Sanders benar-benar menghembuskan nafas lega yang sedari tadi ia tahan. Ia benar-benar lega begitu mendapati Racha masih tertidur pulas di ranjang. Sepertinya gadis ini tertidur terlalu larut dengan posisi terduduk. Menungguinya yang sedang demam semalam.
Dihelanya nafas sekali lagi setelah ia menghepaskan tubuhnya disamping gadisnya. Entah bagaimana bisa Clara tiba-tiba kembali ke hadapannya yang jelas-jelas sudah merasa normal dengan adanya Racha. Teringat jelas, wajah Clara yang tampak lebih cantik dari beberapa tahun yang lalu dan pelukannya yang selalu membuatnya mabuk kepayang.
But, he can’t feel those feeling anymore.
Mungkin karena posisi gadis itu telah tergantikan sepenuhnya oleh gadis yang tengah tidur disampingnya ini. Gadis cantik yang memiliki kepribadian lemah lembut dan anggun. Walaupun terkadang suka ceroboh.
Ditelusurinya wajah bidadari yang terlelap ini. Begitu lembut dan halus. Pelan tapi pasti, dikecupnya kening Racha. Begitu lama, seolah-olah ia tak akan bertemu lagi dengan gadisnya. “I love you with all my heart, My Farascha.”
Tanpa diketahuinya, gadis direngkuhannya tengah meneteskan air mata.
*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*
Sudah dua jam lamanya Racha duduk di café dekat kampusnya hanya untuk merenung dan menyesap green tea miliknya ditemani dengan rintik air hujan yang belakangan ini mengguyur Bandung.
Sesak. Itulah yang ia rasakan. Belakangan ini Sanders seperti tak ada lagi untuknya. Bagaimana tidak ? Saat ia bicara, Sanders terlihat tak meresponnya. Saat ia bertanya, Sanders malah berbalik tanya tentang apa yang baru saja ia tanyakan.
Malahan, beberapa hari ini ia dan Sanders seperti lost contact. Berkali-kali ia menelepon, namun hanya ada jawaban dari operator. Berkali-kali ia datang sia-sia ke kantor Sanders untuk sekedar membawakan bekal makan siang pemuda itu dan pada akhirnya ia menitipkan ke resepsionis. Berkali-kali juga ia mendapati rumah Sanders kosong tak berpenghuni.
Astaga ! Kenapa dengan Sandersnya ? Apa yang telah terjadi !?
Ia menghela nafasnya yang sedari tadi tercekat. Kemudian meminum green tea favoritnya. Sejak hubungannya renggang ia sering menyesap green tea hanya untuk menenangkan pikirannya yang kalut.
Apa mungkin semuanya gara-gara gadis yang beberapa minggu lalu memeluk Sanders di depan rumah pemuda itu ?
Pernah Racha berpikiran bahwa gadis itu adalah masa lalu Sander. Clara. Gadis yang sangat dicintai Sanders sebelum akhirnya ia masuk ke kehidupan pemuda itu.
Kalau memang benar…
Kalau memang benar gadis itu adalah Clara. Kalau memang benar Sanders masih mencintai Clara. Kalau memang Sanders akan bahagia dengan Clara. Kalau memang benar ia sudah tak berarti apa-apa lagi. Kalau memang benar dirinya hanya cinta sesaat Sanders seperti apa yang dicurigakan Sindy. Kalau memang benar ia harus mundur…
Racha akan mundur.
Tak terasa air matanya meluncur satu persatu. Sesak. Tapi cinta tak harus memiliki, bukan ?
Jika Sanders memang ingin melepasnya dan kembali pada Clara, ia akan mundur. Ia tak bisa bersama dengan seseorang yang tidak mencintainya. Ia tak bisa bahagia diatas perasaan Sanders. Dengan cepat, dihapusnya air mata yang masih turun membasahi pipi tembamnya. Diraihnya kotak bekal yang telah ia siapkan untuk Sanders kemudian bergegas menuju kantor tempat pemuda itu bekerja.
Ia ingin membicarakan tentang semuanya. Sekaligus membicarakan beasiswa yang diimpikannya.
Entah mengapa Racha merasa begitu resah sejak ia memutuskan untuk kembali menjenguk Sanders setelah dua hari lamanya vakum dari kebiasaannya itu.. Tangannya menggenggam erat setir mobil yang dibawanya. Dingin.
Tak terasa ford hitamnya telah memasuki kawasan parkir perusahaan yang telah dirintis Sanders sejak beberapa tahun yang lalu. Dengan sigap, ia memarkirkan mobilnya di tempat parkir tamu. Dan melangkah menuju ruangan Sanders yang berada di lantai teratas gedung ini.
“Pak Sandersnya ada, Ken?” Sapa Racha pada sekretaris Sanders yang sudah akrab dengannya karena sepertinya ia terlalu sering main kesini.
“Oh ada, Mbak Racha, Nganterin bekal lagi ya ? Kebetulan Pak Sanders barusan ada meeting pasti laper.”
Racha hanya terkekeh geli mendengar candaan Niken, gadis cerdas yang sudah bekerja walaupun usianya sepantaran dengannya. “Bisa aja ! Aku duluan ya, Ken.”
Sesantai mungkin ia melangkahkan kakinya. Menekan tombol pengaman ruangan Sanders yang sudah benar-benar dihapalnya. Perpaduan antara tanggal lahir pemuda itu dan miliknya.
Mau tak mau sebuah senyuman manis tertengger di bibirnya sebelum akhirnya hilang dibarengi dengan jatuhnya bekal yang ia bawa saat ia melihat apa yang terjadi dibalik pintu ruangan Sanders.
Reflek bekal yang ia bawa terjatuh. Tanpa berpikir apa pun, Racha berlari sekuat tenaga. Berlari sejauh mungkin. Menahan pilu di relung hatinya. Membiarkan air matanya jatuh. Menghiraukan tatapan aneh orang-orang yang dilaluinya. Ia hanya ingin lari. Lari dari kenyataan yang ada.
Yang dilihatnya tadi begitu jelas. Sangat jelas malahan. Kenyataannya adalah…
Ia memang menjadi penghalau hubungan mereka berdua.
Sesampainya di mobil, ia segera mengendalikan mobilnya dengan cepat. Seperti orang kesetanan, diterobosnya lampu merah dan mengambil jalan milik orang lain. Tak peduli dengan klakson-klakson yang memperingatinya. Ia hanya ingin lari.
Sampai akhirnya ia berhenti di tanah lapang luas yang tumbuh berbagai jenis ilalang setinggi orang. Ia menenggelamkan wajahnya di lipatan tangannya yang masih bertengger di atas setir mobil.
Sesak. Benar-benar sesak sampai ia tak bisa menahannya lagi. Satu persatu air matanya turun. Membasahi wajah cantiknya yang benar-benar terlihat frustasi.
You know, loving you is painfull, Sanders ! It’s hurting me !
Kalau ia tahu bahwa akhirnya sesakit ini. Ia lebih memilih tak bertemu dengan Sanders. Ia lebih memilih tak mengenal Sanders. Ia lebih memilih untuk tidak jatuh dalam pesonanya !
Ingin sekali rasanya ia memecah kepalanya ketika semua bayangan saat Sanders… Saat Sanders dan Clara… Saat Sanders dan Clara berciuman di balik pintu ruang kerja Sanders berkelebat terus di benaknya.
Astaga ! Sesak ! Sakit ! Ingin rasanya ia berteriak keras agar semua mengerti sesakit apa yang ia rasakan. Haruskah ia terus mempertahankan kepura-puraannya demi perasaannya ?
Tidak ! Ia harus mengalah... Sesakit apapun, ia tak ingin memaksa jika Sanders masih mencintai Clara.
Dengan pasti, diraihnya ponselnya dan mencari nomor telepon dosennya yang sudah ia simpan sejak beberapa minggu yang lalu.
“Hallo, Good afternoon, Sir.”
“Good afternoon.”
“I’m Farascha, Mr. Collbat. I just want to confirm my scholarship.”
“Oh please, Miss Devonne.”
“I… I…”
“Yes ? You what ?”
”I… I’ll take it. Mr. Collbat.”
“Oh My Godness ! Then join us to disscuss it tomorrow in my room at eight a.m.”
“Yes Sir. Thank you.”
Hanya ini yang bisa ia lakukan. Hanya ini jalan satu-satunya untuk melepas semuanya. Hanya ini yang dapat mengalihkan rasa sakitnya. Hanya ini…
*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE STORY
RomanceSeandainya saja dirinya bisa berpaling, pasti ia akan berpaling pada Mario, pemuda tampan yang notabenenya sebagai teman sekelasnya saat SMA dan adik dari Sanders, pemuda yang menjadi penghuni hatinya selama ini. Haruskah Racha bersikukuh dengan San...