Kedatangan "Waktu"

34 6 4
                                    

Jangan paksakan sebuah kesempurnaan dalam cinta kalau kau tidak ingin terluka karenanya

Ia mengharapkan bintang bisa menyinari gelapnya hati, menyusup melalui relung perasaan hingga menentramkan seperti selimut kedamaian. Menjinakkan kebencian yang tumbuh semakin luas menutupi perasaan cintanya. Apalagi makhota kekayaan semakin menambah akar sebuah kebencian diiringi kecerdasan yang menggelapkan mata hati.

Didalam kamar Nava kembali merasakan kebimbangan dalam hati, ia sangat merasa bingung dengan yang dirasakannya. Rasa malu membuat dirinya tidak ingin mengakui adik sendiri dihadapan orang lain, baginya itu adalah sebuah aib yang harus ditutupi. Kekayaan dan kepandaiannya ikut membutakannya, membatasi sebuah cinta yang akan masuk ke dalam hatinya. Pikirannya sering terbebani dengan hal-hal yang menurutnya menyebalkan dalam sebuah kehidupan, ia benci dengan dirinya sekarang.

Seandainya saja gue bisa punya adik yang lebih sempurna, seandainya saja Devan bisa sempurna seperti yang gue harapkan, dan seandainya saja hidup gue bisa berwarna penuh akan kejutan.

Nava tertidur, tenggelam dalam benak dan impiannya akan harapan kesempurnaan orang disekitarnya.

"Nava, kamu tidur?" Mama Ina mengetuk pintu. "Ini sudah sore loh, kamu lupa kalau ada les musik?"

Nava mencoba membuka matanya, tapi sangat terasa berat. Ketika perlahan matanya terbuka, ia justru melihat benda-benda disekelilingnya berotasi memutari dirinya. Nava ingin menggapai air minum disamping ranjangnya agar ia bisa kembali tersadar, tapi tangannya serasa terkunci lemas. Ia mencoba berbaring ke samping, sama saja kakinya serasa tertimpa batu yang sangat berat hingga tidak bisa digerakkan.

Setelah beberapa kali ia mencoba akhirnya semuanya kembali normal, hanya saja terlihat cairan kental berwarna merah mengalir dari hidungnya, ia sempat kaget.

"Mimisan?" Nava buru-buru menggambil tisu yang berada diatas meja belajarnya. "Pasti gara-gara gue kebanyakan pikiran!" ia tidak berpikir panjang, setelah merapikan sedikit badannya Nava langsung bergegas turun. Hari ini ada les piano menantinya.

"Nava, kamu mau pulang jam berapa? Nggak lupa kan acara kita nanti malam?"

"Iya Ma, nanti aku nyusul!"

& &

Restoran yang terletak di daerah Kemang ini sudah biasa menjadi langganan keluarga Nava. Mereka sangat menyukai konsep restoran terbuka dengan deretan lampu taman yang menghiasi, apalagi ada sebuah kolam kecil dengan meja-meja bundar yang mengelilinginya. Terkadang, sinar bulan terlihat memantul ditengah jernihnya air kolam.

Nava pernah mengingat bahwa dirinya akan bersengkongkol dengan Aliska bila kedua orang tuanya lupa tidak mengajaknya ke restorant tersebut. Mereka akan merajuk hingga keinginannya dituruti, ataupun kebiasaan mereka saat bertukar makanan berbeda dengan saling menyuapi. Namun semejak mereka remaja acara makan direstoran hanya dijadikan sebagai rutinitas mingguan tanpa ada esensi kebahagiaan lagi didalamnya

Nava memesan sirloin steak kesukaannya, sedangkan Aliska hanya memilih mashroom soup dengan nasi putih, Mama Ina dan Papa Danu memesan makanan Indonesia biasa seperti cah kangkung, ayam bakar dan beberapa menu lainnya.

"Kak, boleh cobain?" Aliska menaruh sendoknya diatas sirloin steak milik Nava.

"Apaan sih? Kalau kamu mau kan bisa pesan!" Nava langsung membentak.

"Nggak kok, kita gantian nyobain. Kakak bisa coba sup punyaku?" Aliska menyodorkan mangkuk supnya ke samping Nava.

"Udah makan sendiri-sendiri bisa kan? Nggak usah kayak anak kecil deh!"

"Nava, kan kalian dulu setiap makan juga saling berbagi." Mama Ina langsung menengahi.

"Itu dulu Ma, sebelum Aliska berubah jadi menyebalkan! Udah deh jangan ribut, jadi males makan!" Nava pergi meninggalkan keluarganya, ia begitu sangat sebal akan yang dilakukan adiknya. Dimata Nava, Aliska hanyalah sebuah pengganggu dalam kehidupannya.

A Thousand Love For MiracleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang