Oma bilang hidup dan rasa sakit itu selalu jalan beriringan, tanpa rasa sakit kita tidak bisa merasakan bagimana rasanya hidup. Hidup yang sesungguhnya. Itu artinya dengan kata lain, orang yang tidak pernah merasakan sakit sama saja dengan orang yang mati bukan. Entahlah tapi menurut gue, rasa sakit itu memang sudah ketetapan dari Tuhan. Tuhan menciptakan rasa sakit bukan untuk menyakiti ciptaan-Nya. Tuhan menciptakan rasa sakit di setiap kehidupan manusia agar manusia itu berpikir bukan. Bukankah begitu? Maap maap nih, gue juga bukan orang suci, tapi dari apa yang gue alami begitulah kesimpulannya. Jadi jangan pernah berpikir bahwa dengan mengakhiri hidup kita juga akan mengakhiri rasa sakit. Sama seperti hitam yang tetap bagian dari warna. Rasa sakit juga tetap bagian dari hidup. Semua itu hakiki. Gaakan ada yang berubah sekalipun lo mengemis pada semesta. Dan atas pemikiran itulah gue berhasil menjalani hidup, selama ini gue dikelilingi orang-orang yang sayang sama gue. Oma, bang Adit, Revan, Reihan, Om dan Tante. Menangisi kepergian Mama dan meratapi kepergian Ayah serta rasa sakit yang selama ini gue rasain bukanlah hal yang begitu penting dibanding senyuman mereka.
Sebuah senyum ironi pun tercipta dibibir gue saat pintu kamar diketuk. Pemikiran rumit tentang hidup, dan kilas indah masa lalu yang gue kenang pun hancur sudah saat orang itu muncul dari balik pintu. Masalahnya setiap kali orang itu datang, gue selalu merasa kehilangan. Jangan baper dulu dong! Hehe. Maksudnya kehilangan perbekalan makanan ringan, kehilangan vidio game terbaru, kehilangan perbendaan yang tersimpan apik dikamar gue, dan yang pasti adalah kehilangan kesabaran.
Apalagi jika bukan triple R, tiga bersaudara yang dikirim langsung dari Bandung beberapa hari yang lalu.
Radit, Revan dan Reihan.
Gue buru-buru terkesiap diatas tempat tidur, tapi sialnya kepala gue terasa pening saat gue melakukan gerakan mendadak tanpa hati-hati. Ohya, jadi begini saudara-saudara sebangsa dan setanah air, beberapa hari lalu gue pingsan disekolah, kata dokter gue kena anemia. Iyasih, selama beberapa bulan terakhir gue mengacuhkan pola hidup gue, gue jarang makan, jarang tidur, emosi gue naik turun kayak lift mall, jarang mandi eh! Yang itu ga termasuk deng, sama jarang nafas, mati dong gue, hehe canda. Pokonya selama itu gue bener-bener ga ngurusin hidup gue. Entahlah, masalah datang layaknya hujan. Hasik dah. Dari mulai masalah Riko yang gapernah absen nyari ribut, Lena yang gapernah ngebiarin gue hidup tenang, masalah ayah, masalah Lintang, tentang gue dan Raka. Argh! Entahlah kayaknya gue nafas aja jadi masalah kalo kayak gini terus mah. Dan akhirnya disinilah gue sekarang, mendekam dikamar tanpa diperbolehkan mengerjakan apapun. Selain ibadah tentunya. Selama beberapa hari gue ngerasa kayak orang ga berguna karena ga melakukan apapun, gue kangen sekolah, kangen Dadang and the genk, dan kangen dia tentunya.
"Sehat Fy?"
Entah pengelihatan gue terganggu atau apalah itu, bang Adit keliatan berseri-seri hari ini. Jeans warna hitam plus kaos distro ala-ala anak gahoel begitu cocok di badan nya yang sempurna. Mukanya yang emang bersih keliatan lebih bersih lagi, ebuset! Berapa sachet Mama Lemon yang abang gue pake. Tapi biarlah abang gue keliatan gemezin parah kalo lagi kayak gitu.
"Kenapa lo!? Lagi jatuh cinta!?"
Bingo! Tembakan gue tepat sasaran. BANG ADIT. SALTING. OMG! Gue bersumpah selama tujuh belas taun kehidupan gue, baru kali ini gue ngeliat bang Adit yang gantelman parah malu-malu dogi gini.
"Mba Ify, punya higheels yang tahan banting ga?"
"Ada tuh dilemari, buat apaan Van?
"Buat nimpuk abang gue sampe bonyok, geli gue mba, sumpah!"
Dan kamar gue pun jadi rusuh akibat mereka berdua. Kan kampret!
***
Diluar hujan, hari semakin gelap. Gemuruh terdengar di sudut langit. Petikan melodi mengambang diudara, seolah menyampaikan pesan bisu yang tak pernah sampai. Sendu. Rindu. Dan kalbu. Semuanya terikat. Dengan masa lalu. Kamu.
Diatas panggung kecil disebuah cafe, lelaki itu melantunkan sebuah lagu dengan gitarnya. Tatapan penuh pujian dan rasa kagum seluruh pengunjung tertuju padanya. Jari-jarinya menari diatas senar gitar, ia bersenandung mengikuti irama. Semuanya memang terlihat normal, namun tak satupun yang tau bahwa sesungguhnya tatapan itu hampa, musik nya mengalun tanpa jiwa, dan dia terluka.
Riuh suara tepuk tangan mengakhiri penampilannya malam ini. Lelaki itu bergegas menuruni tangga dengan gitar ditangannya, seorang gadis menyambutnya diujung sana. Masih mengenakan seragam SMA, dengan papan nama Lena Adiputri.
Senyumnya begitu lebar, tapi sayangnya senyum itu tak menular.
Lelaki itu hanya diam lantas bergegas meninggalkan gadis dengan nama Lena Adiputri itu, menuju meja paling pojok dekat jendela. Ia memasukan gitarnya kedalam sarung, menyampirkannya di dinding lantas menyeruput eskrim vanilla yang dibiarkan mencair."Ada masalah? Lo keliatan banyak pikiran akhir-akhir ini"
Lelaki itu tak menjawab, hanya menikmati es krim nya dalam diam.
Lena menari kursi tepat dihadapannya, mendudukinya dan melanjutkan bicara."Sekolah lo baik-baik aja kan?"
"....."
"Orang tua lo sehat?"
"....."
"Lo sakit?"
"....."
Gadis itu menarik nafas. Mengatur kesabaran dan otak nya agar tetap tenang. Baiklah, ini yang terakhir.
"Kemaren gue ketemu Ify"
"DIMANA!?"
ck~ terlalu kontras. Pikir gadis itu.
"Tapi bohong"
Dan percayalah detik itu juga lelaki itu ingin mencekik gadis yang duduk dihadapannya, untunglah seorang teman mengampirinya, jika tidak. Entahlah apa yang akan lelaki itu lakukan.
"GILA! Sialan lo, gue heran kenapa lo sebegitu beruntungnya!"
Ujar seorang sahabat yang menyaksikan pertunjukan mini concert di cafe milik ayahnya.
"Biasa aja kali Daf!! Lebay!"
Lelaki itu mendengus kemudian menyeruput es krim nya yang tinggal setengah.Dafa menduduki kursi kosong disebelah lelaki itu, melanjutkan pembicaraan yang seperti nya akan semakin seru.
"Ya elah Julian Lintang Pradipta! Bukan nya lebay! Nenek lampir bringasan sekalipun juga bakalan luluh kali kalo lo tampil nya kaya tadi! Noh! Buktinya" Ucap Dafa sembari menunjuk Lena. Yang ditunjuk hanya melongos dengan tatapan sinis nya, membuat Dafa bergidik ngeri dan lelaki bernama Lintang itu tertawa tertahan. Jenis tawa yang hanya sebentar namun menimbulkan dampak yang lama bagi siapapun yang melihatnya.
Ya! Siapapun. Termasuk seorang gadis pucat yang berdiri terpaku tak jauh dari meja mereka sembari tangannya memegang dua cup es krim coklat.
Rasa dingin dari es krim tersebut seolah menjalar keseluruh tubuh, menghantam hati hingga akhirnya air mata itu terjatuh.Air mata yang selalu gadis itu benci.
***
Halooo hay hay!!! Gomen, mianhe, maaf kan da ku karena baru nongol setelah sekian lama. Haha hazeek dah.
Gimana part ini? Menghiburkah???Aku terharu banget pas buka wattpad....
Kalian tuh memang yaaa!!!!
LUAR BIASAH!!!
Luv u:*:*:*
Kalian yang terbaik
XOXO
#Erl's
Note: di mulmed ada Dadang tuh, lucu kan. Salam super katanya wakwak~
See ya!!!:D:*:*
KAMU SEDANG MEMBACA
Detik
Teen FictionSama seperti hitam yang tetap bagian dari warna. Rasa sakit juga tetap bagian dari hidup. Semua itu hakiki. Gaakan ada yang berubah sekalipun lo mengemis pada semesta.