati hari ini.

***

Aku masih duduk bersandar di salah satu pintu toilet dengan tangan kiri memegang dada dan tangan kanan memegang sebuah pel. Sedari tadi aku sibuk mengatur napasku yang tersengal-sengal. Sungguh, aku tidak boleh lelah.

Aku memejamkan mataku sejenak, lalu menarik napas panjang dan mengembuskannya kembali. Dengan sekuat tenaga aku menegakkan tubuhku.

Semangat Jane! Satu toilet lagi dan tugasmu selesai.

Aku mengepel toilet itu dan mulai membersihkan noda-noda dan kotoran. Setelah semuanya bersih dan wangi, aku pun segera keluar dari tempat itu dan kembali ke kelas.

"Kau sudah selesai, Jane?" Katherine menegurku. Aku mengangguk lesu. "Astaga, kau keringat dingin ya? Pasti melelahkan." komentarnya. "Kau belum cerita, bagaimana bisa kau datang terlambat hari ini?"

"Itu hal yang tidak penting untuk ku ceritakan, Kath," balasku. "Ayo kita gani baju. Bukankah setelah ini kita pelajaran olahraga?"

"Oh, iya."

***AUTHOR'S POV***

Lapangan olahraga Brooklyn kali itu di dominasi oleh anak kelas II-D yang sedang bermain voli. Tapi Jane tampaknya terlalu lemah untuk bermain, dia masih terlalu lelah.

"Jane, kau tidak bermain?" tanya Katherine.

"Sepertinya tidak. Guru juga tidak ada kan?"

"Ah iya, kau pasti lelah sekali. Yasudah, kau duduk saja disini ya." ucap Katherine dan mulai meninggalkan lapangan.

Ini kedua kalinya Jane tidak mengikuti jam pelajaran olahraga. Yang pertama renang dan yang kedua voli. Padahal Jane sangat menguasai voli.

Jane merasa kepalanya berputar dan ia pusing. Ia berusaha memanggil nama Katherine, tapi sepertinya gadis itu tidak mendengar. Dengan segenap tenaganya, Jane berusaha berdiri dan berjalan ke arah UKS. Lalu ia melewati lapangan basket, di lapangan basket itu terdapat beberapa senior kelas III sedang bermain. Jane tidak tahu siapa-siapa yang sedang berada di lapangan itu, ia juga tidak peduli.

"Justin! Tangkap ini!" Chaz melempar bola basket itu ke arah Justin. Justin menangkapnya dengan sempurna, kemudian ia mencoba melakukan gerakan lay up, tapi lemparannya meleset dan....

"Aduh!!!!" lemparan itu mengenai seseorang. Mata Justin membulat ketika menyadari seseorang itu adalah perempuan, dan perempuan itu adalah Jane.

"Hei Jane! Kembali kan bolanya!" teriak Justin.

Lalu dengan perlahan Jane berbalik, dan mata Justin kembali melebar melihat darah segar mengucur dari kedua lubang hidung Jane. Astaga kenapa gadis itu? Dan sedetik berikutnya, gadis itu pingsan. Semua teman-temannya tampak heboh dan berlari ke arah gadis itu. Termasuk Justin.

"Bawa ia ke UKS, sekarang." perintah Justin. Dan orang-orang sekelilingnya segera mengangguk dan membondong Jane ke UKS.

DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang