Malam ini aku ingin bertemu denganmu. Kau menggunakan gaun merah yang terbuka di bagian dada. Sepatu merah-putihmu sangat indah, walaupun aku tahu sepatu itu adalah sepatu yang dipercikkan darah ayam.
Rosette berdansa dengan Allesio malam itu di lantai dansa. Mereka adalah sepasang kekasih. Mereka sepertinya asyik menikmati malam itu. Alunan piano membuat mereka seakan-akan menggila, dan permainan biola “The Red Shoes” membuat mereka semakin bergairah. Allesio menggunakan sepatu merah yang terkesan seksi.
Malam itu menjadi malam berdarah, sejak Rosette masuk ke ruang pemotongan daging untuk membantu Rina yang kesulitan memotong daging (ruang pemotongan daging itu ada kacanya yang dapat terlihat dari ruang dansa) dan mengambil sebuah pisau daging dan tidak sengaja memotong jari Rina tetapi tidak sampai patah saat mau memotong daging (tangan Rina sejajar dengan piring berisi daging kambing yang mau dimakan Rosette), pelayan bar yang sebelumnya berdansa dengan Allesio. Rina tidak mati, ia sangat tegar, membawa dirinya ke rumah sakit dan dia diantar oleh Allesio, dengan jari yang terpotong sekitar 40% itu ditutupi kain kasa steril.
Tetapi tetap saja menyisakan darah. Banyak darah di lantai yang digunakan untuk mewarnai sepatu Rosette. Rosette merasa marah, cemburu dan sedih. Ia mengambil darah itu dan memercikannya pada rambutnya.
Kecemburuan ini membuat hati Rosette gundah dan linglung. Seakan-akan malam berdarah ini malam terburuknya dengan Allesio. Ia tidak sengaja memotong jari seseorang dan dua hari kemudian ia pergi ke diskotik “Love Boy”.
“Mau vodka?” tanya bartender tersebut.
“Ya, 2 botol…” kata Rosette.
“Sepertinya masalahmu sangat berat, sampai pesan dua botol. Sebenarnya, darah apa yang ada di tanganmu?” tanya bartender tersebut. Rosette hanya terdiam, takut ketahuan polisi.
“Hey, ini kan jari yang kamu potong itu???” tanya bartender tersebut yang ternyata Rina sambil menunjukkan jarinya yang sudah tersambung kembali hanya saja terbungkus kain kasa. Rosette diam seribu bahasa, dan menangis.
“Jariku tersambung berkat Allesio. Dia dokter dan kekasih yang baik… Lagipula tidak sampai patah kok.” kata bartender itu.
“Jangan banyak omong lu!!! Allesio itu pacarku!!!” kata Rosette. Tetapi yang Rina maksud “kekasih” adalah orang yang terkasih, orang yang disayangi, bukanlah pacar. Rosette marah, dan segera meminum vodka langsung dari botolnya. Ia pun memukulkan botol ke badan Rina berkali-kali. Tetapi, karena Rina juga bodyguard terlatih, ia dapat menghindarinya dengan mudah.
“Allesio hanya merayu dirimu, jangan mau dirayu oleh Allesio untuk kedua kalinya. Ia menyatakan cinta padaku, namun kutolak… Kamu mabuk…” kata Rina sambil menunjukkan telpon genggamnya.
From: Allesio
Aku hanya menganggap Rosette sebagai objek kecantikan semata. Aku tidak mencintainya. Aku tidak mencintai seorang wanita pun kecuali ibuku.
HP Rosette pun berbunyi. Saat diangkat, Allesio minta putus. Rosette merasa sedih dan meminta maaf pada Rina tentang insiden pemotongan jari dua hari yang lalu. Rina memaafkannya karena itu insiden tidak sengaja.
“Tidak apa-apa. Lagipula ini juga salahku, merebut pacarmu. Aku juga minta maaf,” kata Rina. Kemudian Rina dan Rosette pun berpelukan. Mereka mengira masalahnya belum selesai. Tetapi ternyata masalah membesar.
2 hari kemudian, mereka dikabari bahwa Allesio menghilang karena kasus penggelapan uang. Mereka kaget, dan memutuskan untuk jalan-jalan di mall saja untuk menghilangkan rasa jenuh mereka. Oh la la, mereka menemukan seseorang yang sangat mirip Allesio hanya saja ia menggunakan anting-anting warna ungu.
“Number Nine, kamu sudah siap?” tanya pria tersebut saat bertelepon dengan orang lain.
“Ya, number Six! Jangan sampai keberadaanku ketahuan!” kata pria yang ditelepon pria beranting-anting tersebut. Rosette curiga, dan menanyakan apa keperluan pria tersebut sampai pakai kalimat “keberadaan ketahuan” di telepon.
Sesaat kemudian, satpam Mall tersebut menangkap pria yang bertelepon tersebut. Satpam itu segera berbicara pada orang tersebut, “Hey Allesio! Mau kabur! Kamu masuk DPO* bodoh!!!” sambil memborgol kedua tangan Allesio. Allesio berusaha melawan, tetapi satpam itu jauh lebih kuat.
“Wah memang benar Allesio itu. Hih…” kata Rina
“Kok kita sampai bertengkar gara-gara buronan itu ya?” tanya Rosette kepada Rina. Mereka hanya tertawa dan mengikuti Allesio ke kantor polisi terdekat.
Kantor Polisi
“Kalian kenalannya Allesio, ya?” tanya polisi wanita tersebut.
“Ya, kami mantan pacarnya,” kata Rina polos. Polisi wanita itu kagum, karena jarang-jarang orang yang punya mantan pacar sama akur.
“Kalian tahu kan, kenapa Allesio disini?”
Rosette menyahut, “Karena penggelapan uang, lah? Terus apa lagi?”
Rina pun berbisik pada Rosette, “Kabarnya ia melakukan pembunuhan berantai terus mayatnya buat studi kedokterannya… Mayat gituan kan mahal…”
Polisi wanita tersebut ternyata mendengar bisikan Rina kepada Rosette. Ia memuji Rina, dan mengatakan bahwa Rina benar. Mereka pun memberikan makanan ke sel Allesio dengan ijin sipir.
“Allesio, klenger ndak kamu?” tanya Rina
“Rosette kan memotong jarimu, kenapa ia tidak ditahan disini menemaniku?” tanya Allesio. Rosette menjelaskan bahwa ia tidak sengaja memotong jari Rina dan itu tidak sampai putus 100%. Itu hanya putus sekitar 60% nya. Rina pun membenarkannya karena saat itu ia melihat Rosette mau memotong daging kambing besar yang sangat alot, yang belum dimasak. Niatannya Rosette itu menolong Rina, yang kelihatan kesusahan tetapi malah tidak sengaja memotong jari Rina. Sepatu hak tingginya yang berwarna putih menjadi merah, oleh darah dari jari Rina dan darah dari daging kambing mentah yang dipotong di bagian “Pemotongan Hewan” di hotel.
“Sudah, jangan cerewet. Nikmati masa hukumanmu, karena membunuh orang sebanyak-banyaknya buat studi. Kalau mau studi kedokteran, beli aja mayat, gak usah membunuh orang,” kata Rina.
“Selamat menikmati masa hukumanmu, Allesio! Pantas saja papaku gak pulang selama 2 bulan ini. Eh ternyata, dia masuk daftar orang yang kamu bunuh. Aku kecewa sama kamu Allesio. Bayarlah papaku yaa dengan masa hukuman seumur hidupmu!” kata Rosette.
“Jadi, Pak Bluebell Young adalah ayahmu?” tanya Rina.
“Ya! Kalau gak salah, aku ingat. Kamu anak kecil yang sewaktu aku masih kecil sukanya nempel sama papaku, kalau papaku sakit kamu nangis, dan anak yang digendong papa ke rumahmu karena luka-luka setelah diganggu preman pasar kan?” tanya Rosette memastikan. Rina setuju dan tersenyum pada Rosette, dan mengagumi Rosette karena masih ingat kejadian 5 tahun yang lalu.
“Aku bodyguard papamu, tapi waktu Allesio membunuh papamu, saat itu papamu sedang tugas di luar kota. Maaf…” kata Rina.
“Tidak apa-apa, Rina. Toh papaku memang punya penyakit autoimun. Memang dokter memprediksi umurnya tak akan lama lagi. Ternyata umurnya tak akan lama gara-gara dibunuh,” kata Rosette.
Mereka pulang dengan hati senang. Mereka lega dapat menemukan kebenaran bahwa salah satu orang yang dibunuh Allesio adalah ayah Rosette. Satu bulan kemudian, mereka berdansa bersama di klub malam dengan sepatu merah. Bukan sepatu merah hasil sepatu putih yang ternoda darah, namun benar-benar sepatu merah yang dibeli di Mall sewaktu mereka berjalan-jalan bersama. Mereka tahu, bahwa sepatu merah milik Allesio adalah sepatu putih yang ternoda darah. Darah ayah Rosette sendiri.
Tarian di hari itu benar-benar menjadi hal yang menyenangkan pada hari itu. Awalnya Rina dan Rosette tidak saling mengenal, kemudian bermusuhan sebentar, dan kenyataan membuat mereka menjadi sahabat. Ternyata mereka adalah sahabat sejak kecil, hanya saja mereka tidak ingat satu sama lain.
Number Nine sudah tertangkap. Ternyata itu rekan dokter Allesio, yang bernama Nio. Nio dimasukkan sel yang berbeda dengan Allesio, namun hari eksekusi mereka berdua sama. Mereka dieksekusi dengan ditembak kepalanya dan dikubur satu liang kubur di "TPU Penjahat".
*DPO: Daftar Pencarian Orang
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepatu Darah
Mystery / ThrillerKumpulan cerita mengapa sepatunya bisa berwarna merah dengan cara-cara yang tak lazim, penuh darah dan intrik pembunuhan dan kejahatan. Kehidupan yang normal akan berubah menjadi mengerikan. Disini tokoh-tokoh dengan kepribadian yang berbeda menghad...