Cinta didalam Benci

98 15 12
                                    


Memulai sebuah cinta sama halnya menanam padi, sudah pasti berkorban dalam proses tumbuhnya tapi belum tentu menikmati hasilnya

Sydney, 12 Februari 2012.

Angin menyusup melalui celah ventilasi diatas jendela. Hawa dinginnya merambat sangat cepat melalui dinding bercat putih, menyapa seseorang yang masih terlelap dalam tidurnya. Sentuhannya tidak bisa terelakkan lagi, sangat kasar menyentuh kulit tipisnya yang rapuh. Ia terbangun dari tidurnya.

Kelopak matanya terbuka perlahan, tapi masih terasa begitu berat untuk terbuka sepenuhnya. Ia merasakan seperti ada yang menahannya untuk tetap terlelap, begitu pula seluruh badannya terasa sangat lemas hingga tidak bisa digerakan. Ia kembali menatap kosong kedepan, semuanya kini telah berubah, lewat pantulan bayangan kaca jendela ia bisa melihat rambut panjang yang biasa dibanggakannya sebagai seorang perempuan kini tidak tersisa satu helai pun. Begitu juga kecantikan yang biasa menempel dalam dirinya seakan sirna hilang terkena hembusan angin yang kerap menyapanya sewaktu esok menjelang.

Kini yang membuatnya kuat hanyalah seseorang yang setia berdiri dihadapannya, yang selalu ia kagumi dan cintai melebihi tubuhnya sendiri. Seseorang yang selalu membakar semangatnya agar tetap kuat menyongsong hidup kedepan. Ia sadar tidak sendiri, masih banyak orang yang selalu peduli dengan hidupnya.

Ingatannya kembali kemasa beberapa tahun silam, tidak pernah sedetikpun dulu terbesit dalam pikirannya bahwa dirinya akan membutuhkan seseorang disaat terjatuh, sikapnya selama ini sangatlah buruk dan terlihat angkuh kepada Tuhan maupun orang disekelilingnya. Dan sekarang Tuhan langsung menyapanya dengan teguran yang menggetarkan hati dan pikirannya, menyadarkan tentang apa yang sudah dirinya lakukan selama ini.

& &

Jakarta, Agustus 2011

Cermin di depannya tidak bisa berbohong, betapa cantik wajah gadis remaja yang baru menginjak tujuh belas tahun tersebut. Seragam putih abu-abu yang melekat ditubuh, rambut yang tertata rapi dengan poni kesamping, sentuhan tipis bedak di wajah dan lips gloss yang menempel di bibir tipisnya itu membuat ia terlihat sempurna. Tas warna pink disambarnya buru-buru, ia merasa sudah sangat terlambat hari ini dan tidak lain gara-gara adiknya yang ceroboh tertidur saat dikamar mandi.

"Aliska! Cepat berangkat. Gue udah telat tau!" Nava langsung mengebrak pintu kamar Aliska.

"Kakak duluan! Aliska naik sepeda saja. Atau mungkin taksi!" Aliska sendiri lebih memilih tidak membukakan pintu kamar. Ia tidak ingin Nava masuk dengan emosi yang seakan penuh di wajahnya.

"Kebiasaan deh loe! Mulai hari ini loe nggak usah ikut gue naik mobil." Nava pergi dengan bersungut, ia merasa harinya diawali sangat buruk hari ini.

"Loe ke sekolah bareng Papa!" Nava kembali berteriak saat menuruni tangga lantai dua.

Di meja makan, Nava mengambil roti yang sudah penuh dengan selai strawberi diatasnya, ia menggigitnya sepotong kemudian dilanjutkan dengan menenggak susu yang sudah dipersiapkan oleh mamanya. Emosinya bahkan masih belum mereda, ia meluapkannya dengan menggigit roti sangat kasar dan kemudian melemparkannya ke piring.

"Dihabiskan dong Nava! Mubazir kan nanti." Mama Ina mencoba kembali mengingatkan kebiasaan buruk Nava.

"Nggak Ma, Nava udah kenyang." Nava mencium kening Mamanya. "Nava berangkat dulu ya Ma."

"Adik kamu gimana?"

"Dia katanya mau naik sepeda. Sudah dikasih supir sama mobil tinggal naik saja ribet! Males tuh kayaknya, jam segini masih belum keluar kamar. Pakai acara ketiduran di toilet lagi!" Nava kembali menaikan emosi.

A Thousand Love For MiracleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang