CHAPTER 4 - Starting the Journey

232 12 9
                                    


Pria itu bertubuh tinggi, coat hitam dan topi yang dikenakannya membuat penampilannya terkesan misterius dan berbahaya. Di balik ujung topinya, aku merasa dia juga tengah memperhatikanku.

Perlahan, pria itu menurunkan topi. Senyum tipisnya membayang walau tidak terlalu jelas, dan satu yang kusadari. Tatapan pria itu sepenuhnya berfokus kepadaku.

"Mr. Gavin Phelan, perkenalkan, ini istriku, Amelia dan putriku, April..."

Gavin menundukkan tubuhnya sebagai lambang rasa hormat, dan caranya membungkukkan tubuh itu terlihat begitu mulus dan elegan seolah-olah dia terlahir untuk itu –Oh, tentu saja tidak.

"Senang bisa bertemu dengan Anda sekalian, Mrs. dan Miss Towlson." Dia bergantian mengecup punggung tanganku dan Ibu. Bisa kulihat Ibu cukup terpukau dengan keahlian pria Phelan ini dalam menghadapi wanita.

"Kuharap Anda tidak keberatan untuk menginap di rumah kami yang terlalu sederhana ini, Mr. Phelan." Ibu mulai berbasa-basi. Bisa-bisanya Ibu berkata seperti itu. Menurutku rumah ini lebih dari sederhana. Seluruh perabotannya dipilih sendiri oleh Ibu yang menyukai gaya Mediterania sehingga sebagian besar perabotan berwarna putih. Lampu gantung mewah bergelayut indah di ruang tamu, menambahkan kesan klasik pada rumah ini dan untuk menambah kesan romantis, Ibu menyusun lilin berwarna merah di atas kabinet.

Akhirnya senyum tulus tercetak jelas di wajah maskulin itu. "Anda tidak bisa mendeskripsikan rumah seindah ini dengan sederhana, Mrs. Towlson."

"Oh, ya, kami beruntung karena memiliki arsitek handal di dalam rumah." Mata Ayah tampak sedang mencari-cari. "Di mana Marc?"

"Kurasa sebentar lagi jatah makan malam kita akan berakhir di perut besarnya," gumamku pada Ibu yang langsung tertawa.

"Baiklah Gentlemen, mari masuk dan selamatkan makanan kita masing-masing," ajak Ibu sambil menyunggingkan senyum jenaka. Aku senang sekali melihat tingkah Ibu yang seperti ini, setiap kali bersama Ayah mereka seolah-olah melupakan usia mereka yang tentu saja tidak bisa dikatakan muda.

Ayah dan Ibu berjalan lebih dulu, sementara Gavin dan aku berjalan di belakang mereka.

"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya. Sorot matanya tampak serius, dan mata cokelat gelap itu memperhatikanku dengan cara yang orang lain tak pernah lakukan sebelumnya.

"Baik..." jawabku cukup kebingungan. Cepat-cepat aku mengalihkan wajah dari Gavin yang benar-benar... entahlah. Kurasa dibandingkan bekerja bersama Ayah mengurusi nuklir, dia lebih cocok berada di depan televisi. Dengan tubuh dan wajahnya yang rupawan itu dia tentu saja dengan mudah dapat menarik perhatian seluruh orang.

Begitu kami berempat tiba di dapur, perhatianku beralih pada meja makan. Steak untukku yang dibuat Ibu hanya bersisa setengah.

Kuperlebar langkahku dengan napas memburu dan tanpa basa basi aku menghujani pukulan yang kuharap sangat mematikan kepada Marc –atau paling tidak bisa memberinya pelajaran.

"Dasar pencuri! Setengah steak-ku lenyap begitu saja! Sudah kuduga ada hal yang tidak beres karena tidak terdengar suara apa pun darimu!"

Marc terbahak. "Adikku sayang, kalau itu yang kau inginkan, aku bisa mengembalikannya besok pagi... dengan bentuk yang berbeda."

Ayah berdeham mencoba menyadarkan Marc yang mulai berbicara tidak senonoh. Dengan tatapannya yang tajam, Ayah memperingatkan Marc dan tampaknya Marc baru sadar kalau ada orang asing di ruang makan.

"Marc, ini Mr. Gavin Phelan, rekan kerjaku dan, Mr. Gavin, maaf karena membuatmu mendengarkan ocehan aneh putraku ini," ucap Ayah dengan wajah bersalah.

LOST [ DISCONTINUED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang